MOHAMMAD Hatta
menampik jika ada orang atau institusi menghapus atau mengaburkan nama Soekarno
dari kesejarahan Pancasila. Situasi Orde Baru telah memperlihatkan arogansi,
keagungan penguasa dengan desoekarnoisasi. Manipulasi imajinasi ketokohan dan
peristiwa politik dibuat dalam propaganda narasi sejarah. Pancasila
dikeramatkan, tapi dijauhkan dari Soekarno. Rekonstruksi sejarah tak merujuk ke
Soekarno atau peristiwa pidato 1 Juni 1945. Penguasa di masa Orde Baru memiliki
bahasa-bahasa mengelabui, mengarahkan publik untuk ragu atas peran Soekarno
dalam penggalian dan perumusan Pancasila.
Hatta
menduga bakal ada kesesatan sejarah, kegamangan pemaknaan Pancasila tanpa
ingatan terang mengenai Soekarno. Hatta pun menulis surat wasiat, 16 Juni 1978,
yang mengandung keinsafan sejarah. Hatta bercerita, di ujung Mei 1945, Radjiman
Wediodiningrat (PPKI) mengajukan pertanyaan: ''Negara Indonesia merdeka
yang akan kita bangun itu apa dasarnya?'' Orang-orang diam, tak berani
menjawab dengan pertimbangan menimbulkan perdebatan berkepanjangan. Hatta
mengenang: ''... yang menjawab pertanyaan itu ialah Bung Karno, yang
mengucapkan pidato pada tanggal 1 Juni 1945, yang berjudul Pancasila, Lima
Sila, yang lamanya kira-kira satu jam.'' Pidato itu memikat, mendapat
sambutan, dan keriuhan tepuk tangan.
Kita
patut merenungi keputusan Hatta menulis surat wasiat, mengisahkan Soekarno dan
Pancasila. Surat itu dituliskan di masa Orde Baru saat Pancasila mengalami
pengeramatan oleh Soeharto. Pancasila tetap dijadikan dasar negara meski ada ''pengambilalihan''
otoritas pemaknaan dari Soekarno ke Soeharto. Sejarah Pancasila mengalami
perubahan. Nama Soekarno memudar, berada di pinggiran narasi sejarah. Soeharto
dan militer telah membuat Pancasila menjadi khas Orde Baru, disajikan sebagai
ideologi menggunakan bahasa manipulatif dan tindakan represif.
Soeharto
ingin berperan besar untuk meresapkan Pancasila ke kalbu Indonesia. Ambisi itu
diwujudkan dengan pembakuan makna Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (1976). Soeharto berkata: ''Yang paling penting
adalah agar Pancasila itu benar-benar kita rasakan wujudnya secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari kita sebagai pribadi dalam tata pergaulan hidup dengan
sesama anggota masyarakat, dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita.'' Soeharto
mulai jarang mengucap nama Soekarno jika berpidato tentang Pancasila. Soeharto
perlahan menempelkan ''keakuan'' dalam menafsirkan Pancasila ke publik. Ulah
itu jelas mengandung maksud: Pancasila adalah Soeharto.
Goenawan
Mohamad (2009) menganggap bahwa kebijakan-kebijakan Soeharto menimbulkan
pengeramatan Pancasila, menempatkan Pancasila sebagai ''ideologi melangit'',
tapi indoktrinatif. Pancasila juga disajikan oleh penguasa dengan bahasa dan
simbol eksklusif, mengacu ke nalar birokratis-militeristis. Tindakan Soeharto
ibarat perebutan Pancasila dari sejarah, mengolah ulang menggunakan
pertimbangan-pertimbangan politis demi kelanggengan kekuasaan. Pancasila
menjadi sakti, dipropagandakan berdalih pembangunan. Kita mengingat Pancasila sebagai
''sihir'' dan ''mantra'' bergelimang perintah, ancaman, dusta, keraguan.
Soekarno
telah mewariskan Pancasila sebagai tema polemis, ditafsirkan secara inklusif
berpijak pluralitas. Warisan itu ditutupi oleh Orde Baru, mengisahkan Pancasila
dengan tafsir-tunggal dan mengeramatkan demi stigmatisasi ideologis. Pengamalan
Pancasila mesti menuruti kehendak penguasa. Penghinaan atau perlawanan atas
tafsir penguasa adalah subversi. Rezim Orde Baru berhasrat memiliki Pancasila,
melekatkan Pancasila ke biografi politik Soeharto. Kita pun mendapat warisan
Pancasila dari Orde Baru sebagai siksaan, klise, trauma. Pancasila hampir
kehilangan pesona. Kita tergoda untuk mengabaikan Pancasila, meninggalkan
dengan argumentasi ''kelelahan'' dan ''jemu'' akibat ulah-ulah rezim Orde Baru.
Keruntuhan
Orde Baru menimbulkan dilema, kita merindukan Pancasila, tapi sulit
menghilangkan trauma. Sejarah memang buram, kita membaca dengan sungkan.
Ilusi-ilusi ideologis masih ada di ingatan, mendekam di kalbu Indonesia oleh
indoktrinasi Soeharto selama puluhan tahun. Ikhtiar membeningkan sejarah
Pancasila dan selebrasi tafsir inklusif terus dilakukan meski warisan Orde Baru
masih bertebaran di Indonesia. Pancasila tak mesti ''sakti''. Kita menginginkan
Pancasila adalah rujukan keinsafan dan mawas diri dalam misi
berbangsa-bernegara.
Situasi
dilematis itu merangsang Yudi Latif menekuni Pancasila, menulis buku berjudul Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila(2011). Yudi
Latif mengisahkan hasrat kerinduan dan ingatan kembali untuk menempatkan
Pancasila di kalbu Indonesia. Penulisan buku tentang Pancasila dilakoni dengan
pengembaraan ke pelbagai kota dan desa di Indonesia. Yudi Latif ingin
mengembalikan Pancasila bersumber dari lakon kehidupan rakyat, menampik
dominasi penguasa untuk mengeramatkan Pancasila.
Yudi
Latif menulis pengharapan dan satire berlatar lakon rakyat merujuk ke
Pancasila: ''Dari jarak dekat, dalam bau keringat, dan kaki-kaki
kebangsaan, bisa saya tangkap degup keresahan, ketidakpuasan, sekaligus
kecintaan mereka pada tanah air. Semangat solidaritas emosional dan kehendak
untuk bersatu masih kuat, namun karena kekeliruan manajemen kekuasaan, di
beberapa titik bisa dijumpai retakan-retakan bangunan arsitektur kebangsaan
Indonesia.'' Narasi ini berpesan, mengajak pembaca mengembalikan
Pancasila di kalbu Indonesia berpijak inklusivitas dan pluralitas.
Pancasila
terus ditafsirkan di abad XXI. Pancasila adalah referensi untuk berindonesia
saat korupsi, kekerasan, diskriminasi, kemiskinan masih menjadi ironi dan
tragedi. Pancasila tak mengenal kedaluwarsa. Kita mengingat Pancasila melalui
sejarah bergelimang makna, mengamalkan demi nasib Indonesia. Pancasila bermula
dari pidato, kata-kata mengandung imajinasi pengharapan. Kita pun mewarisi Pancasila
untuk tindakan-tindakan demi berindonesia. Begitu.
Bandung
Mawardi ;
Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 01 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi