Tiga Pilar Moral Pendidikan
CONCERN
saya terhadap persoalan pendidikan bermuara pada pandangan dan keyakinan moral
bahwa pendidikan adalah sebuah proses dan moralitas adalah target utamanya.
Pendidikan bukan masalah politik, agama, dan hukum, melainkan persoalan
moralitas. Karena itu, ada banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan
bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan
kepada anak-anak kita di sekolah.
Para
penggiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan
yang berlangsung di sekolah. Orang seperti Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan
mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para siswa
seperti robot karena kurangnya mereka dilatih untuk memberi respons kreatif.
Lebih hebat lagi bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan
dan kreativitas serta membunuh daya pikir anak.
Sejak
lama sistem sekolah lebih banyak menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai
dalam menumbuhkan dan melatih aspek afektif dan psikomotorik siswa secara
tajam. Soal di sekolah lebih banyak menuntut siswa hanya untuk menjawab benar
dan salah, tetapi lalai dalam melakukan autokritik terhadap pelembagaan ujian.
Meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah memberlakukan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang seharusnya memberi ruang yang lebih banyak bagi guru dan
siswa untuk mendesain pola pembelajarannya. Kenyataannya? Kurikulum masih
sentralistis, terlalu banyak mengatur ini boleh dan itu tidak boleh sehingga
antara guru dan birokrasi pendidikan kita menjadi setali tiga uang: saling
memengaruhi untuk menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.
Di
sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek competitive:
sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan
banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan
kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain
yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya
diskriminasi. Dalam konteks ini, wajar jika sekarang kita disibukkan dengan
rencana dan wacana untuk membuat dan mengubah orientasi kurikulum pendidikan
moral dan budi pekerti.
Saya tak
memiliki kapasitas dan pretensi untuk menjawab model kurikulum pendidikan moral
dan budi pekerti yang seharusnya. Namun, saya ingin mencoba merekonstruksi
ulang pertanyaan tersebut dengan kalimat, “Dari manakah kesadaran dan tanggung
jawab para guru terhadap pendidikan moral dan budi pekerti harus dimulai?” Isu
soal moral dan budi pekerti sesungguhnya hampir menjadi barang usang karena
perdebatan tentangnya selalu hanya sampai pada tingkat wacana. Karena itu,
penting mengidentiļ¬ kasi tentang siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab
memproses penanaman moral dan budi pekerti di sekolah.
Hasil
studi di banyak negara yang pendidikannya maju menyebutkan bahwa keberhasilan
proses pendidikan yang bermakna lebih banyak ditentukan oleh segitiga emas
pendidikan, yaitu guru, orangtua, dan pemerintah. Dalam sebuah survei yang
dilakukan oleh Phi Delta Kappa/Gallup studypada 2004 menyebutkan
bahwa 73% responden setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu
bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati. Survei tersebut juga menunjukkan
bahwa jika karena kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus berhenti dari
profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak dipilih adalah
karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%),
kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%).
Artinya,
hanya 4% saja sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan secara emosional
terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld dan Jo Ann Miller, 2005). Namun,
ketika ditanya kepada para orangtua dan guru tentang apa yang menyebabkan
mereka kurang peduli terhadap siswa, 76% menjawab karena rata-rata siswa malas,
tidak disiplin, dan bodoh.
Selain
guru, masyarakat juga menjadi penentu moralitas pendidikan kita. Jika
pendidikan diartikan secara sederhana dalam bentuk kelembagaan, sekolah adalah
penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat bergantung setiap anggota
masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Jika
sekolah-sekolah kita memperoleh dukungan dari masyarakat yang berkehendak untuk
berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang benar.
Masalahnya
adalah sikap mental masyarakat kita yang saat ini sangat permisif dari segi
budaya dan mudah mengambil kesimpulan karena masyarakat kita belum terbiasa
dengan perbedaan pendapat. Kedua jenis mentalitas masyarakat ini perlu dibangun
ulang melalui serangkaian socio-therapy yang merupakan tugas
utama dari moral pendidikan. Sekolah dengan struktur manajemen yang sehat dan
dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang tepat untuk mengatasi
masalah maraknya perilaku menyimpang siswa di sekitar kita.
Pilar
moral ketiga adalah negara atau pemerintah. Ada ungkapan, ‘What you
want in the state, you must put into the school’ (apa yang Anda
inginkan dalam negara, harus Anda masukkan ke sekolah). Karena itu, peran
negara bisa sangat amat kuat terhadap arah dan visi pendidikan suatu bangsa,
sehingga implikasi praktisnya akan menjadikan semua bangunan kebutuhan
pembelajarannya menjadi sangat formal.
Padahal
totalitas pendidikan harus meliputi semua jenis dan pendekatan pengajaran, baik
formal, informal maupun nonformal. Peran negara untuk menjadikan pendidikan
sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang cerdas dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa masih kurang maksimal. Pendekatan yang digunakan negara dalam
merumuskan kebijakan tentang sistem pendidikan nasional kita terlihat sekali
masih sangat formalistis, dan efektivitas kebijakan pendidikan selama ini
berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai.
Ahmad
Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
MEDIA INDONSIA, 13 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi