Siapa
peduli? Barangkali itu respons dari sebagian besar anggota komunitas dosen di
Indonesia menanggapi diskusi terkait jurnal predator yang muncul pada beberapa
artikel dalam sebuah harian terkemuka negeri ini selama beberapa waktu terakhir
(April-Mei 2013). Diskusi ini tampaknya ber awal dari pengumuman dalam laman
Ditjen Dikti Kemendikbud tentang Sistem Penilaian Angka Kredit Dosen terkait
sejumlah jurnal yang dicurigai tidak bermutu, termasuk daftar sejumlah jurnal
dan penerbit yang dikatakan sebagai "predator" oleh Jeffrey
Beall (pustakawan Universitas Colorado, Denver, Colorado, AS).
Jurnal
predator didefinisikan kurang lebih sebagai open-access journal,
yang dibuat oleh penerbit yang tak jelas statusnya, dan bertujuan untuk mencari
keuntungan komersial semata dari peneliti yang ingin memublikasikan
karyanya. Dengan demikian, proses penyaringan atau peer reviewterhadap
sebuah artikel penelitian dalam jurnal ini pun dipertanyakan. Bagi sebagian
besar dosen, wacana tentang jurnal predator barangkali dirasakan terlalu elitis
dan hanya menggelisahkan sebagian kecil komunitas dosen.
Sebelum
kita bicara tentang dunia jurnal ilmiah internasional, rasanya kita perlu
bertanya tentang berapa persen sebenarnya jumlah dosen yang menulis dan
menerbitkan hasil penelitiannya dalam jurnal ilmiah. Sebagai ilustrasi, Tole
Sutikno, dosen Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, melaporkan bahwa jumlah
publikasi ilmiah di sebuah perguruan tinggi yang masuk dalam kategori 50 besar
perguruan tinggi (PT) di Indonesia (dengan jumlah dosen sekitar 500 orang),
hanyalah 70 item. Dari sejumlah itu, hanya 35 item di antaranya yang dimuat
dalam jurnal ilmiah (selebihnya adalah artikel dalam konferensi) yang terindeks
di SCOPUS.
Sekian
artikel ini disumbangkan oleh hanya sembilan orang dosen (kurang lebih 1,8
persen dari keseluruhan jumlah dosen). Gambaran yang kurang lebih sama
sepertinya juga berlaku di PT ternama lain: jumlah publikasi ilmiah yang
relatif rendah dibandingkan dengan keseluruhan jumlah dosen, dan distribusi kontributor
artikel ilmiah yang tak merata serta hanya terpusat pada orang-orang tertentu.
Kondisi ini sangat mungkin berlaku di seluruh Indonesia.
Mengingat
hal-hal di atas, sebenar nya situasi yang pertama-tama kita hadapi dan lebih
mendesak untuk kita sikapi adalah lemahnya tradisi menulis di kalangan
akademisi di Indonesia. Urusan publikasi dalam jurnal ilmiah bermutu atau
jurnal predator sebenarnya hanyalah muara dari lemahnya tradisi ini. Ada
beberapa akar masalah yang perlu selalu kita sadari dan kita urai.
Pertama,
kebiasaan menulis/mengarang yang kurang diberikan tempat di dunia pendidikan
dasar dan menengah kita. Di beberapa negara lain, kebiasaan menulis sudah
ditanamkan sejak usia SD. Anak-anak SD dibiasakan untuk mengarang dalam
beberapa ratus kata. Seiring dengan peningkatan jenjang pendidikan, jumlah
kata yang harus dituliskan bertambah. Dengan begitu, pada saatnya kelak
anak-anak ini diharapkan tidak mengalami kesulitan ketika harus menulis
skripsi/tesis ketika sudah duduk di bangku PT.
Pembiasaan
semacam ini tak dilakukan secara sistematis di dalam sistem pendidikan kita.
Wajar jika sistem pendidikan kita pada akhirnya menghasilkan dosen yang merasa
canggung ketika harus menulis. Penulis tak sedikit menjumpai mahasiswa S2 atau
S3 (yang notabene adalah dosen di tempatnya masing-masing) yang tak mampu
menguraikan gagasannya dengan kalimat-kalimat yang baik.
Belum
lagi kita bicara tentang menulis dalam bahasa Inggris. Tantangannya terasa
berlipat kali lebih berat. Sebuah jurnal ilmiah internasional bermutu yang
berbasis di negara-negara berbahasa Inggris biasanya mempersyaratkan standar
bahasa Inggris yang tinggi bagi sebuah publikasi. Padahal, menuliskan hasil
penelitian dalam bahasa Inggris tak hanya berurusan dengan grammar, tetapi juga
rasa bahasa dan struktur alur pikir yang tak bertele-tele.
Problem
lain yang dihadapi dosen ketika hendak memublikasikan karya penelitiannya di
"jurnal internasional non-predator" dengan impact factor tinggi
adalah kualitas penelitian yang dihasilkan. Perkembangan ilmu pengetahuan yang
amat pesat, khususnya yang terkait dengan penelitian sains eksperimental, telah
semakin menukik ke kedalaman dan detail dunia molekuler.
Konsekuensinya,
jurnal-jurnal sains eksperimental berkualitas cenderung hanya mau memublikasikan
artikel penelitian dengan jumlah parameter molekuler terukur yang banyak. Karya
penelitian semacam ini sukar dihasilkan oleh peneliti/dosen Indonesia yang
kebanyakan berkutat dengan alat-alat yang minim dan penelitian berdana
terbatas, yang hanya mampu menjangkau satu-dua parameter molekuler saja (inipun
ditambah dengan prosedur birokrasi pendanaan yang tak bersahabat dan absurd,
misalnya batasan waktu penelitian yang tak masuk akal atau pengadaan bahan
penelitian melalui lelang).
Dengan
kualitas penelitian ala kadarnya, alih-alih bermimpi untuk memublikasikan
artikel di jurnal prestisius semacam Nature (impact factor tahun
2011: 36,28) atau Science (impact factor tahun
2011: 31,2), untuk menembus jurnal dengan impact factor sekitar satu atau dua
saja, peneliti kita sudah merasa berat kepayahan. Kompetisi artikel ilmiah di
dunia internasional sangat ketat.
Dihadapkan
pada berbagai tantangan berat penelitian hingga publikasi seperti tersebut di
atas (yang notabene juga tidak menjanjikan insentif yang layak), lebih-lebih
ketika kebutuhan hidup primer juga tak tercukupi dari gaji, tak heran apabila
kemudian sebagian besar dosen lebih tertarik untuk mengajar atau mengejar
proyek lain yang lebih menjanjikan dari sisi finansial. Publikasi dalam jurnal
ilmiah nasional? Itu urusan nomor sepuluh. Apatah lagi berpikir untuk
menembus jurnal internasional, entah predator atau bukan. Isu jurnal predator
bukanlah isu yang tak penting. Namun tampaknya, saat ini lebih urgen apabila
kita membenahi ketiga hal di atas: budaya menulis, fasilitas penelitian, dan
kesejahteraan dosen.
Ginus
Partadiredja ;
Staf Pengajar Bagian Ilmu Faal,
Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
REPUBLIKA, 28 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi