Tantangan Bahasa Indonesia
Salah
satu faktor terkikisnya kebanggaan berbahasa Indonesia pada sebagian atau
bahkan separuh masyarakat Indonesia, disebabkan dan terkait dengan kebijakan
pemerintah sendiri yang dalam praktiknya kurang memberikan ketegasan.
Contohnya, nama-nama bank dan perusahaan skala nasional masih banyak yang
menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan dibiarkan bertabur begitu
saja. Kalau berkaca pada negara tetangga, Malaysia, misalnya, sungguh sangat
berbeda. Di Malaysia, segala bentuk bahasa asing untuk sebuah penamaan atau
ungkapan telah diubah ke dalam ejaan Melayu secara konsisten.
Terkikisnya
rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia juga alatan 'dikotori' oleh perbuatan
pemimpin kita yang tidak sungguh-sungguh menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan secara bermoral. Bahasa Indonesia hanya dijadikan alat permainan pencitraan
belaka dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Terselipnya kosakata-kosakata
bahasa Inggeis dalam setiap pidato kenegaraan, misalnya, membuktikan adanya
sikap yang tidak ajeg dalam berbahasa. Atau, memang sengaja hal itu diniatkan
dalam rangka teknik dan strategi mencuri simpati Barat.
Kita
wajib bersungguh-sungguh melestarikan bahasa Indonesia yang sejatinya merupakan
bahasa pengantar dalam pendidikan nasional kita. Patut diapresiasi,
dibubarkannya RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) oleh Komisi
Yudisial (KY), baru-baru ini karena memang RSBI bertolak-belakang dengan
semangat nasionalisme kita.
Sejatinya
pembelajaran bahasa Indonesia menguatkan cermin karakter budaya bangsa. Bahasa
Indonesia tidak cukup dipandang sebagai alat pemersatu, melainkan juga bahasa
kebudayaan yang patut disyukuri sebagai berkah tersendiri dari Allah SWT.
Melalui jiwa-jiwa pemimpin bangsa yang telah melahirkan Sumpah Pemuda. Bahkan,
melalui Sumpah Pemuda, sejatinya bahasa Indonesia telah mempersaudarakan kita
dalam ikatan satu bahasa meskipun berbeda ras dan agama.
Di lain
sisi, kedudukan bahasa daerah juga penting terhadap eksistensi bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, pendukung atau penyokong kebudayaan. Bahasa Sunda atau
bahasa daerah lainnya sebagai 'dulur' setanah bangsa yang menguatkan wawasan
kearifan budaya lokal. Sementara itu bahasa Inggris atau bahasa asing sebagai
'sahabat' seperjuangan dalam meraih kebijaksanaan global, mengunduh segala ilmu
pengetahuan berwawasan dunia.
Lokalistik
Seorang
pakar linguistik pernah menyatakan bahwa bahasa itu bersifat arbitrer atau
manasuka. Tergantung minat, niat dan kesukaan para pemakai bahasa itu sendiri.
Bahasa, tak bisa dipaksakan. Memang, peran media massa sangat urgen dalam upaya
pengembangan dan pelestarian bahasa. Contoh kecil, dulu P3B (Pusat Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa) yang sekarang berganti nama menjadi Badan Bahasa, pernah
mempromosikan kata baku 'sangkil' dan 'mangkus' yang merujuk pada pengertian
'efektif' dan 'efisien'. Sayang, upaya itu sia-sia, kata yang laris manis tetap
saja kata 'efektif' dan 'efisien' yang telah dipakai khalayak banyak.
Kasusnya
hampir sama dengan pembelajaran bahasa dan aksara Sunda yang belakangan
dirisaukan oleh para guru bahasa Sunda di sekolah-sekolah di Jawa Barat,
khususnya. Materi aksara dan bahasa Sunda dalam sisi kepraktisan berbahasa
memang seolah-olah mubazir atau hanya menjadi bahasa estetik semata yang
bersifat lokalistik. Ini berbeda dengan aksara China dan huruf Kanji Jepang
yang tetap dipakai masyarakat penggunanya secara formal dan non-formal karena
menyangkut eksistensi negara-bangsa.
Fakta di
lapangan, menurut salah satu survei di daerah perbatasan dengan ibu kota seperti
Depok, Bekasi, dan Bogor, kecenderungan pembelajaran bahasa Sunda ternyata
hanya sebagai 'pelengkap penderita'. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada
sekolah-sekolah yang hanya memberikan nilai bahasa Sunda saja pada buku rapor
siswa tanpa adanya kegiatan pembelajaran bahasa Sunda di dalam kelas. Dan, guru
pun hanya sebatas gugur kewajiban dalam mengajarkan bahasa Sunda. Pembelajaran
bahasa Sunda di sekolah seakan sia-sia. Selain itu, secara psikomotorik, siswa
banyak mengalami kesulitan dalam memperoleh kosakata bahasa Sunda di
tengah-tengah dialek Betawi yang begitu kental.
Pada
kenyataannya, peserta didik juga cenderung menjatuhkan pilihan pada bahasa
Inggris, bahasa yang dianggap penting dalam konteks kekinian. Respon
globalisasi di bidang pengetahuan dan teknologi menuntut penguasaan bahasa
Inggris sebagai hal yang niscaya. Sebagai contoh sederhana, misalnya, lowongan
pekerjaan di perusahaan-perusahaan kini menuntut kecakapan dan kemahiran bahasa
Inggris secara memadai. Jarang ada lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan
yang menuntut kecakapan bahasa daerah.
Maka dari
itu, baik bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Sunda (daerah)
sebagai bahasa kearifan lokal maupun bahasa Inggris (asing) sebagai bahasa
wawasan global perlu mendapatkan porsi dan posisinya yang tegas dan selaras
dalam konteks kebijakan dan kurikulum pendidikan. Tugas kita semua, harus
memikirkannya.
Lukman
Ajis Salendra ;
Alumnus Jurdiksatrasia Universitas
Pendidikan Indonesia
SUARA KARYA, 11 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi