Pancasila : Perjalanan Mencari Status Kefilsafatan

Keberhasilan mempertahankan kemerdekaan RI, yang berklimaks dengan pengakuan kedaulatan oleh lawan pada akhir 1949, segera diiringi apresiasi yang luar biasa marak terhadap Pancasila. Konstitusi sudah silih berganti, terakhir UUDS 1950, Pancasila tetap dikukuhkan. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, yang telah diberi tajuk Lahirnja Pantjasila, dicetak ulang sampai berkali-kali. Terbit pula sejumlah buku khusus membahas Pancasila, salah satunya ditulis oleh tak kurang dari Ki Hadjar Dewantara. Dan Sukarno, sang penggali Pancasila, dianugerahi doktor honoris causa oleh sederet universitas di dalam maupun luar negeri. Tapi justru di tengah gelombang pasang itulah Sutan Takdir Alisjahbana menyentak. Bahkan terasa mementahkan semuanya.

Dalam forum ahli pendidikan di Bandung, Takdir bilang: Pancasila belum memenuhi syarat sebuah sistem filsafat. Ide-ide di dalamnya saling bertentangan, tidak koheren. Misalnya sila I, yang mengamanatkan warga untuk bertuhan dan beragama, itu bertentangan dengan demokrasi dalam sila IV, yang menjamin hak asasi warga untuk bebas beragama maupun tidak. “Sila-sila itu laksana pasir yang tercerai-berai di pantai!” demikian kesimpulan sang pujangga, yang memang dikenal menekuni filsafat.

Penyatuan ide-ide yang bertentangan memang tak selesai dengan merumuskannya dalam satu kata majemuk. Misalnya penyatuan sosialisme dan demokrasi (sila V dan IV Pancasila). Baik untuk menangkal ekses ketidakadilan sosial dalam demokrasi sebagaimana ditempuh Jean Jaures (yang dituruti Sukarno dengan rumusan “sosio-demokrasi”-nya) maupun buat sebaliknya, menangkal ekses totaliteristik dalam sosialisme sebagaimana dianjurkan Bernstein dengan “sosialis-demokrat”-nya (yang dituruti Hatta dan terutama Sjahrir di Indonesia). Bahkan, puluhan tahun sesudahnya, ketika pada 1990-an Prof Anthony Giddens mengusahakan revitalisasi sosialisme-demokrasi dengan jalan yang kendati sudah ternilai sangat radikal, sosiolog asal Inggris tersebut masih dicibir sebagai orang yang kurang mengerti sejauh mana kuasa dan kejinya kapitalisme.

Sistem kesatuan antar-sila

Sejak pernyataan Takdir itulah, dimulai upaya serius untuk mencari rumusan sistem filsafat buat Pancasila. Upaya epistemologis, walau lebih sering dirancui oleh upaya politis. Tercatat yang pertama ialah Prof Hamka dan Pdt. Rosin. Buya Hamka, sastrawan dan ulama, mengajukan teori “urat tunggal” atau “akar tunggang” Pancasila. Sila I, Ketuhanan, adalah akar dari semua sila lainnya. Para politikus pro-komunisme berang, merasa diusir dari legitimasi ideologi negara. Polarisasi politik mereka dengan umat muslim inilah yang berkembang mengekstrem sampai dalam sidang-sidang Konstituante. Sementara teori akar tunggal itu sendiri ternilai kurang memadai, kurang rinci mempedomani. Sejarah di banyak negara menyaksikan betapa politik berlatar keagamaan melahirkan sistem sosialisme maupun kapitalisme.  

Adapun Dr H. Rosin, dosen Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, menyatukan lima sila dalam bangunan pentagram, seperti lima sudut bintang. Setiap sudut terhubung dengan sudut lainnya: setiap sila harus dimaknai berdasarkan semua sila lainnya. Logika formalnya sudah tepat sebagai tujuan. Tapi, tanpa pedoman memadai untuk mencapai tujuan tersebut, hanya dihasilkan rumusan kata-kata tanpa makna yang dibutuhkan. Itulah yang dialami Prof Notonagoro di kemudian hari. Misalnya ketika merumuskan “arti” sila I: Ketuhanan YME yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan… dan seterusnya. Rumusan begini tentu saja harus tergulung dalam lingkaran tak berujung-pangkal, karena bila selanjutnya ditanya arti dari “berkemanusiaan” atau “berpersatuan” yang menyifati sila Ketuhanan itu, maka masing-masingnya pun harus dijelaskan sebagai: kemanusiaan yang berketuhanan, berpersatuan Indonesia, dan seterusnya…. Dan seterusnya tanpa bisa henti!

Hingga sekarang, sudah tak terhitung literatur yang berpretensi sebagai “Filsafat Pancasila”, namun umumnya hanya silat kata-kata tanpa pengertian yang terkonstruksi secara logis, apalagi yang koheren.

Malah ada yang lucu-lucu. Misalnya, Prof Moh. Yamin dalam Seminar Pancasila 1959. Pancasila dinilainya sah sebagai filsafat karena sesuai dengan falsafah Hegel yang mengajarkan dialektika atau serba-pertentangan. Padahal sebuah falsafah justru memiliki paradigma serta sistem nilainya sendiri. Seorang filsuf Pancasilais justru harus dapat menilai kekurangan Hegelianisme.

Banyak rumusan yang terperangkap pada ambisi menemukan apa yang oleh ilmuwan sosial mutakhir dikritik sebagai monokausal. Meski dengan catatan aneh-aneh, seperti “mono-dualisme” ala P-4 atau “mono-pluralis” dari konseptor lainnya. Monokausal--seperti “Ekasila Gotong-Royong” dari Sukarno, “Eka Prasetya Pancakarsa” dari P-4, dan “Bersamaisme” dari Prof Soediman Kartohadiprodjo--cenderung mengalami kesulitan seperti teori akar tunggal, yakni buah-buah implikasi serta implementasi yang bisa tak koheren. Begitu pula bila diakarkan pada eksistensi manusia sebagaimana dianjurkan H. Sidhi Gazalba dan kemudian Dr Drijarkara, jika tanpa penjelasan bahwa Pancasila adalah falsafah desisionik (bukan keniscayaan alamiah) dan tanpa pedoman cukup rinci.


Ketika pada 1960-an Sukarno mengajukan “Panca Azimat” Revolusi Indonesia, di mana Pancasila cuma sebagai salah satu elemennya, itu adalah penegasan bahwa Pancasila bukan falsafah dasar. Tak beda dengan 4 Pilar Kebangsaan yang sekarang jadi mode. Mengira sedang mengagungkan Pancasila, padahal sudah menafikan kefilsafatan Pancasila. Ironis!

Benni E Matindas  
Koordinator Balai Pædia, Dosen Filsafat
TEMPO.CO, 31 Mei 2013


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi