Pancasila
adalah dasar negara. Semua tentu pernah mendengar bahwa Pancasila adalah
landasan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita semua
sudah tahu, semua sudah paham, tapi sudahkah kita semua ”mematenkan” Pancasila?
”Mematenkan” bukan untuk sekadar diketahui dan didengarkan, melainkan untuk
terutama sungguh-sungguh dijadikan sebagai roh, sebagai nyawa bangsa dan negara
dalam melaksanakan berbagai kegiatan berkehidupan.
Pada 68
tahun lalu, tepatnya pada 1 Juni 1945, bapak proklamator kita dengan lantang
bersuara,”Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan lima bilangannya. Namanya bukan
Pancadarma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli
bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Kekal dan
abadi. Betapa Soekarno dan para pendiri bangsa menginginkan Indonesia beserta
Pancasila menjadi dua hal relevan yang takkan lekang dimakan zaman. Pancasila
dalam cita-cita mereka adalah butiran-butiran asas yang akan membawa Indonesia
menjadi negara besar dan berbudi luhur. Seharusnya ini tak berhenti hanya
sampai sebuah cita-cita. Cita-cita para pendahulu kita seharusnya telah kita
realisasi saat ini.
Pancasila
kita telah mengalami berbagai proses dialektika. Namun, sayangnya, panjangnya
proses tersebut bukan bermuara pada satu titik fokus ideologi negara, melainkan
malah berpencar ke banyak aliran. Lihat bagaimana saat ini mayoritas bangsa
Indonesia bersikap, semakin jauh dari lima prinsip dasar bernegara. Semakin
bertambah jumlah era politik negara, semakin rumit posisi Pancasila.
Era
Reformasi menjadi tantangan dalam perjalanan panjang keberadaan Pancasila
sebagai dasar ideologi negara. Selain karena masih membawa luka Orde Baru
(Orba) dengan Pancasila pernah dijadikan ”ikon” kekuasaan Orba, era Reformasi
yang penuh dengan kebebasan membuat Pancasila sering kali terlihat abu-abu.
Reformasi yang sarat dengan kebebasan sering kali menjadikan semua
serbakebablasan.
Ambil
saja hak asasi manusia (HAM) sebagai salah satu contoh. HAM yang terus-menerus
didengungkan hampir tak pernah diikuti dengan dengungan kewajiban asasi.
Alhasil, yang terjadi adalah banyaknya orang yang sering kali menuntut hak
mereka tanpa memperhatikan kewajiban. Konsekuensi logisnya adalah banyak
terjadi konflik, separatisme di mana-mana. Ini jelas melangkahi sila-sila dalam
Pancasila. Tentu masih banyak krisis berbagai bidang yang terjadi di Indonesia.
Hal
tersebut menunjukkan Pancasila tak lagi dianggap sebagai jati diri bangsa.
Namun jika dikerucutkan menjadi sebuah masalah, pada dasarnya segala krisis
yang terjadi di Indonesia adalah buah dari kelalaian akan sila pertama, yakni
Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena pada dasarnya empat sila yang terdapat dalam
Pancasila adalah sila turunan dari sila pertama.
Sila-sila
dalam Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat diantitesiskan. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikatakan Dr Hamka: ”Tiap-tiap orang beragama atau percaya
pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan
lagi karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari
sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Oleh
karenanya, semakin ditinggalkannya Pancasila oleh bangsa kita, jelas, karena
begitu banyak yang melalaikan sila pertama dalam Pancasila. Memudarnya jiwa
Pancasilais kita tentu tak dapat dibiarkan. Saat ini, begitu banyak hal yang
mencerminkan bahwa kita tidak lagi menganut prinsip-prinsip yang dimuat dalam
Pancasila. Bangsa kita seolah kehilangan nyawanya. Indonesia tanpa Pancasila
bagaikan raksasa mati. Bagaikan seonggok makhluk besar tanpa nyawa, begitulah
Indonesia sekarang.
Keberadaan
Pancasila mutlak adalah sesuatu yang akan selalu diperlukan Indonesia. Saat
ini, ada banyak pihak yang menyebutkan ”revitalisasi Pancasila”. Namun apa
sebenarnya yang dimaksud dengan ”revitalisasi Pancasila”? Pada dasarnya, jika
kita ingin merevitalisasi Pancasila, kita dapat melihatnya dari tiga hal. Pertama,
secara idealitasnya, Pancasila tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang
utopis. Pancasila memang lima prinsip yang ideal, tapi tetap harus aplikatif.
Salah
satu caranya adalah memaknai ideologi Pancasila sebagai ”kesatuan kata kerja”
sehingga Pancasila mampu membangkitkan semangat setiap rakyat Indonesia yang
membacanya untuk kemudian menerapkannya. Kedua, secara realitasnya. Nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila haruslah direfleksikan secara objektif ke dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Dengan
demikian, Pancasila mampu menjadi sebuah prinsip yang membumi dan kontekstual.
Ketiga, secara fleksibilitasnya. Pancasila bukanlah sesuatu yang statis, kaku,
dan beku. Pancasila sangatlah terbuka bagi perkembangan zaman sehingga senantiasa
mampu menjadi ideologi dalam setiap perubahan zaman tersebut.
Dengan
demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila akan selalu menjadi
aktual, relevan, serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan
bangsa dan negara. Kita perlu kembali mencatat bahwasanya dahulu kala para founding
fathers menginginkan negara kita berdiri dan berjalan bukan hanya
dengan Pancasila, melainkan juga dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
NKRI.
Jika tadi
disebutkan bahwa saat ini Indonesia seperti raksasa tanpa nyawa, dapat juga
dikatakan bahwa Indonesia tampak seperti raksasa lansia yang perlahan
kehilangan fungsi tulangnya. Tulang yang dimaksud adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Kemajemukan Indonesia menciptakan sebuah kecenderungan konflik tingkat tinggi.
Tulang Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, sering kali tidak berfungsi sebagaimana
harusnya.
Lihat
saja begitu banyak bentrok antarsuku sana-sini, belum lagi daerah-daerah yang
ingin memerdekakan diri sebagai negara. Oleh karenanya, selain revitalisasi
Pancasila, keberadaan empat pilar kebangsaan menjadi salah satu solusi jitu
untuk mengatasi hal ini. Reformasi yang cenderung berbuah pada kata
”kebablasan” harus kembali pada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
NKRI.
Mengapa?
Jelas agar Indonesia mampu kembali menjadi negara yang dicita-citakan para founding
fathers kita. Sekali lagi, kita harus kembali meresapi bahwa Pancasila
sedikit pun tidak boleh digerus, apalagi oleh zaman yang semakin edan.
Melestarikan Pancasila artinya menjaga roh bangsa ini, spirit bangsa ini.
Mengamalkan Pancasila maknanya membangun negara ini, menyelamatkan negara dari
kehancuran. Pancasila adalah taken for granted karena ini
adalah ideologi negara yang tercipta dari cita-cita luhur para pendahulu kita
karena Pancasila adalah nyawa kita.
Dewi
Aryani ;
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
KORAN SINDO, 01 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi