Pancasila dan Agama

Dalam artikel yang berjudul "Pancasila dan Demokrasi Kita" (Republika, 1/6/2013), ditulis: "Lahirnya Pancasila merupakan indikasi bahwa bangsa Indonesia sudah mengakhiri negara agama. Bangsa Indonesia lebih memilih negara bangsa karena Indonesia bukanlah terdiri satu agama saja. Indonesia memiliki banyak agama sehingga ideologi yang tepat adalah Pancasila." 

Kekeliruan yang banyak terjadi dalam memahami Pancasila adalah meletakkan Pancasila dalamworldview sekuler (netral agama). Mendikotomikan antara "negara bangsa" dan "negara agama" adalah tidak tepat dalam konteks keindonesiaan. Begitu juga mendikotomikan antara "negara Pancasila" dengan  "negara agama". 

Memahami Pancasila adalah soal tafsir. Ada tafsir yang tepat dan tafsir yang keliru. Usulan agar Indonesia secara tegas menyatakan diri sebagai negara sekuler pernah disampaikan oleh Dr Soedjati Djiwandhono. Perlu dicatat, bahwa Pancasila saat ini secara substansial sangat berbeda dengan rumusan Bung Karno yang diajukan pada 1 Juni 1945: (1) kebangsaan Indonesia, (2) internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) mufakat atau demokrasi, (4) kesejahteraan sosial, dan (5) ketuhanan. 

Rumusan Pancasila saat ini merupakan rumusan yang bersumber dari Piagam Jakarta yang juga diketuai Bung Karno. Bedanya, hanya pada tujuh kata yang dihapus, yaitu "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Rumusan Pancasila selengkapnya saat ini: (1) ketuhanan Yang Maha Esa, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika ditelaah, NKRI, menurut Pancasila dan UUD 1945, bukanlah negara yang netral agama. Pancasila dan UUD 1945 sangat sarat dengan muatan pandangan alam Islam. Hilangnya tujuh kata dari pembukaan UUD 1945, meski pun sangat disesalkan oleh umat Islam, tidaklah membuang kerangka pandangan alam Islam tersebut. Itu bisa dilihat dari banyaknya kata-kata kunci dalam Islam pada Pembukaan UUD 1945, seperti kata "Allah", "adil", "adab", "musyawarah", "hikmah", "wakil", dan lain-lain. 

Kata "perikemanusiaan" sangat berbeda maknanya dengan "kemanusiaan yang adil dan beradab". Dalam pandangan alam Islam, adil bukan tidak berpihak, tetapi berpihak kepada yang benar. Koruptor tidak disamakan dengan orang yang jujur dan bersih. Memberikan ruang yang sama di masyarakat kepada aliran sesat pemuja seks bebas dengan agama Islam bukan adil namanya, tapi zalim. 

Konsep adab begitu banyak diuraikan dalam Islam. (Lihat, misalnya, Kitab Adabul Alim wal-Muta'allim-karya KH Hasyim Asy'ari; buku Risalah untuk Kaum Muslimin, karya Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas). Tidak beradab menyamakan kedudukan Rasulullah SAW dengan manusia biasa. Tidak beradab namanya, melegalkan perkawinan sejenis atau perkawinan manusia dengan binatang, meskipun diatasnamakan perikemanusiaan dan saling cinta satu sama lain. Syuro tidak sama dengan demokrasi. Sebab, dalam syuro tidak dibahas zina perlu dilegalkan atau tidak.

Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia Prof Hazairin dalam bukunya, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Rineka CIpta, 1990, cet ke-6), menulis bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa berarti pengakuan kekuasaan Allah atau kedaulatan Allah (hlm 31). Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan Syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantara kekuasaan Negara (hlm 34). 

Pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep negara tauhid bisa ditelusuri dari sejarah rumusan sila tersebut. Sebagai saksi sejarah, Prof Kasman Singodimedjo menegaskan: "Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam." (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta: Bulan Bintang, 1982, hlm 123-125).

Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, Ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan tujuh kata setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, pun ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul "Hubungan Agama dan Pancasila" yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU KH Achmad Siddiq, menyatakan:

"Kata `Yang Maha Esa' pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata `Yang Maha Esa' merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan `Ketuhanan Yang Maha Esa' itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (Surah al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa." (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi, Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992).

Pancasila sebagai konsep negara tauhid sejatinya merupakan rumusan para tokoh pendiri bangsa. Maka sudah sepatutnya, di negara tauhid, kemusyrikan dan kemunkaran tidak dilegalkan dan dipromosikan. Bagi kaum Muslim Indonesia, Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT. Mengimani Tuhan Yang Maha Esa itu juga bermakna kesediaan untuk dan patuh kepada-Nya. Jika mengaku percaya kepada-Nya tapi tidak mau diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa, apa bedanya dengan Iblis?

Adian Husaini   
Dosen Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor 
REPUBLIKA, 03 Juni 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi