Menyusul rencana pengalihan subsidi harga bahan
bakar minyak (BBM) atau pengurangan subsidi BBM dari subsidi berpola harga
komoditas menjadi subsidi yang tepat sasaran, tampaknya pengumuman kenaikan
harga BBM tinggal me-nunggu waktu saja.
Dengan kenaikan harga BBM premium sebesar Rp2.000
dan BBM solar Rp1.000, diperkirakan tingkat inflasi akan mencapai 7,2%. Akibat
ini, dampak terbesar pasti dirasakan masyarakat miskin/masyarakat
berpenghasilan rendah sehingga angka kemiskinan akan meningkat. Pengalaman menunjukkan
kenaikan harga BBM pada 2005 dari Rp 2.400 ke Rp 4.500 (premium) dan dari Rp
2.100 ke Rp 4.300 (solar) menyebabkan angka kemiskinan meningkat dari 15,97%
menjadi 17,75%.
Memang konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi serta
terus didorongnya pembangunan adalah meningkatnya kebutuhan akan energi. Itu
sebabnya jika pada APBN 2013 subsidi BBM telah dipatok Rp 193,8 triliun atau
11,5%, diperkirakan angka itu akan naik menjadi Rp 251,6 triliun jika subsidi
tak dikurangi. Jika ini terus dibiarkan tanpa ada upaya pengurangan terhadap
subsidi BBM, defisit anggaran yang awalnya dipatok 1,65% terhadap produk
domestik bruto bisa melebar sampai 3,83 persen.
Defisit 3,83% jelas melanggar aturan karena UU
mewajibkan defisit maksimal 3% demi alasan kesehatan fiskal. Pertimbangan
inilah yang kemudian membuat pola subsidi harus diubah mengingat faktanya
subsidi BBM selama ini pun lebih dari 50% dinikmati oleh 20% orang terkaya di
Indonesia. Sementara hanya sekitar 2% dari APBN yang dianggarkan untuk program
bantuan sosial berbasis rumah tangga seperti raskin, BSM, PKH, Jamkesmas.
Ketimpangan ini tidak boleh terjadi lagi, karena
itu perlu dukungan terhadap kebijakan pengalihan subsidi, dari yang
berorientasi hanya kepada orang kaya ke masyarakat ekonomi terbatas (miskin).
Inilah sesungguhnya yang melatarbelakangi kebijakan pengurangan subsidi BBM,
yaitu melindungi kelompok masyarakat yang berpenghasilan terbatas.
Pertanyaannya, bagaimana nasib pendidikan kita?
Ketika daya beli berkurang, himpitan kebutuhan meningkat, sebagian masyarakat
yang berpenghasilan rendah cenderung mengabaikan pendidikan. Anakanak usia
sekolah yang diminta untuk membantu keluarga bekerja menambah kebutuhan harian
alias tidak bersekolah.
Program BSM
Agar masyarakat yang berpenghasilan terbatas itu
terlindungi, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
merealokasi subsidi BBM itu untuk program Bantuan Siswa Miskin (BSM), bantuan
tunai yang diberikan secara langsung kepada anakanak usia sekolah untuk semua
jenjang, dasar dan menengah, yang berasal dari rumah tangga miskin dan rentan.
Upaya melindungi dunia pendidikan melalui BSM
memang sebuah keharusan karena data menunjukkan, dalam kondisi normal (baca:
tidak ada kenaikan harga BBM sekalipun), angka putus sekolah pada kelompok
pengeluaran (konsumsi) yang lebih rendah atau masyarakat miskin cukup tinggi.
Data Susenas 2011 mengenai keberlanjutan pendidikan pada masyarakat miskin,
lebih dari 30% lulusan SD tidak melanjutkan ke jenjang SMP, demikian juga di
jenjang SMP, tingkat ketidakmelanjutkan ke jenjang berikutnya mencapai 20%.
Fakta itu mengindikasikan, dalam situasi normal pun
betapa lemahnya komitmen masyarakat miskin terhadap keberlanjutan pendidikan
bagi putraputri mereka. Berbagai alasan memang bisa mengemuka, dari karena
faktor kultural hingga persoalan ekonomi. Tapi fakta di lapangan yang
ditemukan, hal itu lebih dominan dipengaruhi faktor ekonomi karena banyak anak
yang tidak bersekolah diminta orang tuanya untuk membantu memenuhi kebutuhan
harian keluarga mereka.
Tentu kita juga tidak boleh menutup mata pada
pengaruh kultural di sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa anak cukup
bisa baca tulis dan hitung saja, toh nanti mereka tetap bekerja dan
menghasilkan uang. Kenapa jika sekarang sudah bisa membantu orang tua
mendapatkan uang harus ditunda dengan ke sekolah. Terhadap fakta yang terakhir
ini, tentu pendekatannya kultural pula.
Terhadap dampak dari kenaikan harga BBM inilah
program BSM melalui APBN Perubahan (APBN-P) terus ditambah baik sasaran maupun
nilai nominalnya. Kemendikbud telah mendesain penambahan jumlah penerima BSM
yang diusulkan dalam APBN-P dengan total nilai Rp6,09 triliun untuk 13,5 juta
sasaran peserta didik jenjang sekolah dasar dan menengah.
Jika pada 2013 melalui APBN jumlah penerima
BSM di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK sebanyak 5,9 juta siswa dengan nilai
nominal Rp 360.000 per siswa per tahun untuk SD, Rp 560.000 untuk SMP, dan Rp1
juta untuk SMA/SMK, melalui APBN-P jumlahnya kini menjadi 13,5 juta siswa
dengan nilai nominal sebesar Rp 450.000 (SD), Rp 750.000 (SMP), dan untuk
SMA/SMK tetap Rp 1 juta per siswa per tahun dengan tambah manfaat sebesar Rp
200.000 per siswa.
Bagaimana program bagi keluarga miskin yang anaknya
ingin melanjutkan ke perguruan tinggi? Pemerintah telah pula menambah penerima
program Bidik Misi sebanyak 8.900 mahasiswa baik mereka yang diterima di PTN
maupun PTS. Selain Bidik Misi, kebijakan uang kuliah tunggal (UKT) pun adalah
bagian tidak terpisahkan dari program keterjangkauan masyarakat untuk mengakses
pendidikan tinggi.
Pemerintah melalui Permendikbud No 55 Tahun 2013
telah menetapkan sedikitnya ada 10% di tiap PTN untuk menerima mahasiswa dari
jalur reguler dengan biaya kuliah per semester Rp 400.000 hingga Rp 600.000.
Persentase 10% UKT itu di luar 20% program Bidik Misi yang telah diamanatkan
dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Keberadaan BSM ini diharapkan akan dapat
meningkatkan akses terhadap pelayanan pendidikan yang berkualitas, mencegah
putus sekolah, menarik anak usia sekolah dari rumah tangga miskin dan rentan
untuk kembali ke sekolah. BSM lebih bersifat personal, diterima langsung oleh
peserta didik. Mekanisme penyaluran BSM kini berbasis rumah tangga (kartu
perlindungan sosial).
Terhadap serangkaian program inilah kita berharap
kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan tidak berimbas pada nasib dunia
pendidikan kita. Inilah subsidi yang mestinya diprioritaskan, memberikan
kepastian bagi masyarakat tidak mampu untuk dapat mengakses pendidikan. Semoga!
Sukemi ;
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi
Media
KORAN SINDO, 21 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi