Wajah Guru dalam Tarikan Kepentingan (Survei Pendidikan)

Komitmen terhadap siswa, inovasi, dan kreativitas guru merupakan faktor pendukung terbesar dalam proses pendidikan. Catharina (48), seorang guru SD swasta di Medan dengan pengalaman mengajar lebih dari 20 tahun, mengaku kerap berinovasi menggunakan alat peraga yang dibuatnya sendiri. Saya menggandakan gambar-gambar terkait materi pelajaran dari koran atau buku, lalu saya bagikan kepada siswa agar mereka mudah memahami materi yang diajarkan,” Catharina bertutur. Hal serupa dilakukan Ani Kurniati (38), guru SD negeri di Yogyakarta. Ia berupaya menciptakan suasana santai dan menyenangkan setiap memberikan materi dengan memosisikan diri seperti seorang ibu yang mengasuh anaknya. Tak jarang ia membimbing anak didiknyamemahami materi dengan praktik lapangan di luar ruang kelas.

Kedua contoh itu menggambarkan pergulatan guru. Idealnya, guru tak hanya mengajar, tetapi juga menjadi pendidik bagi siswa. Saat menjadi seorang pengajar, guru ”hanya” mengajarkan pengetahuan bagi anak didik. Sementara ketika mendidik, guru melibatkan diri pada seluruh proses pembelajaran dan mendorong motivasi anak didik untuk maju.

Menurut Dedi Supriadi dalam jurnal Educational Leadership 1993, lima ukuran seorang guru disebut profesional adalah komitmen pada siswa dan proses belajar, penguasaan mendalam pada mata pelajaran dan cara mengajar, memantau hasil belajar melalui berbagai cara evaluasi, berpikir sistematis dan belajar dari pengalaman, serta menjadi bagian dari masyarakat profesinya.

Dari berbagai kriteria ideal itu, tampaknya tak seluruh syarat mampu dipenuhi para guru. Dari hasil survei ini terlihat bahwa secara umum ada komitmen yang cukup kuat dari para guru terhadap profesinya. Semangat panggilan untuk menjadi seorang pendidik anak bangsa juga tersirat. Meski demikian, berbagai kelemahan terkait mekanisme pengajaran, cara pandang, ataupun sarana menjadi hambatan.

Upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi profesional guru terutama dilakukan kalangan guru-guru yang mengajar di sekolah yang berakreditasi A dan B. Adapun guru di sekolah yang berakreditasi C cenderung menerapkan pengajaran konvensional. Sebanyak 40 persen dari guru yang mengajar di sekolah berakreditasi C mengaku jarang menggunakan media peraga dalam mengajar siswanya.

Tak sedikit guru yang masih ”memelihara kenyamanan” mengajar dengan semata-mata mengacu pada buku teks. Survei ini menunjukkan, mayoritas guru (70 persen) masih mengandalkan materi bahan ajar yang direkomendasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta materi dari penerbit buku sebagai sumber informasi pengajaran. Dengan kata lain, pengayaan materi masih minim. Separuh lebih responden (61 persen) mengaku jarang memanfaatkan surat kabar atau karya sastra sebagai sarana mengembangkan inovasi pengajaran.

Tipe guru

Tipe guru ideal bisa tumbuh pada guru yang bertipe moderat atau terbuka. Dalam survei ini, indikator guru moderat adalah memiliki cara pandang lebih terbuka, seperti sepaham bahwa proses belajar antara guru dan siswa bersifat dialogis, proses belajar tak hanya terbatas ruang kelas, dan kompetensi keilmuan guru lebih penting ketimbang hal-hal seperti sertifikasi. Guru dengan tipikal konservatif lebih cenderung berpandangan sebaliknya.

Survei ini menemukan lebih dari separuh guru responden (57,5 persen) mendekati tipikal guru moderat atau terbuka. Sisanya bertipe konservatif. Tipe moderat cenderung terlihat pada guru-guru muda dengan pengalaman mengajar di bawah 15 tahun. Adapun tipe konservatif cenderung pada guru yang berpengalaman mengajar di atas 15 tahun.

Guru yang bertipe moderat cenderung lebih melakukan upaya-upaya meningkatkan kompetensinya dibandingkan guru yang bertipe konservatif. Dalam mempersiapkan rencana pengajaran, misalnya, 31 persen guru bertipe moderat setiap hari melakukan. Hal serupa dilakukan 29 persen guru bertipe konservatif.
Mayoritas guru yang terjaring survei ini mengaku jarang mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait peningkatan kompetensi guru. Hal itu terutama banyak dialami mereka yang mengajar di sekolah berakreditasi C. Dua pertiga responden di kalangan ini mengaku jarang atau bahkan tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait kompetensi. Sebaliknya, 43 persen guru sekolah akreditasi B dan 38 persen guru sekolah akreditasi A mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.

Kesejahteraan

Tidak dimungkiri program sertifikasi guru yang digelar sejak beberapa tahun lalu merupakan langkah awal pengakuan negara atas profesionalisme guru. Namun, dari total guru di Indonesia pada 2011 sebanyak 2,92 juta orang, hanya 2,06 juta (70,5 persen) guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1,1 juta guru sudah bersertifikat. Dari jumlah itu baru sekitar 731.000 guru yang menerima tunjangan sertifikasi.

Dari survei ini, hampir semua guru menilai program sertifikasi guru sangat penting. Selain dianggap sebagai penghargaan profesi, sertifikasi juga dimaknai sebagai tambahan penghasilan. Dua pertiga responden yang memiliki sertifikasi mengaku penghasilan yang diterima sudah sesuai dengan beban mengajar, bahkan 11 persen di antaranya merasa lebih dari cukup dibandingkan dengan beban mengajar. Sementara itu, lebih dari separuh responden yang belum mendapat sertifikasi guru mengaku penghasilan yang diterima lebih kecil dibandingkan dengan beban mengajar.

Hal ini menunjukkan, program sertifikasi guru meningkatkan kesejahteraan guru. Meski demikian, membaiknya kesejahteraan guru tidak serta-merta meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Separuh bagian guru mengaku kualitas pendidikan saat ini sama saja, bahkan 15 persen di antaranya mengaku lebih buruk dibandingkan dengan kondisi lima tahun lalu. Harus dilakukan upaya tambahan untuk memperbaiki pendidikan nasional tanpa mengurangi apa yang sudah menjadi hak para guru. 

Dwi Erianto  ;  
Litbang Kompas

KOMPAS, 13 Mei 2013

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi