Pancasila dan Ide Persatuan

Moga-moga pada tanggal 1 Juni 2013 Presiden SBY bertindak sebagai advokator Pancasila dan menegaskan Pancasila sebagai Dasar Negara. Sekarang Pancasila terasa benar diabaikan.

Tulisan yang menjadi cover story berjudul ”Indonesia in 2045: A Centennial Journey of Progress, ditulis oleh Presiden SBY pada Agustus 2011, seharusnya monumental. Namun, tulisan itu sama sekali tidak menyebutkan Pancasila satu kali pun. Faktanya, menteri-menteri di sekitar Presiden ada yang berasal dari partai yang menolak Pancasila.

Lebih nyata dari itu, Presiden SBY banyak mengangkat menteri, yang oleh kalangan nasionalis dinilai sebagai kelompok neoliberalis. Mengangkat menteri adalah hak prerogatif Presiden, tetapi hak prerogatif tentu saja harus dijunjung tinggi sebagai kemuliaan kepemimpinan bijak, yang harus digunakan dengan hati-hati. Hak prerogatif Presiden bukanlah exorbitanterecht-nya Gouverneur General Hindia-Belanda.

Reduksi Pancasila

Pereduksian Pancasila sebagai dasar negara hanya menjadi salah satu pilar dalam berbangsa dan bernegara baru-baru ini, harusnya hikmah bagi kita untuk beranjak dari sikap acuh tak acuh terhadap Pancasila.

Kilas balik bulan Juli 1993, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro menegaskan posisinya sebagai penganut dan advokator Pancasila. Ia menegaskan, ”Mengingat betapa besar arti dan manfaat Penataran P4 bagi mahasiswa baru sebagai tuntunan dan pegangan hidup, serta penanaman sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia, saya minta agar kegiatan tersebut diselenggarakan sebaik-baiknya. Para dosen penatar saya harapkan benar-benar menyiapkan diri dengan materi maupun keyakinan yang kokoh.”

Menteri P dan K ini tentu melaksanakan kebijaksanaan Presiden Soeharto, sekaligus karena ia yakin akan Pancasila. Banyak yang mengkritik Presiden Soeharto tentang Penataran P4 sehingga sering disebut sebagai Pancasila ala Soeharto atau ala diktator Orde Baru dan seterusnya. Namun, para pengkritik tidak mampu menjabarkan dan menyebarkan Pancasila ala apa pun, termasuk ala pandangan mereka, dan tidak mampu pula menyampaikan saran yang bersifat korektif-konstruktif.

Pancasila sebagai dasar negara telah menjadi idiom. Inilah barangkali yang masih tersisa di benak masyarakat sebelum tergerus habis dan terlupakan selama 15 tahun Reformasi, yang berubah menjadi Deformasi.
Pancasila adalah dasar negara. Pancasila bukan wahana, tetapi ruh yang harus tetap hidup. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak ada. Di atas Pancasila sebagai dasar negara, berdirilah pilar-pilar berbangsa dan bernegara.
Secara awam telah tersosialisasikan ada empat pilar yang ditegakkan di atas dasar negara, yaitu: (1) Proklamasi Kemerdekaan (sebagai pesan eksistensial tertinggi), (2) UUD 1945, (3) NKRI, dan (4) Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa dasar, pilar-pilar akan mengambang.

Persatuan yang utama

Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan. Pada 20 April 1932, Mohammad Hatta menyatakan: ”Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’,” (Daulat Rakyat, 1932).

Yang dimaksud Hatta sebagai ”persatuan” adalah adanya ”persatuan hati” yang membuat kita ”berdiri sebaris”. Lama sesudah itu, dengan senang hati Hatta menyambut lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar ”persatuan hati”, sebagai ”ruh ideologi kebersamaan dan asas kekeluargaan” yang senantiasa ia perjuangkan.

Bahkan, pada saat Bung Hatta berbeda pendapat keras dengan Bung Karno (1960), Bung Hatta tetap memegang teguh Pancasila, yang disebutnya sebagai filsafat negara Indonesia, yang ”dilahirkan oleh Bung Karno”.

Saya kutipkan pandangan Hatta yang mulia, halus pekerti, ideologis, dan religius sebagai berikut: ”Dengan dasar-dasar ini, sebagai pimpinan dan pegangan pemerintah negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia, serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan, dasar-dasar yang tinggi dan murni itu akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar. Demikianlah harapan kaum idealis yang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat yang bersejarah, yang menentukan nasib bangsa. Satu ciptaan mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannya. Namun, sebagai pegangan untuk menempuh jalan yang baik sangat diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik, dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri, supaya sanggup berbuat baik dan jujur, sesuai dengan janji yang dibuat di muka Tuhan.”

Meremehkan Pancasila

Dengan neoliberalisme yang dipelihara oleh pemerintah saat ini, makin berkembang sikap meremehkan Pancasila. Pemerintah, elite kampus, bahkan elite partai di parlemen, ibaratnya tanpa risih mengabaikan Pancasila. Budaya ber- Pancasila dalam penyelenggaraan negara makin tersingkirkan.

Pernyataan-pernyataan korektif keras sering terdengar, antara lain, ”Mengapa kita jadi kebarat-baratan dan kearab- araban? Ini Indonesia yang Pancasila,” (Emha Ainun Nadjib, 2013).

Kita memiliki lebih dari 750 suku bangsa. Suku bangsa-suku bangsa ini sebagai pemangku Nusantara. pada 17 Agustus 1945 kita satukan bersama dalam satu ”persatuan” menjadi Bangsa Indonesia. ”Persatuan” seluruh suku bangsa ini hanya akan menjadi ”persatéan” apabila tidak kita menumbuhkan satu ”ruh” yang sama dalam dimensi Gemeinschaft. Satu ruh kebersamaan itu adalah Pancasila.

Oleh karena itu, Pancasila adalah asas bersama yang tunggal bagi yang bhinneka agar menjadi tunggal ika. Pancasila ibarat ”penyebut yang sama” (common denominator) bagi pluralisme dan multikulturalisme Indonesia. Ibarat 1/2 tak akan terjumlahkan dengan 1/3 dan 1/4 manakala ketiganya tak tertransformasikan dalam penyebut yang sama, yaitu 1/2 menjadi 6/12, 1/3 menjadi 4/12 dan 1/4 menjadi 3/12.

Tanpa ruh atau penyebut yang sama, ”persatuan” hanya akan menjadi ”persatéan”. Adalah Pancasila yang mentransformasi kebhinnekaan menjadi ketunggal-ikaan.


Keterjerumusan kita pada neoliberalisme berdasar untung-rugi ekonomi telah mempertajam ketimpangan teritorial, merenggangkan persatuan hati, dan merusak kohesi nasional. 

Sri-Edi Swasono  
Guru Besar UI
KOMPAS, 01 Juni  2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi