Jurnal Predator dan Politik Pengetahuan

Di balik perdebatan tentang jurnal predator terkesan ada upaya saling merebut pengakuan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas eksistensi peneliti dan karyanya.
Umum diketahui, menerbitkan artikel pada jurnal internasional dengan  peer review merupakan proses panjangdan tak mudah. Disisi lain, jurnal-jurnal kategori predato rbersedia menerbitkan artikel secara cepat dan relatif mudah. Jika artikel-artikel yang diterbitkan melalui mutu proses yang amat berbeda itu diakui sama secara kualitas oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), masuk akal bila para penulis pada jurnal peer review merasa keberatan.
Saya setuju dengan gagasan Terry Mart (Kompas, 13/5) bahwa Dikti harus memiliki standar penilaian yang lebih tegas dan jelas tentang definisi dan kategori jurnal ilmiah yang baik. Tidak semua jurnal yang berlabel internasional, misalnya, sungguh-sungguh berkaliber internasional.
Pengakuan oleh komunitas komunitas keilmuan sebidang merupakan indikator proses yang krusial untuk menilai kredibilitas dan mutu jurnal. Indikator krusial lainnya yakni tahap-tahap penilaian artikel yang harus dilalui sebelum editor memutuskan menerbitkan atau menolak. Tahap-tahap itu bisa menjadi panduan meneropong derajat mutu artikel-artikel yang dipublikasikan suatu jurnal.
Pada jurnal kategori predator, saringan atas kualitas artikel praktis tidak ada. Editor dengan mudah dan cepat memenuhi permintaan penulis artikel untuk ”menaikkan” atau ”menurunkan” artikelnya dari situs web jurnal (Kompas, 24/4).
Segera merevisi
Kiranya Dikti perlu segera merevisi daftar jurnal yang diakuinya dengan membuat kategorisasi dan kriteria standar mutu penilaian berdasarkan temuan dan perdebatan terbaru ini.
Di luar itu harus disadari bahwa menjamurnya gejala jurnal predator bukan semata-mata persoalan kredibilitas jurnal dan derajat mutu artikel-artikel yang diterbitkannya, tetapi berkaitan erat dengan politik ilmu pengetahuan.
Pada jurnal-jurnal dengan peer review, proses seleksi artikel yang secara substantif sudah ketat itu sering menjadi lebih ”ketat” karena unsur-unsur non akademik yang mendasari arah kebijakan editor dan penerbit jurnal.
Ada dua hal. Pertama, jurnal-jurnal berbasis komunitas keilmuan sering ”dikuasai” anggota-anggota komunitas atau bahkan oleh segelintirelite dengan aliran keilmuan tertentu dari komunitas itu. Kasus yang telah lama beredar adalah jurnal kedokteran umummilik sebuah asosiasi kedokteran di Amerika Serikat. Bukan hanya niranggota asosiasi yang kesulitan memasukkan artikel pada jurnal asosiasi, anggota asosiasi pun mengalami kesulitan jika mereka berbeda aliran keilmuan dengan elite berpengaruh di asosiasi itu.
Kedua, kebanyakan penulis dari negara-negara ”berkembang” mengalami kesulitan ketika memasukkan artikel kejurnal  peer review di negara-negara maju, kecuali jika mereka berafiliasi denganinstitusi tertentu di negara maju. Dalam hal ini saya tidak sepakat dengan pendapat peneliti Ariel Heryanto (2007), yang menyebutkan rendahnya produktivitas karya ilmiah ilmuwan Indonesia sebagai penyebab kesenyapan kiprah mereka di kancah keilmuan internasional.
Jika diperhatikan, banyak peneliti Indonesia menerbitkan artikel mereka di aneka jurnal ilmiah berkaliber dunia atau mempresentasikan hasil penelitian pada konferensi-konferensi asosiasi keilmuan internasional yang bergengsi. Namun, nyaris semua ilmuwan Indonesia itu memakai bendera institusi dari negara maju.
Kenyataan itu telah memunculkan perdebatan tentang gejala brain-drain  ilmuwan-ilmuwan Indonesia atau soal garingnya kebijakan Pemerintah RI dalam memfasilitasi dan mengelola sumberdaya manusia terdidik. Namun,yang luput dari perhatian adalah adagaris politik bersuasana kolonialisme baru dalam produksi (dan penyebaran) ilmu pengetahuan oleh negara-negara maju, khususnya di Barat.
Sebagaimana pendidikan formal di negara-negara kolonial di Asia, Amerika Latin dan Afrika dulu dibangun dengan kendali kebijakan yang berorientasi ke metropolimperial di Barat, demikian pun sekarang. Ilmu dan pengetahuan tentang bekas negara-negara kolonial, termasuk Indonesia, diproduksi oleh ilmuwan negara-negara maju atau lewat lembaga dan kacamata negara maju.Meskipun tidak sistemik, praktik ini tampaknya terjadi  by design, bukan  by accident.
Dugaan tersebut terdukung fakta bahwa jurnal-jurnal peer review yang diterbitkan oleh negara-negara maju bekas koloni kenyataannya dikelola dan dengan editor para ahli (bukan mitra bestari) yang disewa dari Amerika Serikatdan Eropa. Jurnal kajian Asia Tenggara yang cukup bergengsi di Singapura dan Jepang dikelola oleh editor profesional dari universitas-universitas di Eropa yang dikontrak khusus untuk tugas mengelola jurnal. Sebuah jurnal baru tentang kajian Asia di sebuah universitas di Korea Selatan pada acara peluncurannya tegas-tegas menyatakan peran utama editor berkebangsaan Eropa yang telah dikontrak untuk beberapa tahun ke depan.
Kendali ideologis
Terkesan  xenophobic, anti-asing, tetapi fakta-fakta itu menegaskan bahwa proses produksi dan penyebaran ilmu pengetahuan, khususnya lewat jurnal dan konferensi ilmiah, tak lepas dari kendali ideologis yang aromanya agak-agak neokolonialis. Jadi, bukan semata-mata soal mutu karya dan kredibilitas jurnal.
Kehadiran jurnal-jurnal kategori predator mungkindapat dibaca dalam kerangka gugatan atau protes dari mereka yang selama ini tidak terwadahi dalam jurnal-jurnal  peer review terhadap dominasi negara-negara maju atau elite ilmuwan tertentu dari suatu komunitas keilmuan atas proses produksi, aksesibilitas, dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Karena itu, tidak cukup jika Dikti hanya membuat kriteria penilaian dan kategorisasi jurnal-jurnal yang baik dan yang predator berdasarka klasifikasi (dan klaim) yang dibuat ”orang luar” dan telah beredar global belakangan ini.
Dikti harus memfasilitasi dirintisnya jaringan jurnal-jurnal Indonesia berkaliber internasional dengan patokan mutu yang ditentukan sendiri oleh komunitas-komunitas akademisi Indonesia sesuai dengan peta kebutuhan dan kondisi keilmiahan di Indonesia saat ini.
Jika Dikti hanya menampik mengakui artikel-artikel yang diterbitkan jurnal berkategori predator tanpa menawarkan solusi, itu sama saja ia abai terhadap aneka faktor yang menyebabkan banyak akademisi Indonesia dengan bendera institusi Indonesia tidak dapat menembus jurnal internasionalpeer review

Agus Suwignyo  ;  
Pedagog cum Sejarawan Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 23 Mei 2013


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi