Dalam
setahun belakangan ini, media kerap memberitakan bahwa pendidikan di Indonesia
menekankan sisi kognitif.
Terlebih,
tak jarang pendidikan yang mengembangkan sisi kognitif dipertentangkan dengan
pendidikan karakter. Bahkan, sesekali pendidikan yang menekankan sisi kognitif
dituduh sebagai penyebab masalah, seperti tawuran. Tak pernah ada penelitian
yang mengatakan semakin tinggi sisi kognitif seseorang, semakin tinggi peluang
kekerasan. Yang terjadi justru pendidikan di Indonesia saat ini terlalu
menceramahkan moral, sekaligus lalai menumbuhkan kecakapan berpikir kritis dan
analitis.
Hasil
survei Programme for International Student Assessment dan Trends in
International Mathematics and Science Study berkala sejak sebelum 2000
sampai 2011 justru menunjukkan sisi kognitif siswa Indonesia sangat lemah dan
stagnan. Memang betul siswa Indonesia sangat kuat dalam domain ”mengingat”,
yang tak butuh mengolah informasi. Namun, pada tingkatan yang perlu pemrosesan
informasi, siswa Indonesia sangat lemah. Ini berarti pembelajaran Matematika
dan IPA di Indonesia belum berhasil mengembangkan sisi kognitif.
Sisi
kognitif dan karakter pada praktiknya mustahil dipisahkan. Keduanya beriringan.
Sekolah yang berhasil dalam pendidikan karakter juga mengembangkan atmosfer
yang mendukung dan merawat proses berpikir (Costa dan Kallik, 2009, hal 76).
Pengetahuan
ilmiah
Sesudah
menyalahkan pendidikan yang menekankan domain kognitif sebagai penyebab
kekacauan sosial, kemudian tampaknya tercetus gagasan dan hasrat memorali
pengetahuan ilmiah. Moral yang sejak 1980-an gagal ditumbuhkan melalui
penataran ratusan jam sekarang hendak dipaksakan lewat jalan pintas lain, yakni
disisipkan di pengetahuan ilmiah. Dari pergerakan elektron di Kimia sampai
perhitungan akuntansi di Ekonomi disuntikkan perbendaharaan kata-kata moral.
Penyusun Kurikulum 2013 secara gamblang mengompromikan pengetahuan ilmiah,
tanpa rasa segan secuil pun.
Upaya
memorali memang tak selalu salah, tetapi masalahnya moral yang terkandung dalam
pengetahuan ilmiah belum tentu sama dengan moral sehari-hari. Sikap jujur atau
patuh terhadap hukum dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, di
matematika, misalnya, tak dikenal norma jujur. Jika siswa menuliskan 2 + 3 = 7,
itu bukan tak jujur, tetapi salah. Jika seseorang menghitung luas persegi
panjang dengan cara menjumlahkan–bukan mengalikan–panjang dan lebar, itu bukan
tak patuh, tetapi salah. Dengan pemaksaan memorali ini, substansi disiplin
keilmuan dibengkokkan, dicocok-cocokkan, hingga menghasilkan sains berwujud
aneh dan keliru. Ini gambaran kelahiran pseudoscience/sains semu.
Secara
umum, setiap cabang pengetahuan ilmiah sudah mengandung moralnya sendiri. Lebih
cerdas dan berguna sebenarnya mengenali sekaligus mengembangkan moral yang
berasal dari hasil proses berilmu-pengetahuan. Contohnya, bertanggung jawab itu
adalah norma alamiah yang terkandung dalam proses berilmu-pengetahuan, yakni
senantiasa memberikan alasan pada setiap pernyataan ilmiah.
Dalam
kasus kejadian pelanggaran hakikat berilmu-pengetahuan di tataran kebijakan
nasional seperti disinggung di atas, sebenarnya sudah tersedia mekanisme
pengendaliannya. Akademisi pendidikan tinggi sejatinya menjadi garda penjaga
berjalannya hakikat keilmuan. Namun, mengapa mekanisme tersebut tidak berfungsi
sekarang ini? Misalnya pada kekisruhan kasus UN dan Kurikulum 2013, dapat
dilihat bagaimana justru kebanyakan perguruan tinggi menutup mata.
Mempertaruhkan pendidikan tinggi dengan menerima mahasiswa baru berdasarkan UN
yang terang benderang ringkih dasar penalarannya sekaligus semrawut
pelaksanaannya justru dilakukan oleh perguruan tinggi sendiri. Kemudian,
kenyataan penyusunan buku ajar untuk Kurikulum 2013 yang kurang saksama, dengan
mutu meragukan, dan hanya 1,5 bulan (Kompas, Sosok, 7/6) juga tak
meresahkan perguruan tinggi.
Dengan
tata kelola perguruan tinggi seperti sekarang, sulit mengharapkan akademisi
peduli, merdeka berpendapat, dan gigih menyampaikan koreksi. Kemdikbud terkesan
bak adi-rektorat untuk seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Pemikiran tentang
perlunya kemerdekaan pengelolaan perguruan tinggi yang tak sekadar kemandirian
mengurus keuangan ini disampaikan 20-an akademisi pada saat bertandang ke
kantor Wakil Presiden, 21 Mei 2013.
Agar
pengetahuan ilmiah dapat berkembang, bermanfaat, dan memajukan bangsa, perlu
atmosfer yang menjamin kemerdekaan berilmu-pengetahuan. Untuk menciptakan
atmosfer seperti ini dibutuhkan jajaran kepemimpinan yang percaya diri dan
berdaya sehingga berani berbagi kewenangan serta kekuasaan. Ini senada
pernyataan di Tajuk Rencana (Kompas, 4/6) bahwa Kemdikbud perlu
melakukan reformasi birokrasi. Ini tak sulit. Jika menyusun buku ajar sekaligus
melatih guru yang begitu rumit dengan sangat yakin dapat dikerjakan secepat
kilat, semestinya menuntaskan reformasi atau revolusi budaya birokrasi sebelum
tahun ini berakhir tak sulit.
Iwan
Pranoto ;
Guru Besar ITB
KOMPAS, 20 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi