Gugatan Empat Pilar MPR

Menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni lalu, ada sebuah pernyataan yang menarik. M Jusuf ASP dan Prof Dr Sutaryo, SpAK, anggota Tim Ahli Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), seperti dikutipSuara Karya (26/5), mengatakan bahwa Pancasila yang termasuk ke dalam konsep empat pilar MPR telah direduksi. Hal ini juga dibuktikan dengan makin besarnya ketergantungan kita pada asing.

Begitulah "nasib" Pancasila di negeri yang mengklaim berideologi dan berdasarkan Pancasila ini. Secara verbal, kini Pancasila mulai disebut kembali. Seolah-olah kita disadarkan kembali, setelah Pancasila sudah tidak terdengar begitu lama. Lima belas tahun setelah reformasi ketika peran Pancasila meredup, kesadaran muncul ketika kita sudah terlalu jauh hanyut di era globalisasi. Pragmatisme dan konsumerisme sedang melanda bangsa ini, sejalan dengan merebaknya liberalisme, kapitalisme, dan individualisme. Gotong royong sebagai nilai Pancasila sudah tidak berbekas.

Meski kita bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif cukup tinggi, kesenjangan ekonomi makin lebar. Gini Koefisiensi Indonesia telah mencapai 042. Dampaknya, muncul keresahan sosial. Kesempatan kerja makin langka; kemiskinan masih menjerat; konflik horizontal dan sikap intoleransi juga makin merebak. Ketergantungan pada asing juga kian nyata. Konsep Trisakti--mandiri di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya--yang dicanangkan Bung Karno makin tinggal impian. Semua itu disebabkan kita telah melupakan Pancasila sebagai rujukan segala kebijakan negara.

Sistem politik kita, sistem ekonomi kita, sistem sosial dan budaya kita, telah menyimpang dari Pancasila. Di saat seperti ini, kita baru merasakan telah kehilangan jati diri bangsa. Indonesia masa depan mungkin akan berbeda dengan Indonesia yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini kalau kita terlambat menyadari kenyataan itu.

Di tengah kenyataan seperti itu, MPR menyampaikan konsep "empat pilar". Tujuannya, untuk memudahkan sosialisasi dan mengingatkan kita semua untuk kembali ke Pancasila. Tujuan yang baik itu, sayangnya, menimbulkan polemik sehingga justru dinilai mereduksi Pancasila. Sebab, kedudukan dan peran Pancasila memang berbeda dengan pilar yang lain, yaitu UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Tidak berlebihan, sebagai wujud upaya memantapkan Pancasila sebagai dasar negara, kita harus mampu menerjemahkan Pancasila agar dapat dioperasionalkan menjadi rujukan segenap kebijakan negara. Tak mudah dan bahkan sulit mengingat keterikatan kita di era globalisasi, sehingga kita harus menaati komitmen-komitmen yang telah menjerat kita.

Tahun 2015 kita sudah harus menerapkan pasar bebas ASEAN. Demikian pula komitmen kita dengan negara lainnya. Kalau kita gagal mencerdaskan bangsa, meninggalkan Pancasila sebagai segala rujukan kebijakan negara, Indonesia mungkin akan kian tenggelam dan hanyut di era globalisasi. Di sinilah relevansi Pancasila sebagai dasar negara. Sebab, hanya dengan memantapkan Pancasila sebagai dasar negara dan mengamalkannya secara nyata, kita akan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.


Inilah program kita bersama menjelang 2014. Inilah hikmah polemik di sekitar Pancasila. Menjadikan polemik seputar Pancasila sebagai wahana pendidikan politik, agar tahun 2014 kita tidak salah pilih di kotak suara pemilu.

Sulastomo   
Koordinator Gerakan Jalan Lurus
SUARA KARYA, 04 Juni 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi