Peringatan
Hari Pendidikan Nasional 2013, berdasarkan surat ederan Menteri Pendidikan No
080/MPK.F/LL/2013 mengambil tema, "Meningkatkan Kualitas dan Akses
Berkeadilan". Tema itu terasa sangat paradoks. Penyebabnya, silang
sengkarutnya wajah pendidikan kita saat ini. Satu di antaranya kisruh ujian
nasional (UN).
Permasalahan
distribusi soal, soal yang tertukar, tidak cukup lembaran soal dan harus
difotokopi di luar, kertas jawaban berkualitas rendah dan lain-lainnya, hanya
beberapa persoalaan yang mengemuka dalam pelaksanaan UN kali ini, khususnya di
11 provinsi di Indonesia Tengah. Parahnya lagi, UN harus ditunda di 30
kabupaten di Sumatera Utara. Pertanyaannya, di manakah kualitas dan akses
berkeadilan itu, kalau UN-nya saja silang sengkarut?
Adanya kisruh
UN ini semakin menambah sentimen negatif masyarakat terhadap kinerja
Kemendikbud. UN yang sejak awal banyak diperdebatkan akan semakin disorot. Ini
bisa membuat masyarakat semakin meragukan pengelolaan pendidikan.
Selanjutnya,
atas berbagai kisruh UN 2013, Kemendikbud seharusnya mau mengevaluasi diri,
termasuk UN SD yang dilaksanakan pada 6-8 Mei. Namun, bagaimanapun, kisruh UN
sempat mendatangkan kecemasan bagi pesertanya. Casbarro J (2005) menyebutkan
bahwa manifestasi kecemasan ujian terwujud sebagai kolaborasi dan perpaduan
tiga aspek yang tidak terkendali dalam diri individu, yaitu manifestasi
kognitif, afektif, dan perilaku motorik.
Manifestasi
kognitif yang terwujud dalam bentuk ketegangan pikiran siswa, sehingga membuat
siswa sulit konsentrasi, kebingungan menjawab soal dan mengalami mental
blocking. Kemudian, manifestasi afektif, yang diwujudkan dalam perasaan yang
tidak menyenangkan seperti khawatir, takut dan gelisah yang berlebihan.
Terakhir, perilaku motorik bisa tidak terkendali, yang terwujud dalam gerakan
tidak menentu seperti gemetar, sering merasa ingin ke belakang dan sebagainya.
Dalam
keadaan siswa dilanda kecemasan, kemampuan maksimal tidak akan keluar. Karena,
konsentrasi mereka tidak secara total. Kondisi siswa seperti ini berakibat pada
rendahnya capaian hasil pekerjaan. Oleh sebab itu, dalam menghadapi UN
khususnya SD, pihak Kemendikbud sepantasnya terbuka dan mengevaluasi diri
terhadap apa pun yang terjadi.
Selanjutnya,
kisruh UN ini menunjukkan adanya ketidakberesan dalam reformasi birokrasi di
bidang pendidikan. Penyebabnya, reformasi pengelolaan pendidikan tidak disertai
reformasi mental penyelenggaranya, yang masih mempunyai mindset lama dengan
kacamata kudanya.
Meminjam
istilahnya, Rhenald Kasali bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan
pribadi yang unggul, yang minim DNA perubahan. Para pejabat penyelenggara
pendidikan belum mempunyai jiwa OCEAN yaitu, openness to experience (keterbukaan
pikiran), conscientousness(keterbukaan hati dan telinga), extrovertion (keterbukaan
terhadap penderitaan rakyat), agreeableness (keterbukaan terhadap
kesepakatan), dan neuruticism (keterbukaan
terhadap tekanan-tekanan).
Padahal,
untuk mengelola pendidikan di abad 21 yang semakin kompleks dibutuhkan
orang-orang berjiwa OCEAN seperti disebutkan oleh Rhenald Kasali. Dibutuhkan
orang-orang yang luar biasa (extra ordinary people) untuk membawa
pendidikan yang bisa menjemput masa depan. Jika tidak jadilah pendidikan kita,
bak tarian poco-poco (maju selangkah mundur selangkah), meminjam istilahnya
Megawati.
Apalagi
melihat kondisi Indonesia yang sangat beragam, hal ini sudah seringkali menjadi
pembahasan banyak pihak. Kondisi heterogen ini tidak akan mampu dibawa pada
satu aturan yang seragam. Artinya, pendelegasian wewenang dalam pelaksanaan UN
perlu dipertimbangkan. Keunikan daerah beserta karakteristik seluruh
penghuninya seharusnya diakomodasikan melalui sistem pendidikan yang sesuai
kebutuhan daerah, bukan hanya sesuai kehendak Jakarta. Kita diingatkan pepatah
lama, "Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Kearifan lokal
seharusnya menjadi satu pijakan untuk menentukan sistem yang akan diterapkan.
Bukannya memaksakan satu sistem yang baku yang terus diyakini akan sukses
membawa pendidikan ini kepada visi yang dicita-citakan.
Padahal,
untuk mewujudkan cita-cita tersebut, bisa ditempuh dengan cara-cara yang
berbeda. Tidak harus dengan cara yang monoton dan seragam dari Sabang sampai
Meurauke. Secara logika saja, hal tersebut tidaklah mungkin. Sebagai bahan
perenungan, siswa yang ada di pucuk pegunungan Jaya Wijaya (Papua) tidaklah
bisa diperlakukan sama dengan siswa yang ada di Jakarta. Siswa di Papua tidak
bisa setiap hari menemukan gurunya yang siap berada di kelasnya, tidak setiap
siswa pula mampu membeli buku-buku pelajaran, dan bahkan setiap hari mereka
harus melewati jalanan yang becek dan berlumpur untuk mencapai sekolahnya.
Dengan
sistem pendidikan yang terpusat di Jakarta, merupakan bentuk pengingkaran atas
keunikan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah. Potensi yang ada di berbagai
daerah seharusnya dioptimalkan dengan cara memberdayakan daerah. Ini lebih
masuk akal. Alasannya pun logis. Di samping untuk efektivitas pelaksanaannya
juga bisa menekan anggaran. Karena, untuk saat ini, anggaran UN lebih besar
dihabiskan untuk operasional. Dengan memperpendek rantai koordinasi, dengan
sendirinya memangkas jalur birokrasi.
Sistem
pendelegasian wewenang juga akan menggerakkan roda usaha yang ada di daerah.
Sehingga, uang yang beredar di daerah pun semakin meningkat jumlahnya. Tidak
seperti sekarang semua ditentukan di Jakarta. Dengan sendirinya daerah hanya
sebagai penonton. Namun, ketika bermasalah, merekalah yang kena getahnya (ora
mangan nangkane, keno pulute). Kalau pendidikan/UN tidak ada pendelegasian
ke daerah, tema Hardiknas, "Meningkatkan Kualitas dan Akses
Berkeadilan," hanyalah sebagai pemanis kata. Atau, "bertanam
tebu di bibir." Nah!
Arbai
;
Pendidik, Mahasiswa S2 Manajemen
Kepengawasan Pendidikan
di MM UGM Yogyakarta
SUARA KARYA, 11 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi