Pancasila dan Tertib Sosial

TEPAT pada 1 Juni ini, 68 tahun lalu, lima dasar negara diprokla masikan Bung Karno di hadapan peserta sidang BPUPKI (Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Memperingati hari kelahiran lima nilai yang kita sebut Pancasila itu merupakan saat yang tepat untuk merefleksikan kembali semangat yang diwariskan para pendahulu kita untuk membenahi berbagai pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Salah satu dari tumpukan persoalan yang belum rampung ialah pembahasan RUU Ormas. Di hari bersejarah ini, perlu kita pahami kembali secara mendalam spirit pembahasan RUU Ormas yang sebentar lagi diputuskan di DPR seiring dengan penguatan civil society. Penguatan karakter kebangsaan kita yaitu Pancasila dan apa yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar bermusyawarah mufakat yang tidak boleh kita tinggalkan.

Seperti yang sudah kita pahami, indikasi bertumbuhnya iklim demokratis ialah semakin lebarnya kesempatan warga masyarakat untuk berperan menurut fungsi sosial formatifnya di ruang-ruang sosial masing-masing. Penguatan peran masyarakat (citizenship) dalam mengelola ruang hidup bersama secara sosial, budaya, politik, dan keagamaan adalah implementasinya. Sejalan dengan itu, hukum harus menjadi koridor dan ramburambu dalam mengatur atau memfasilitasi kesempatan berekspresi, berpendapat, dan menyampaikan pandangan dan pilihan seorang warga dalam masyarakatnya.

RUU Ormas yang sedang dibahas menurut rencana akan merevisi UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam undang-undang lama itu terlihat semangat `asas tunggal' yang kental. Memahaminya juga otomatis memunculkan `tafsir tunggal' sang penguasa. Kentalnya nuansa asas tunggal itu sedikit luruh di RUU Ormas yang sedianya akan ditetapkan dan diputuskan.

Akan tetapi, RUU Ormas itu membuka tafsir liar sebagai upaya memanfaatkan kekuasaan untuk mengebiri kreativitas masyarakat dalam membangun demokrasi. Maka, catatan yang perlu disertakan di sini ialah iktikad dan spirit pembahasan RUU Ormas itu untuk mengatur perikehidupan masyarakat yang lebih mandiri, partisipatif, bertanggung jawab, dan dewasa dalam era demokrasi ini.

Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, penulis memandang perlu kehadiran suatu perundang-undangan yang mengatur tata kelola organisasi kemasyarakatan. Suatu aturan yang tidak menghalangi semarak bertumbuhnya partisipasi warga masyarakat dalam membangun etika sosial di era demokrasi ini. Bukan suatu aturan atau undangundang yang membungkam setiap aspirasi dan ekspresi masyarakat, melainkan aturan yang menunjukkan semakin kuatnya ideologi bernegara.

Kemerdekaan berpendapat

Konstitusi kita menjamin kemerdekaan orang per orang untuk menyampaikan aspirasi dan mengekspresikan dalam beraneka media, baik secara lisan maupun tulisan, terutama melalui mediamedia organisasi yang menjadi wa hana penyaluran aspirasi yang nonparpol. Memang, para warga ketika ingin menyampaikan aspirasinya atau mengekspresikan pandangan dan harapan hidupnya tidak harus selalu melalui partai politik. Dalam hal ini organisasi kemasyarakatan (ormas) menjadi wahana yang strategis dan fungsional untuk mengekspresikan hak-haknya.

Pemerintah dan DPR RI tentunya tidak ingin menarik kembali pertumbuhan iklim demokrasi yang kondusif ini. Masyarakat tidak ingin juga set-back ke masa lalu, ketika pengebirian tidak hanya terjadi pada aspek kreativitas masyarakat tetapi juga membungkam aspirasi dan mengurangi (corrupting) hak-hak kewarganegaraan (citizenship). Akan terlihat ironis jika atmosfer demokratis yang terlahir dari semangat reformasi ini tiba-tiba melahirkan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang tidak beranjak dari kesadaran dan bayang-bayang rezim masa lalu.

Oleh karena itu, seiring dengan visi yang terbit dari semangat reformasi itu, alangkah lebih baik bila terus-menerus diupayakan penguatan kapasitas masyarakat dalam membangun demokrasi yang dewasa dan mandiri. Terlebih, semangat yang mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sehingga negara mampu mendorong dan memfasilitasi masyarakat meraih kesejahteraannya. Bukankah itu sejalan dengan semangat corporate governance yang sudah dideklarasikan?

Tentunya peraturan yang akan mengatur masalah organisasi kemasyarakatan itu tidak boleh lepas dari semangat `pembaruan' tata kelola pemerintahan itu. Yakni, partisipasi masyarakat sangat diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, tetapi tetap dalam semangat ideologi negara dengan terciptanya tertib sosial.

Di era demokrasi, semangat corporate-governance bisa diartikan kesempatan bagi pemerintah sebagai pendorong masyarakat untuk memperkuat kapasitas, juga untuk memfasilitasi masyarakat menuju kesejahteraannya. Pemerintah juga harus bisa menciptakan hawa kebebasan dalam masyarakat untuk berekspresi, mengembangkan diri, dan meraih harapan hidupnya sekaligus memperkukuh elemen penguatan hukum (nomokrasi) di era demokrasi.

Pentingnya partisipasi masyarakat

Hal terpenting dalam menetapkan RUU itu ialah menghentikan segala perdebatan dan berkaca kembali ke pada Pancasila. Pancasila ialah pilihan final yang menjadi komitmen bersama saat bangsa Indonesia mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka sudah seharusnya nilai nilai Pancasila dijadi kan sebagai cita-cita bangsa yang harus diwujudkan.

Pancasila sebagai dasar negara dan sumber nilai kehidupan berbangsa dan berne gara harus menjadi asas dari organisasi kemasyarakatan dan segala perangkat kebangsaan, sebagai perwujudan konkret dari komitmen bersama hidup di NKRI. Salah satu inti Pancasila ialah pentingnya musyawarah mufakat dalam mengambil sebuah keputusan.

Oleh karena itu, sangat perlu untuk diadakan `dialog keadaban' dalam membahas RUU Ormas yang menempatkan secara paralel kebebasan berekspresi dengan karakter ideologi Pancasila. Dialog tersebut juga bertindak sebagai upaya konstruktif dengan memanfaatkan media apa pun, yang memberi pencerahan dan jalan terang yang dapat menunjukkan letak masyarakat menaruh harapan-harapannya terhadap UU Ormas yang baru kelak.

Memang, belum tentu RUU Ormas bisa diundangkan karena masih menyisakan aspek intrinsik di dalam pasal-pasal bermasalah, seperti pasal-pasal yang bertumpang tindih dengan peraturan hukum, misal UU Pencucian Uang, Yayasan, dan Perkumpulan serta pasal yang lain. Maka, tahapan pembahasan RUU Ormas selanjutnya harus dikembalikan lagi kepada semangat untuk meluruskan kembali jalannya reformasi yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.

Karena itu, pembahasan RUU Ormas bukan untuk dipertentangkan, melainkan harus memberi solusi yang tepat melalui ruang aspirasi publik, terutama serapan aspirasi dari masyarakat atau organisasi kemasyarakatan. Pancasila harus menjadi the living ideology yang menginspirasi semua gerak kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia. Tanpa implementasi nilainilai Pancasila, ia hanya akan menjadi ornamen tekstual konstitusi. Pengejawantahan Pancasila itulah yang menjadi intisari pembahasan RUU Ormas. Rakyat yang berdaulat dan kukuhnya Pancasila harus ditarik menjadi satu napas agar terjadi tertib sosial.
Bukankah kita merindukan suasana harmonis itu?

Ali Masykur Musa  
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, Penggagas AMM Berdedikasi
MEDIA INDONESIA, 01 Juni 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi