Selama ini, nama Prof Notonagoro sangatlah lekat
dengan Pancasila. Berbicara tentang dasar negara kita itu beserta filsafat di
baliknya tidak bisa lepas dari wibawa intelektual beliau.
Boleh dibilang, Notonagoro adalah salah
satu “pengasuh” Pancasila yang tekun merawat kelima sila hasil cetusan ide
Soekarno hingga mencapai bentuknya yang mapan sebagai ideologi bangsa
sebagaimana kita kenal saat ini.
Karena statusnya yang demikian mulia tersebut,
pemikiran Notonagoro sering diterima tanpa reserve (tanpa kritik) atau bahkan taken
for granted (sudah dianggap lumrah kebenarannya).
Padahal, jika kita menyimak saksama pemikiran
Notonagoro tentang Pancasila, ada satu “celah” mendasar yang patut dicermati di
sana. Inilah satu “retakan” yang bisa berakibat kurang baik jika
terus dibiarkan menyelinap di dalam kurikulum pendidikan dasar maupun
pendidikan tinggi kita terkait mata ajar/mata kuliah Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
Cangkokan Aristotelian
Jika kita sering mendengar bahwa kelima sila dalam Pancasila
merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling terkait, itu adalah salah satu
sumbangsih terbesar Prof Notonagoro. Sebagaimana diringkaskan Slamet Sutrisno
dalam Filsafat dan Ideologi Pancasila (Penerbit Andi, 2006), Prof Notonagoro
pada 1951 menyatakan bahwa sila-sila Pancasila mewujud dalam suatu bangun
hierarkis-piramidal.
Artinya, sila-sila di dalam Pancasila saling
terkait dengan sila terdahulu yang menjiwai sila berikutnya. Tiap-tiap sila itu
merupakan asas peradaban dan asas keadaban yang memungkinkan negara Indonesia
menjadi Negara Hukum yang Berkebudayaan.
Kemudian, untuk memberikan pendasaran filosofis
kuat bagi Pancasila, Prof Notonagoro mencangkokkan teori filsuf Yunani,
Aristoteles, ke dalam ideologi bangsa tersebut. Secara khusus, Prof Notonagoro
menggunakan pisau analisis teori empat causa Aristotelian untuk membedah
Pancasila.
Pertama, causa materialis Pancasila ialah hidup
kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia. Kedua, causa formalis Pancasila
ialah Soekarno, BPUPKI, dan PPKI. Ketiga, causa finalis Pancasila adalah
peruntukannya sebagai dasar filsafat kenegaraan. Keempat, causa efisiennya
adalah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun
1945.
Pada titik inilah terdapat “retakan” dalam
pemikiran Prof Notonagoro. Pasalnya, Prof Notonagoro tampaknya mengacaukan
causa formalis Aristotelian dengan prosedur formalistis-legalistis ketika
Soekarno, BPUPKI, dan PPKI secara historis merumuskan dan menetapkan Pancasila
sebagai dasar filsafat kenegaraan. Padahal, bukan pengertian itu yang dimaksud
Aristoteles.
Jika merujuk pada teori causa sejati hasil
buah-pikir Aristoteles (Kees Bertens, Pengantar Filsafat Yunani, Gramedia,
1995), dalam bahasa mudahnya causa materialis adalah bahan yang menyebabkan
sesuatu. Causa efisien adalah penyebab langsung (efisien) yang
menimbulkan akibat. Causa finalis adalah tujuan dari produk
yang dihasilkan oleh proses sebab-akibat (kausal) yang ada. Causa formalis
adalah bentuk (forma) yang dicita-citakan sebagai hasil akhir.
Beranjak pada teori Aristoteles di atas, Prof
Notonagoro tepat ketika mengatakan causa materialis alias bahan mentah pengolah
Pancasila adalah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia. Selain itu,
Prof Notonagoro benar ketika menyatakan causa efisien-nya adalah
proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun
1945—atau perlu ditambahkan lagi, Soekarno sebagai penggagas awal
Pancasila. Bahkan, beliau pun tepat ketika mengatakan causa finalis
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat kenegaraan.
Akan tetapi, causa formalis Pancasila
yang lebih tepat adalah lima sila Pancasila yang kita kenal sekarang
ini. Maksudnya, bukan Pancasila versi awal Soekarno: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan (pidato asli dalam Herbert Feith dan
Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1970)
yang menempatkan ketuhanan di urutan sila paling bawah. Bukan pula Pancasila
versi Piagam Jakarta di mana sila pertama berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Kekeliruan
Oleh karena itu, causa formalis yang dikemukakan
Prof Notonagoro sebenarnya setali tiga uang atau bisa dimasukkan sekaligus ke
dalam causa efisien Pancasila-nya.
Bayangkan konsekuensi kekeliruan yang sudah
berurat dan berakar ini; yaitu para anak bangsa yang duduk di bangku
sekolah, kuliah, atau seminar-seminar dan forum-forum ilmiah seakan diajak
berpikir ahistoris untuk melupakan fakta bahwa forma alias bentuk Pancasila
seperti sekarang ini sejatinya tidaklah datang dengan mudah begitu
saja, melainkan melalui proses berjenjang pergumulan dan pemikiran rumit serta
melelahkan antara para founding fathers bangsa ini.
Pertama, jenjang ketidaksetujuan komponen agama,
terutama Islam, dengan ditempatkannya nilai ketuhanan sebagai sila
kelima. Perdebatan ini kemudian berujung pada kompromi hasil bentukan Panitia
Kecil pada 22 Juni 1945 yang memindahkan nilai ketuhanan sebagai sila pertama dengan
tambahan “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya) yang kita kenal sebagai Pancasila versi Piagam Jakarta.
Kedua, jenjang ketidaksetujuan komponen nasionalis
dan non-Islam dengan Piagam Jakarta di atas. Muncul kembali perdebatan yang
berujung pada kompromi umat Islam pada 18 Agustus 1945 untuk menanggalkan tujuh
kata dan mengganti rumusan sila pertama cukup dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari sini, terbetiklah satu jargon terkenal bahwa
Pancasila yang kita kenal saat ini (causa formalis Pancasila)
adalah hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia demi menjaga
persatuan (disertasi Ahmad Syafii Maarif di Chicago University, Islam
dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3ES, 1996). Sealur pikir
dengan ini, Endang Saifuddin Anshari dalam tesis MA di McGill University,
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Gema Insani Press, 1997), menyatakan Pancasila
adalah dasar negara yang dijiwai oleh spirit Piagam Jakarta, sebagaimana
termaktub dalam Dekrit 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 beserta
Pancasila yang termuat di dalam Pembukaan.
Akhirulkalam, sudah saatnya kita meluruskan
“retakan kecil” dalam pemikiran bernas Prof Notonagoro tentang Pancasila.
Tentu pelurusan ini tidak mengurangi kecemerlangan pemikiran beliau, melainkan
justru menghormatinya.
Satrio
Wahono ;
Magister Filsafat UI,
Pengajar Mata Kuliah
Pancasila/Kewarganegaraan
SINAR HARAPAN, 04 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi