Setiap
kali saya ke ibu kota suatu negara di luar negeri, saya usahakan untuk singgah
di kediaman dubes. Sekadar ngobrol, kangen-kangenan (biasanya dubesnya
yang lebih kangen ke tamunya daripada sebaliknya karena sang tamu biasanya
membawa berita gosip dari Tanah Air). Begitu juga di WashingtonDC. Pada
kunjungan saya yang terakhir tahun 2011 bersama Kak Seto, kami hanya mampir
sejenak, ngobrol dengan Dubes Dino Patti Jalal. Tapi di zaman Prof Dr
Dorodjatun Kuntjorojakti (tetangga saya di Kompleks UI Ciputat) pada 1999, saya
sempat menginap di Wisma Indonesia, kediaman Dubes RI, yang anggun bertengger
di atas bukit (2700 Tilden Street, NW, Washington DC) itu.
Di Wisma
itu kami (saya dan Pak Sigit Edi, teman psikolog dari Indonesia) ditempatkan di
kamar tamu yang luaaas dan mewaaah. Konon itu tempatnya Pak Harto dan Bu Tin
kalau sedang menginap di Washington (wallahu a’lam bissawab). Tempat
tidurnya juga selebar alaihim (artinya: gak tahulah seberapa
besarnya). Tapi yang menarik buat saya . Toilet itu buesaaar
sekali. Mungkin lebih kecil sedikit dari lapangan futsal. Di situ ada bak
mandi, pancuran, wastafel dengan tuas-tuas berlapis emas (atau emas betulan?),
dan tentu saja toilet atau WC atau tempat (maaf) pup alias (maaf lagi) kakus.
Kakusnya
ini berukuran standar saja, samalah dengan yang di rumah saya yang mungil
sehingga toiletnya juga lebih mungil lagi. Pokoknya pas buat duduk, tarik
napas, konsentrasi, fokuuusss danlegaaa. Dan isi kakus
itu, tanpa perlu saya periksa dengan mata kepala sendiri, pasti standar
jugalah, sama dengan isi kakus di rumah saya, atau di rumah siapa saja. Bedanya
hanya ukurannya saja. Di rumah saya, seandainya selesai beribadah hajat, saya
telat nyemprot wangi- wangian, istri saya di kamar sebelah pasti sudah
teriak-teriak, “Semprooot, semprooot!”
Pup dan
kakus adalah hal yang tidak disukai orang. Karena itu dirahasiakan, ditutup
rapat-rapat, dan buat rumah atau istana sekelas Wisma Indonesia, ruang
“rahasia” itu dibuat seindah mungkin sehingga yang lebih tampil indahnya
ketimbang busuknya. Tapi kecuali sukusuku terbelakang yang masih pup di hutan,
manusia pada umumnya memerlukan kakus di rumahnya. Keperluannya ya untuk
menyembunyikan yang busukbusuk itu dan kalau bisa dibuat lebih indah dari bau
aslinya.
Dengan
perkataan lain, yang busuk itu adalah bagian dari diri manusia juga, yang
sampai lebaran kuda pun tidak akan bisa dihilangkan. Bayangkan kalau rumah
tidak ada kakusnya, maka pup itu akan bertebaran di mana-mana: di balik lemari,
di kolong tempat tidur, atau di bawah karpet,hihihihi ... jijay, kan? Nah,
bagaimana sekarang dengan masyarakat? Sama saja. Yang namanya penyakit masyarakat
adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Mungkin hanya di surga saja akan
kita lihat masyarakat (di surga ada masyarakat gakya) yang bebas maksiat, bebas
kejahatan, bebas seks bebas.
Karena
itulah setiap negara punya penjara untuk para penjahat, panti rehab pecandu
narkoba, panti rehab tunasusila, dan lokalisasi. Semua itu bagaikan kakus untuk
menyimpan yang busuk-busuk, tetapi dibuat seindah mungkin sehingga lebih
menonjol indahnya daripada busuknya. Begitu juga di Indonesia, walaupun masih banyak
lapas yang masih jauh dari layak, spiritnya adalah terus memperbaiki sehingga
lapas pun jadi manusiawi. Namun tidak begitu halnya dengan lokalisasi.
Hampir
semua kepala daerah merah padam mukanya kalau saya tanya, “Di sini
lokalisasinya di mana, ya?” (Zaman saya masih sering ceramah tentang seks, nama
lokal dari lokalisasi biasa saya sebut dalam ceramah sehingga hadirin langsung
tahu apa yang saya maksud). Hampir semua kepala daerah akan menjawab bahwa “di
kabupaten ini sudah tidak ada lagi lokalisasi”(padahal kalau tanya ke sopir
yang menjemput, dia malah tahu).
Di DKI,
daerah lokalisasi terbesar dan terkenal, Kramat Tunggak, oleh gubernur bahkan
sudah dijadikan masjid. Alhamdulillah wa syukrillah. Sesuai dengan
ajaran agama dan falsafah Pancasila, DKI bebas dari maksiat. Siapa yang tidak
bersyukur bahwa di lokasi yang tadinya lokalisasi pelacuran, sekarang berdiri
rumah Allah. Sangat Indonesia, sangat Pancasila. Tapi pernahkah ditelusuri ke
mana para PSK (pekerja seks komersial) itu pergi? Mereka tidak ke panti rehab
PSK, tetapi tetap beroperasi di mana-mana, termasuk di kos atau rumah sendiri.
Siapa tahu mereka ada yang ngekos di rumah Anda? Atau jadi sahabat anak Anda di
kampus?
Karena
itu, dalam memperingati Hari Pancasila 1 Juni 2013 ini, marilah kita
ber-Pancasila yang realistis saja. Ibaratnya kita membangun rumah, kita
membangun bangsa ini sebagus mungkin, tetapi tanpa melupakan sampah-sampah
(atau “pup”) yang bagaimanapun akan melekat pada diri kita. Tanpa menjadikannya
emas-permata, kotoran masyarakat bisa dikemas sedemikian rupa sehingga minimal
tidak mengganggu, malahan kalau bisa kita manfaatkan untuk kemaslahatan umat.
Pup
bahkan bisa diproses menjadi pupuk, bukan? Gubernur Ali Sadikin pernah
melakukannya. Maksiat dan perjudian dilokalisasi dan pajaknya dimanfaatkan
untuk membangun Jakarta. Di luar lokalisasi, Jakarta bersih dari pelacuran. PSK
bisa dibina dan dijaga kesehatannya karena terlokalisasi sehingga bisa mencegah
penularan penyakit seksual. Di Malaysia perjudian dilokalisasi di Genting
Highland. Pajaknya masuk negara dan muslim dilarang keras ikut berjudi.
Di luar
lokalisasi tidak ada maksiat dan judi. Mungkin sekali ada yang tidak setuju
dengan pendapat saya. Apalagi kalau rujukannya kitab suci, “Maksiat
haram! Titik!” Ya, silakan saja. Tapi, “Pup juga haram!
Titik!” Kenapa masih ada kakus di rumah Anda?
Sarlito
Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 02 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi