Pancasila
sebagai filosofi, jiwa, pandangan hidup, dan ideologi negara sudah final.
Namun, setelah 68 tahun Pancasila dilahirkan, keluhuran nilai-nilainya sebagai
dasar dan haluan bernegara terus diimpikan tanpa kemampuan untuk membumikannya.
Kenistaan
terpedih sebuah bangsa adalah saat ia kehilangan jati diri yang menjadi dasar
dari pandangan hidupnya. Setelah 68 merdeka, Indonesia masih hidup di bawah
bayang-bayang kebesaran Pancasila, tanpa kemampunan untuk membumikannya.
Kepedihan
lain, warisan terburuk dari sebuah rezim otoritarian adalah ketidaksanggupan
rezim penerus untuk membuat Pancasila bicara. Kesalahan rezim masa lalu yang
memosisikan Pancasila sebagai “alat pukul” dipandang sebagai dosa struktural.
Di era
Orde Baru, upaya pembumian Pancasila hanyalah seremoni berbungkus penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di era reformasi, upaya itu
hanya berpindah cara ke seremoni sosialisasi Empat Pilar, tanpa kekayaan
metodologi dan perluasan imajinasi pematrian nilai-nilai Pancasila dalam
pembentukan karakter bangsa (Yudi Latif, 2012).
Dalam
kegundahan krisis jati diri bangsa, pemerintah, DPR, DPD, Parpol, dan beragam
organisasi sosial kemasyarakatan kembali menengok dan merayakan Pancasila.
Namun sekali lagi, tanpa kesungguhan usaha untuk membuatnya bicara. Empati atas
Pancasila berhenti sebagai komedi omong, yang tingkat kedalamannya
hanya sampai di tenggorokan.
Sebagai
bangsa, kita merasakan begitu banyak ketidakberesan dalam aspek pemahaman,
penjiwaan, dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Ditelisik dari dimensi logos
(pengetahuan) dan etos (semangat), kekosongan definisi dan kerendahan daya
juang untuk membumikan Pancasila telah membuat Pancasila duduk kembali sebagai
“ideologi bisu”.
Dalam
kebisuan Pancasila itu, negara membiarkan ideologi lain—seperti
fundamentalisme, radikalisme, atau liberalisme—tumbuh subur. Dalam kebisuannya,
Pancasila terus “direcoki”, “diinfiltrasi” dan menghadapi ”inflasi” luar biasa.
Penghormatan
dan penghargaan atas Pancasila seakan selesai ketika mimbar upacara dan
peringatan digelar di sekolah atau kantor pemerintahan. Saat kita
merayakan hari lahir Pancasila, para petinggi negeri terus mempertontonkan
perilaku korup tanpa rasa malu.
Dalam
rentang perjalanan kebangsaan kita, eksperimentasi Pancasila hingga kini hanya
fasih melafalkan wajah kemerdekaan, kebinekaan, dan integrasi nasional yang
berhasil dirakit generasi Soekarno (1945-1966) di satu sisi, serta pencetusan
pembangunan nasional dan integrasi teritorial yang berhasil dipateri generasi
Soeharto (1966-1998) pada sisi lain.
Jika pada
masa Soekarno proyek nasionalisme digerakkan melalui jalan sosialisme
Indonesia, di mana desain pembangunan negara-bangsa (nation-state)
dilandasi oleh spirit persatuan nasional dengan nation and character
building sebagai fundamennya; maka di era Soeharto konsep ini tedesak
oleh ideologi "developmentalism", sebuah ajaran politik pragmatik
yang beroperasi di bawah logika negara korporatis (state-corporatism).
Faktual,
sejak era Soeharto hingga Yudhoyono saat ini, nilai-nilai dasar Pancasila
seakan tak berelasi dengan prinsip kemanusiaan, keadilan, dan
kesejahteraan. Logika pembangunan korporatis yang dipraktikkan Soeharto
terbukti gagal mewujudkan daulat rakyat.
Ideologi
pembangunan Orde Baru yang berencana mewujudkan—meminjam tesis Soekarno:
"berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang budaya"—ternyata cuma sanggup melahirkan negara
Leviathan; gurita besar yang melumat kebebasan dan melahap hak rakyat.
Pada era
Habibie, nasionalisme Indonesia kembali terinterupsi oleh soal territorial
state, dengan lepasnya Timor Timur dari peta NKRI. Situasi ini terus berlanjut
pada masa pemerintahan Gus Dur yang terus menghadapi deraan separatisme Aceh dan
Papua.
Pemerintah
Megawati kemudian mencoba merajut kembali semangat persatuan nasional, terutama
pascalepasnya Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Sementara di masa Yudhoyono, kasus
radikalisme dan fundamentalisme agama serta terorisme agaknya masih menjadi
bayang-bayang yang terus mengancam.
Tantangan Ganda
Pancasila
praktis menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, ia harus membuktikan diri
sebagai ideologi yang relevan di tengah gempuran keras globalisasi. Di sisi
lain, ia wajib menjaga kedaulatan bangsa dari pelbagai rongrongan internal.
Problemnya,
campur tangan lembaga keuangan internasional (World Bank, IMF, atau ADB) dalam
kebijakan ekonomi negara serta penguasaan korporasi global (seperti Caltex,
Freeport, atau Newmont) atas manajemen sumber daya alam dan energi nasional
justru kian menguat di tengah teriakan rakyat untuk kembali kepada Pancasila.
Praktis,
Pancasila kini lunglai di hadapan rezim pasar dan korporasi global. Pancasila
praktis tak menjadi rujukan dalam soal pengaturan produksi, konsumsi, dan
distribusi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak politik, ekonomi, sosial
dan budaya rakyat.
Pancasila
menjadi kian paradoks ketika ia cuma bisa diam membisu saat menyaksikan
rezim neoliberal memaksakan kebijakan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi
beragam sektor strategis yang menguasai hajat hidup rakyat di kudeta oleh rezim
globalisasi-neoliberal dan para kaki tangannya.
Pancasila
bak Goliath kurang gizi; lunglai dalam mewujudkan emansipasi sosial,
menggerakan proses demokrasi substansial, menopang kedaulatan politik dan
ekonomi nasional, serta punya kecerdasan dan adaptasi tinggi dalam menghadapi
kecongkakan rezim globalisasi-neoliberal.
Sebaliknya,
arus nasionalisme-sosialisme—sebagai bentuk perlawanan terbuka terhadap doktrin
globalisasi-neoliberal—kini menggeliat kuat di kawasan Amerika Latin. Pemimpin
seperti Hugo Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Michele Bachelet
(Chile), Lula da Silva (Brasil), Tabare Vasquez (Uruguay), atau Alfredo Palacio
(Ekuador) adalah tokoh-tokoh sosialis kiri-tengah yang berani melawan
kecongkakan Barat.
Tantangan
aktual pembumian Pancasila adalah kesanggupan pandangan bangsa ini menjadi
bintang penuntun (lead star) untuk membumikan nilai-nilai demokrasi,
persatuan, keadilan sosial, dan kedaulatan nasional secara nyata dalam
kehidupan berbangsa.
Selama
kita tak serius membumikan Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu
pula bangsa Indonesia tidak akan pernah punya dasar kokoh untuk mewujudkan peri
kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur seperti dimandatkan
konstitusi.
Mari kita
ingat pesan Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1958, “Tak ada
sebuah bangsa yang mampu bertahan tanpa kepercayaan”. Nah, mungkinkah
Indonesia bisa terus bertahan hidup tanpa Pancasila?
Launa
;
Dosen FISIP Universitas Satya Negara; Sekretaris
Eksekutif Sinergi Indonesia
SINAR HARAPAN, 01 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi