UN, Upaya Pengendalian Mutu Pendidikan

PERTANYAAN masyarakat terkait ujian nasional adalah kenapa terjadi pro-kontra, padahal acuannya sama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Atas perintah UU itu pula, pemerintah mengatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, (juncto PP No 32/2013) tentang Standar Nasional Pendidikan.
Beberapa waktu lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Konvensi UN. Meski ada pihak yang walk out, diskusi UN ini berlangsung baik. Saya ingin menyampaikan mengapa UN harus jalan terus.
Ada empat pendapat dalam diskursus publik tentang UN. Pertama, UN hanya untuk pemetaan. Kedua, UN untuk menentukan kelulusan. Ketiga, UN untuk menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi. Keempat, UN untuk peningkatan mutu.
Keempat pendapat tersebut memiliki korelasi dan interkorelasi kuat. Mengambil satu pendapat dan menafikan yang lain justru menunjukkan pemahaman yang belum utuh terhadap proses dan hasil evaluasi.

Pengendalian mutu
Dalam konsep pengendalian mutu, keempatnya juga saling terkait. Maka, pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP No 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, menjadi satu kesatuan baik pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58).
Apabila kita memimpin sistem skala nasional, tetapi operasional sistem tidak sepenuhnya dalam kendali kita, perlu minimal dua ”instrumen” agar sistem berjalan baik: standar yang berlaku nasional dan sistem evaluasi untuk pengendalian mutu.
Secara umum pengendalian mutu didahului dengan mengukur nilai produk dan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan (Grant, Montgomery). Dengan demikian, dalam pengendalian mutu harus ada kegiatan evaluasi: dari menilai, membandingkan, dan memutuskan hasil penilaian (Bloom).
Pengendalian mutu dilakukan dengan dua cara. Pertama, cara melekat (online) melalui pengendalian proses, dengan memantau hasil dari tiap langkah pembuatan produk. Pelaksananya adalah pendidik melalui ulangan, ujian, tugas, dan sebagainya.
Kedua, dengan cara terpisah (off line) melalui uji keterimaan (acceptance test) produk akhir. Uji ini dilakukan terhadap lulusan sebagai produk akhir proses pembelajaran, untuk memastikan lulusan sesuai standar kompetensi lulusan atau tidak.
Pengendalian mutu cara kedua dilakukan bukan oleh pelaksana (pendidik), melainkan oleh unit mandiri yang independen, yaitu dalam bentuk UN untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan. Ini satu-satunya standar untuk menyatakan apakah tujuan pendidikan tercapai atau tidak.
Tentu bukan seperti Abduhzen (”Ujian Nasional Konvensional”, Kompas  3/10/2013) yang menyatakan bahwa evaluasi peserta didik oleh lembaga mandiri adalah terhadap standar input seperti umur peserta didik, apalagi kemudian dikaitkan dengan angka partisipasi kasar yang menyatakan kuantitas pendidikan bukan kualitas pendidikan.

Analisis penyebab
Tujuan pengendalian mutu adalah memastikan peningkatan mutu secara berkesinambungan (continuous quality improvement). Untuk itu, evaluasi pengendalian mutu perlu agar diketahui penyebab penyimpangan sekaligus langkah perbaikannya. Dalam hal inilah UN dipergunakan untuk pemetaan sekaligus pembinaan-perbaikan mutu.
Sekarang telah dikembangkan indeks kompetensi (IK) peserta didik dan satuan pendidikan untuk setiap mata pelajaran yang diujikan melalui UN. Agregasinya digunakan untuk menyusun IK kabupaten, kota, provinsi dan nasional. Melalui IK, akan diketahui kompetensi apa dari setiap mata pelajaran yang harus diperbaiki.
Berdasarkan analisis penyebab, ada kebijakan afirmasi terhadap 100 kabupaten/kota. Hasilnya, peningkatan rerata nilai UN murni jenjang SMA dari 6,16 (2010) menjadi 6,78 (2011). Pendekatan yang sama terhadap 154 SMA dengan rerata nilai UN murni 5,78 (2011) meningkat menjadi 6,15 (2012). Fakta ini sangat berbeda dengan tuduhan subyektif Doni Koesoema (”Konvensi (Setelah) Penghapusan UN”, Kompas, 27/9/2013) bahwa UN belum berhasil meningkatkan mutu peserta didik.
Terkait kegagalan Georgia dan Philadelphia yang dikatakan Doni Koesoema, tidak menyurutkan minat pemerintah federal dan negara bagian Amerika Serikat memiliki ujian nasional. Saat ini 24 negara bagian membentuk konsorsium pelaksanaan ujian nasional, sebanyak 20 negara bagian lain membentuk konsorsium serupa.
Mengapa tidak menggunakan pengendalian mutu statistika (statistical quality control) dengan uji keterimaan secara sampel (acceptance sampling)? Ada banyak alasan sehingga praktik terbaik di dunia belum ada yang berani menggunakan teknik ini. TIMMs dan PISA menggunakan sampel karena keduanya bukan alat penjamin mutu, tetapi pengukur dan pembanding mutu.
UU Sisdiknas telah merumuskan pengendalian mutu dengan jelas. Operasionalnya merumuskan evaluasi hasil belajar sebagai bentuk pengendalian proses dilakukan oleh pendidik dan evaluasi peserta didik sebagai bentuk uji keterimaan melalui UN oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kajian akademis tentang pengendalian mutu membuktikan bahwa UN adalah amanat UU Sisdiknas dan ditafsirkan Jusuf Kalla secara benar dari perspektif akademik, bukan sebagai politisi dan pedagang seperti ditulis Acep Iwan Saidi (”Ujian Nasional yang Permisif”, Kompas, 3 /10/2013).
Masalahnya sekarang adalah bagaimana tataran praktis bisa melaksanakan hal ini dengan baik.

Mohammad NUH  ;   
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
KOMPAS, 23 Oktober 2013




Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi