Mungkin
tidak ada yang lebih tulus menggunakan hakikat makalah ilmiah selain Grigori
Perelman, matematikawan Rusia yang memecahkan satu dari tujuh problem
matematika abad ini (Kompas, 28/8/2006).
Dia hanya
meletakkan makalahnya di preprint server arXiv, sebuah basis data
yang menyimpan hampir sejuta makalah dalam bentuk elektronik. Meski sebatas
basis data, arXiv sangat visible di mata para pakar.
Ketulusan
Perelman terlihat dari penolakannya terhadap semua penghargaan, termasuk uang
satu juta dollar, meski dia miskin. Dalam pandangan ”normal” (normal secara
statistik berarti ”paling banyak” meski belum tentu ”paling benar”), sikap
Perelman masuk ekstrem kanan.
Aktivitas
ilmuwan normal saat ini berselimut profesionalisme. Tidak ada jasa bersifat
gratis. Semua harus dibayar dalam bentuk insentif, hibah penelitian, promosi
jabatan, dan sejenisnya. Tentu saja ada juga ekstrem kiri, kebalikan dari
Perelman.
Karena
para pemberi penghargaan tidak selalu paham dengan topik penelitian, sangat
logis jika mereka bergantung pada kualitas jurnal tempat hasil dipublikasikan
dengan asumsi sudah diperiksa mitra bestari. Semakin baik jurnalnya, semakin
ketat pemeriksaannya.
Di tengah
meledaknya pertumbuhan jurnal open access, cukup mudah untuk memahami
keberadaan jurnal yang menawarkan daerah ekstrem kiri serta daerah abu-abu
antara kiri dan normal. Inilah yang ditengarai Jeffrey Beall, pustakawan dari
Universitas Colorado, AS, pencetus istilah jurnal predator.
Tulisan
saya (Kompas, 2 April 2013) mendapat tanggapan dari sejawat saya di UI,
Sudarsono Hardjosoekarto (Kompas, 24 April 2013). Saya merasa perlu mengajukan
jalan keluar agar polemik ini tidak berkepanjangan.
Blog
tempat diskusi jurnal predator mulai ramai diperbincangkan setelah beberapa
pengambil keputusan mempertimbangkan temuan Beall. Sangat manusiawi jika ada
pihak yang merasa dirugikan. Namun, mengapa harus ”menyerang” Beall, dan bukan
mempertanyakan kebijakan pengambil keputusan?
Menilai makalah
Ada cara
lain yang bisa digunakan, yaitu cara scholar yang lebih etis
dan elegan, seperti menilai seberkas makalah. Ada empat hal yang harus
diperhatikan.
Pertama,
penilai harus pakar sebidang dengan kapasitas minimal setara. Kedua, penilai
harus bebas dari konflik kepentingan. Ketiga, penilai harus fokus pada karya,
bukan pembuatnya. Keempat, penilai bersandar pada keyakinan kejujuran ilmiah (scientific
trust).
Polemik
menjadi berkepanjangan karena tidak ada penilai yang sesuai kriteria, sedangkan
yang diperdebatkan hanya kasus per kasus. Saya tak ingin menilai karya Beall.
Saya hanya ingin melihat manfaat atau mudarat jurnal predator dengan mengkaji
isinya. Namun, hal itu membutuhkan waktu karena ada sekitar 300 penerbit atau
4.000 jurnal yang masuk kategori ini. Karena Sudarsono menyebut salah satu
penerbit secara eksplisit, kita dapat mencuplik penerbit ini sebagai bahan
kajian.
Penerbit
dimaksud mulai beroperasi tahun 2011 dan memiliki lebih dari 100 jurnal yang
tersebar di hampir semua bidang ilmu. Dengan bantuan beberapa mahasiswa, 1.052
makalah dalam bidang sains, teknik, sosial, ekonomi, dan manajemen diunduh
secara acak lalu dipetakan.
Jika
penulis berasal lebih dari satu negara, alamat corresponding author yang
dipakai. Saat mencari alamat penulis, cukup banyak makalah yang tidak
mencantumkan negara asal, semata-mata nama institusi atau kota penulis. Tentu
saja, masalah ini dapat diatasi dengan bantuan Google. Mayoritas makalah tanpa
alamat negara itu berasal dari India dan Nigeria.
Jika
mengacu pada jurnal-jurnal Amerika yang pada umumnya hanya menuliskan negara
bagian sebagai alamat penulis, apakah ini indikasi bahwa penerbit yang dikaji
berasal dari Nigeria atau India meski alamat kontak resmi tertulis adalah
California, AS? Beberapa makalah ditemukan dalam keadaan belum diedit.
Menariknya,
makalah-makalah yang diunduh berasal dari 90 negara. Lima negara penyumbang
makalah terbesar adalah India (217), Nigeria (132), Malaysia (90), Iran (72),
dan Mesir (62). Jika negara maju didefinisikan sebagai Amerika, Kanada, Eropa
Barat, Australia, Jepang, Korea, dan Rusia, kontribusi negara maju hanya 18
persen, sedangkan kontribusi negara berkembang 82 persen.
Jelas
publikasi penerbit ini tak mencerminkan publikasi ilmiah internasional.
Kenyataannya, peneliti negara maju lebih rajin meneliti dan menulis publikasi
ketimbang negara berkembang. Dengan bantuan internet dapat segera ditemukan,
mayoritas dari 18 persen penulis negara maju bukan peneliti mainstream di
bidangnya.
Membandingkan
penerbit ini dengan penerbit mapan di Amerika dan Eropa tentu saja kurang fair
karena hasilnya sudah diketahui. Namun, tahun 2004 perpustakaan Stanford
Linear Accelerator Center (SLAC SPIRES) mengadakan topcite olympics
dengan mengumpulkan lebih dari 700.000 makalah yang kebanyakan berasal dari
basis data arXiv. Karena arXiv bukan jurnal, makalah belum diperiksa penilai.
Siapa saja dapat berkontribusi.
Hasilnya
ternyata bertolak belakang dengan penerbit tersebut. Lima negara penyumbang
makalah terbesar yaitu AS (198.007), Jerman (69.268), Rusia (61.366), Italia
(46.813), dan Swiss (43.426). Kontribusi negara maju 83 persen, sedangkan
negara berkembang hanya 17 persen.
Alienasi peneliti
Mengapa
jurnal predator diminati peneliti negara berkembang? Jawabnya sederhana, karena
mudah! Tanpa disadari, melalui jurnal predator, peneliti negara berkembang
mulai mengasingkan diri dari sejawat mereka di negara maju yang relatif lebih
unggul. Rendahnya kontribusi makalah dari negara maju menunjukkan jurnal-jurnal
predator rendah visibilitasnya di mata mayoritas pakar.
Kontribusi
peneliti negara berkembang menjadi sulit terdeteksi sejawatnya di negara maju.
Di sinilah letak masalah. Kita semua sepakat, penggalian ilmu pengetahuan
bersifat universal. Meski efek lokal bisa melekat pada bidang tertentu, hakikat
penelitian tetap universal, apalagi jika kita ingin membangun
universitas riset yang unggul dalam bidang-bidang tertentu melalui
penelitian. Bagaimana bisa disebut unggul jika kita tak diakui secara global.
Berkembangnya
polemik jurnal predator merupakan momen yang tepat bagi pemerintah, dalam hal
ini Ditjen Dikti, untuk membenahi masalah penelitian dan publikasi ilmiah kita.
Apa yang dibutuhkan sebenarnya adalah definisi jurnal yang baik yang
direkomendasikan Dikti sebagai wahana mencapai cita-cita universitas riset.
Jurnal
komunitas yang dikelola himpunan profesi dan beberapa jurnal lain yang sudah
sering digunakan komunitas masuk kategori ini. Pemerintah tinggal membuat basis
data jurnal yang dapat direvisi tiap tahun dengan berkonsultasi kepada himpunan
profesi dan pakar. Jika hal ini dirasa sulit, ambil saja satu atau dua jurnal
utama komunitas penelitian, periksa pada bagian acuan tiap makalah. Jurnal yang
paling sering muncul jelas adalah jurnal komunitas juga.
Namun,
jika hal ini masih dirasa sulit, pilihan terakhir adalah jurnal dengan impact
factor.
Terry
Mart ;
Pengajar pada Departemen Fisika FMIPA
UI
KOMPAS, 13 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi