DUNIA
pendidikan selalu menjadi perhatian masyarakat. Para pegiat pendidikan secara
terus-menerus melakukan evaluasi dan melakukan perbaikan. Yang nyatanya di
sana-sini belum sesuai dengan kebutuhan yang ada. Baik menyangkut
sarana-prasarana pendidikan, profesionalitas guru, kurikulum maupun menyangkut
hal teknis, yakni karut-marutnya ujian nasional beberapa waktu lalu.
Dalam
suatu acara simposium membahas kurikulum 2013, salah satu narasumber bertanya
kepada para peserta seminar. Kurang lebih seperti ini pertanyaannya, “Pilih
mana Bapak-Ibu guru, punya anak didik lulus UN, tapi tidak rajin sikat gigi.
Atau, tidak lulus ujian, namun rajin sikat gigi?“ Setelah pertanyaan tersebut
dilontarkan, para peserta terlihat gamang menjawab. Bahkan, sebagian besar kebingungan
menjawab pertanyaan tersebut dan banyak yang abstain.
Dalam
keadaan ini, lembaga pendidikan ataupun guru tidak boleh lagi berkacamata kuda,
yang tujuannya hanya mempertinggi kapabilitas mereka mengejar target kurikulum
dan memperbaiki score test para siswanya. Jadi, tidak hanya fokus kepada
keberhasilan tes nasional. Namun, pendi dikan harus dikaitkan dengan
perkembangan dan dinamika lingkungan masyarakat. Pendidikan harus membawa
siswanya mampu memahami bahwa dunia mereka yang hadapi sekarang berubah cepat.
Karena itu, pendidikan tidak diselenggarakan di ruang kosong, tetapi
diselenggarakan di tengah masyarakat yang mengalami perubahan. Baik perubahan
secara budaya, sosial, ekonomi, politik maupun aspek lainnya.
Sengaja
atau tidak, selama ini lembaga pendidikan menanamkan sikap berlebihan pada diri
para siswa, yaitu bahwa belajar adalah untuk menghadapi ujian. Ujian merupakan
derajat tertinggi yang harus dikuasai dan dilalui. Makna belajar sudah menjadi
sedemikian sempit dan dangkal (hanya untuk menghadapi ujian).
Sekolah
melupakan betapa pentingnya memperhatikan dan memberikan penghargaan kepada
para siswa dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki tiap-tiap individu
secara optimal. Hal ini menyebabkan pendidikan sebagai proses pembudayaan
menjadi mandul. Itu karena guru-guru terjebak atau terkungkung hanya
menyukseskan score test (ujian nasional/UN).
Fondasi kehidupan
Dari
sini, pendidikan kemudian gagal memenuhi ambisi besarnya di dalam menumbuhkan
imajinasi kreatif manusia. Pendidikan, bagaimanapun, merupakan tempat yang
bertanggung jawab untuk menumbuhkan tata nilai kemanusiaan, tata masyarakat
yang disemanga ti prinsip keadilan, dan kesejahteraan bersama. Lebih jauh dari
itu, pendidikan meninggalkan tugas hakikinya, yakni mengembangkan spirit dan
sekaligus mengembangkan otak. Sehingga setiap siswa dapat menemukan dan
mengembangkan sesuatu yang bernilai yang akan menjadi fondasi kehidupannya dan
juga belajar menghargai apa yang dilakukan orang lain (Darling Hammond, 1996).
Senada
dengan hal itu, mantan Menteri Pendidikan (2001-2004), Malik Fadjar, menyatakan
bahwa lembaga pendidikan seperti itu menjadi suwung. Hampa. Sebuah ruang yang
tidak menawarkan roh keperluan siswa guna menjalani kehidupan di masa
mendatang. Karena itu, mengajar bukan hanya menaikkan standar prestasi yang
diukur dengan score test, melainkan juga mengaitkan dengan
penguasaan dinamika masyarakatnya. Pendidikan sebaiknya mampu menyediakan ruang
dan kesempatan pembelajaran, bukan hanya mereka yang kreatif dan berhasil
secara ekonomi. Namun, juga bisa memberi ruang dan kesempatan kepada mereka
yang tertinggal secara kultural, ekonomi, ataupun politis.
Dalam
konteks praksis di Indonesia, mencerdaskan ke hidupan bangsa, sebagaimana yang
termaktub dalam pembukaan UUD 45, masih salah ditafsirkan pemerintah.
Pendidikan masih berkutat soal administratif. Namun, esensi dari pendidikan
jauh dari yang diharapkan. Hasilnya, pendidikan belum mendorong anak didik
sejauh mana tingkat produktivitas, daya kreativitas, kemandirian, dan nalar
kritisnya. Dengan begitu, pendidikan belum menjadi faktor determinasi dalam
sebuah perubahan.
Pendidikan
nilai budaya, agama, kepercayaan, dan kejayaan belum sepenuhnya menjadi spirit
untuk perubahan. China, misalnya, karena dipengaruhi pendidikan nilai (budaya,
agama, dan kejayaan masa lalu) sekarang menjadi kekuatan dunia.
Dengan
demikian, dimensi nilai pendidikan kita mestinya benar-benar mengumulasi tiga
hal. Pertama, dimensi masa lalu. Kedua, masa kini dan ketiga, masa depan.
Dimensi masa lalu berarti pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa, yang
berarti berorientasi kepada nilai-nilai luhur bangsa pada masa lalu.
Pendidikan
yang menekankan pentingnya perhatian terhadap kebutuhan pembangunan nasional
disebut pendidikan berpijak pada masa kini. Adapun pendidikan yang menyiapkan
peserta didik bagi peranannya di masa akan datang berarti pendidikan yang
menanamkan dan mengembangkan seperangkat nilai yang diperlukan untuk masa yang
akan datang.
Persiapan kondisi
Maka,
kegamangan para pendidik dalam menjawab pertanyaan tadi mengindikasikan
ketidakjelasan dalam mengimplementasikan dasar tujuan pendidikan kita. Adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, dan keterampilan, sehat jasmani
dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Oleh
sebab itu, proses pendidikan harus diarahkan untuk mempersiapkan anak didik
menghadapi setiap kondisi yang terjadi dalam kehidupan. Pendidikan yang digagas
sebagai cara paling unggul bagi manusia untuk mengembangkan dan mempersiapkan
generasi sejarah. Konteks pendidikan kritis belum benar-benar bebas dari
paradigma positifistik (Freire, 1999).
Potret
semacam itu menantang kita untuk berpikir kritis dan menemukan celah baru.
Sebuah usaha untuk melepaskan diri dari kesan buram dan perjalanan proses yang
makin kehilangan kualitas perlu ditempatkan satu tugas dan tantangan pendidikan
di masa mendatang (merumuskan dan menegakkan sebuah sistem pendidikan) yang
tidak berorientasi pada survival sesaat.
Abdul Kholiq ;
Aktivis Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah
MEDIA INDONESIA, 07 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi