Kekerasan tampaknya masih menjadi mantra kehidupan berbangsa.
Kekerasan oleh aparat kembali muncul di Musi Rawas, Sumatera
Selatan. Peristiwa terjadi saat petugas akan membubarkan massa yang
memblokade jalan lintas Sumatera dengan tuntutan pemekaran wilayah Kabupaten
Musi Rawas.
Empat korban tewas akibat penembakan pada Senin (29/4), di
Kecamatan Muara Rupit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Tiga dari empat
korban, yaitu Mikson (35), Apriyanto (18), dan Suharto (18), dimakamkan di
Tempat Pemakaman Umum (TPU) Rupit dalam satu liang lahat. Satu korban lainnya,
Padilah (45), dimakamkan di Desa Pantai atau sekitar 1 kilometer dari Desa
Rupit.
Sementara itu, 10 korban luka masih dirawat di Rumah Sakit (RS)
Lubuklinggau. Sebelumnya kita juga menyaksikan penembakan anggota Kopassus
terhadap tahanan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Kota Palopo pun tak lepas dari bara konflik. Kasus anarkistis
di Kota Palopo (31/3) diduga sebagai buntut ketidakpuasan terhadap hasil
pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Massa yang diduga pendukung calon wali
kota/wakil wali kota yang kalah, Haidir Basir-Thamrin Jufri, mengamuk dan
membakar sejumlah bangunan.
Bangunan yang menjadi sasaran yakni kantor Dewan Pimpinan Daerah
Partai Golkar, kantor Wali Kota Palopo, Dinas Perhubungan, kantor Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu), kantor Kecamatan Wara Timur, dan kantor Harian
Palopo Pos.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana pendidikan
mengurai persoalan tersebut?
Pendidikan Humanis
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 1 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional).
Menilik konsepsi di atas, pendidikan merupakan proses saling
menghargai antarkomponen. Semua adalah sama. Guru bukanlah seseorang yang
serbatahu. Siswa pun bukanlah manusia bodoh yang perlu dicekoki berbagai teori
sesuai buku ajar.
Pendidikan merupakan bagian integral mengenal diri terhadap
realitas empiris. Pendidikan bukan saja mengecap teori dan menghafalkan rumus.
Pendidikan merupakan pemerdekaan pribadi. Pendidikan adalah pengelolaan potensi
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Lebih lanjut, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia
(humanizing human being). Proses pendidikan humanis dilakukan dengan sadar dan
terencana. Pola pendidikan humanis, penyadaran dalam bahasa Romo Mangun,
pengangkatan manusia muda ke taraf insani dalam bahasa Romo Driyarkara dan principle
of reaction dalam bahasa Ki Hajar Dewantara sudah saatnya
diimplementasikan.
Bangsa ini memiliki banyak tokoh pendidikan yang mengemukakan
gagasan brilian. Mengapa mereka tidak pernah kita rujuk? Mungkin benar pendidikan
nasional Indonesia lebih berorientasi kerja atau pasar, tanpa memedulikan
aspek-aspek humanis dalam pendidikan.
Ruh pendidikan nasional tergadai oleh gemerlap dunia kerja dan
kejar setoran demi sebuah “prestasi”. Prestasi tampil di aras internasional,
namun melupakan hakikat dan makna pendidikan sebagai sebuah proses hidup.
Dalam pendidikan yang bercorak humanis, seseorang dianggap
sama. Artinya, semua manusia memiliki potensi yang telah diberikan Tuhan
sejak lahir. Potensi inilah yang diolah dan dikembangkan untuk bekal hidup.
Tidak dengan jalan pemaksaan (kekerasan), melainkan dengan saling tegur sapa
dan saling mengisi.
Sekolah merupakan persemaian cinta kasih tanpa batas, antara guru
dan siswanya. Relasi ini tergambar jelas dalam penelitian T Priyo Widianto
(2000). Guru dapat bersikap seperti simbah, simbok, dan babu. Jika semua guru
mampu bersikap seperti ini, harmoni di dalam sekolah akan tercapai. Sekolah
menjadi tempat menyenangkan bagi siswa untuk belajar, berinteraksi, dan tumbuh
kembang.
Komunitas Beradab
Proses seperti itu merupakan esensi pendidikan. Sebuah proses
tiada henti yang menjadikan setiap insan nyaman untuk hidup berdampingan.
Manusia hidup dalam komunitas beradab (homo homini socius), bukan dalam
komunitas saling terkam dan mematikan (homo homini lupus).
Komunitas beradab terbangun dari cita bersama. Cita menyadarkan
posisi manusia sebagai makhluk berakal dan berbudi. Manusia merupakan
masterpiece ciptaan Tuhan. Manusia adalah manusia utama sehingga ciptaan Tuhan
terdahulu wajib bersujud kepadanya. Makhluk mulia selayaknya berperilaku
santun.
Santun dalam ucapan maupun sikap. Kesantunan ini terbentuk dari
sistem pendidikan yang kuat. Sistem pendidikan yang memberi keleluasaan
(kebebasan) kepada komponen pendidikan untuk berkembang tanpa terbebani
kurikulum yang ndakik-ndakik.
Kurikulum pun selayaknya diarahkan untuk menjadikan proses belajar
sebagai hal yang menyenangkan. Bukan menegangkan atau bahkan membebani siswa.
Hal ini karena kurikulum merupakan hal utama.
Dari sinilah seorang guru mengimplementasikan sistem pendidikan.
Jika kurikulumnya saja tidak mampu menjadi acuan yang benar maka berlangsungnya
proses pendidikan pun akan kacau dan tanpa arah. Dengan demikian, kurikulum
selayaknya bersumber dari semangat pemanusiaan.
Jika hal tersebut tidak menjadi agenda dalam pendidikan nasional,
maka kekerasan, aksi brutal, dan bahkan konflik horizontal tinggal menunggu
waktu. Pasalnya, generasi muda dididik menjadi bengis dan menghalalkan cara
kekerasan atas nama pendidikan.
Ketika pendidikan tidak mampu memberikan kontribusi terhadap
keadaban publik maka pelapukan bangsa akan semakin cepat. Bangsa Indonesia akan
semakin sulit keluar dari krisis multidimensional. Bangsa Indonesia pun semakin
terseok dalam kubangan masalah.
Pada akhirnya, beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini
menunjukkan secara gamblang bahwa pendidikan nasional masih jauh dari cita
pembangunan manusia seutuhnya ala founding fathers and mothers.
Pendidikan Indonesia masih saja berjibaku oleh tarikan kepentingan yang jauh
dari semangat kebangsaan.
Benni
Setiawan ;
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY),
Peneliti Maarif Institute for Culture
and Humanity
SINAR HARAPAN, 07 Mei
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi