Pendidikan inklusi hingga kini masih dianggap asing
di kalangan masyarakat. Banyak cerita sering kita dengar tentang
penolakan-penolakan terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk masuk ke
sekolah-sekolah reguler karena ketidaksiapan sekolah dan masyarakat/orangtua
siswa lainnya. Hal ini menunjukkan masih kurangnya informasi dan sosialisasi
yang mengakibatkan penolakan masyarakat terhadap kekhususannya tersebut. Juga,
karena minimnya jumlah sekolah reguler yang bersedia menampung para ABK.
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang
mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler serta siswa penyandang
disabilitas dalam program yang sama, baik dalam mengikuti pendidikan maupun
beradaptasi dengan lingkungannya. Dasarnya adalah UUD 1945, UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas, dan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, serta
Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Anak yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Program sekolah inklusi secara formal
dideklarasikan sejak 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat
menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak,
termasuk anak dengan disabilitas. Model pendidikan inklusif ini pun diyakini
dapat menjadi salah satu kebijakan dalam implementasi konsep Education
For All (EFA) di mana Indonesia telah mendeklarasikan akan mencapai
EFA tahun 2015.
Kenyataannya, program ini masih menjadi momok bagi
sekolah, guru dan juga orangtua siswa, baik orangtua dari siswa disabilitas
maupun nondisabilitas. Banyaknya sekolah yang tidak siap dan masih banyaknya
penolakan tersebut seakan menambah ketakutan orangtua ABK untuk 'mengeluarkan'
anaknya ke dunia luar, menjaga anaknya dari kemungkinan tindak diskriminasi
yang dapat menambah beban psikologis anak maupun keluarganya. Dhus, pilihan
Sekolah Luar Biasa (SLB) masih dirasakan menjadi sebuah solusi yang paling
tepat bagi anak-anak ABK.
Padahal, ketika ABK bersekolah di SLB, mereka akan
seperti 'katak dalam tempurung'. Selamanya hanya berkutat di dalam dunia
kekhususannya, berteman dengan sebatas teman-temannya yang juga bernasib sama.
Seperti yang dituliskan oleh Ramadhani Ray bahwa sistem pendidikan SLB telah
membangun tembok eksklusivisme bagi anak dengan disabilitas terhadap lingkungan
pergaulan sosial. Akibatnya, dalam interaksi sosial, kelompok penyandang
disabilitas menjadi kelompok yang termarginalkan di masyarakat, karena mereka
merasa asing dengan kehadiran penyandang disabilitas. Pun demikian dengan kaum
disabilitas sendiri, mereka akan merasa bahwa dirinya tidak menjadi bagian yang
integral dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah berharap agar pemerintah
daerah memperluas akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Salah
satunya dengan memperbanyak sekolah-sekolah inklusi di daerah masing-masing.
Maka, dukungan dan apresiasi yang besar harus disampaikan kepada Pemerintah
Kota Yogyakarta atas dimulainya pengembangan program percontohan pendidikan
inklusi di tingkat ASEAN oleh UNESCO yang selanjutnya akan menjadi model
percontohan untuk dikembangkan di kota/kabupaten lain di Indonesia. Pendidikan
inklusi ini telah dijalankan pada saat ini di Kota Yogyakarta dengan 33
sekolah, terdiri atas 2 TK, 19 SD, 3 SMA, dan 4 SMK dengan jumlah siswa inklusi
mencapai 288 siswa. (SK, 8/03/2013)
Menyelenggarakan sekolah inklusi adalah sebuah
pekerjaan besar. Bukan sekedar dukungan dari pemerintah atas segala fasilitas
yang harus dimiliki oleh sekolah, namun juga upaya besar guru sebagai ujung
tombak pelaksana pembelajaran. Guru yang akan membawa perubahan itu, karena dia
adalah kuncinya. Keterlibatan (involvement) atau mengikutsertakan (engage)
adalah dua hal yang harus mendasari seorang guru dalam memberikan pelayanan
terbaik kepada siswa.
Berangkat dari situlah, guru mengenal siswanya
untuk menjadi mengerti apa yang dibutuhkan siswa. Bukan sekedar hubungan formal
antara guru dan murid, namun mereka bisa menjadi seperti sahabat. Sehingga,
dapat menumbuhkan keberanian siswa untuk mau berbagi dan berempati, sesederhana
apa pun ide dan wujudnya. Karena harus dipahami bahwa membaurkan siswa
disabilitas pada lingkungan normal bukan semata untuk kepentingan kaum mereka
saja. Namun, kondisi ini akan melatih siswa nondisabilitas sehingga mereka
dapat menghargai perbedaan, meningkatkan toleransi, memahami kebutuhan temannya
yang menyandang disabilitas dan melahirkan sikap empati yang tinggi.
Ketakukan acapkali terjadi kepada siswa
non-abilitas terhadap siswa abilitas. Perbedaan secara psikis ataupun fisik itu
merupakan sebuah hal asing bagi mereka. Pemahaman dan penerimaan kehadiran
siswa ABK dalam lingkungan normal bisa dikatakan merupakan titik equilibrium di
mana sejak itulah semua siswa dapat melebur menjadi satu sosial masyarakat yang
utuh, bahwa di sana ada banyak sekali perbedaan yang satu sama lain harus mau
dan mampu menerimanya.
Inilah keistimewaan pendidikan inklusi. Di dalamnya
tidak hanya melatih siswa untuk cerdas dalam aspek akademis semata, tetapi juga
cerdas secara sosial dan emosional. Temuan Paul Stoltz tahun 1997 tentang
ketangguhan pribadi (adversity quotient) sebagai prediktor baru dalam
melihat kesuksesan, melengkapi IQ, EQ, SQ yang lebih dulu populer jelas-jelas
mendapatkan tempat di sekolah inklusi. Proses pendidikan yang dijiwai dengan
keempat prediktor ini, pada 10-15 tahun mendatang tentu akan memberikan
pribadi-pribadi yang pintar secara kognitif, cerdas secara emosional dan
tangguh menghadapi setiap tantangan. Namun, keberhasilan ini tentu mendapat
dukungan masyarakat dan keluarga sebagai wujud keutuhan trilogi pendidikan
kita. Semoga.
Arifah
Suryaningsih ; Guru SMKN 2 Sewon DIY,
Sedang menempuh pendidikan pada
Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM
SUARA KARYA, 08 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi