UJIAN
nasional (UN) terus memicu kontroversi. Silang pendapat kian memanas akibat
penyelenggaraannya pada 2013 yang chaotic. Bagi para penentang, kekacauan itu
menjadi amunisi untuk menyerang kebijakan UN. Polemik mengenai UN menunjukkan
pandangan yang terbelah dalam dua kutub yang berlawanan. Pro-kontra yang sangat
serius itu menandakan UN memang problematik baik pada tataran konsep maupun
implementasi. Pokok perdebatan mulai keabsahan, manfaat, sampai aspek teknis
pelaksanaan UN. Penting dicatat, Pasal 51 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang dijadikan basis legal tidak menggunakan istilah ujian
nasional, tetapi evaluasi belajar.
Bila
mengikuti hiruk-pikuk perdebatan publik yang mengemuka di media massa, sejumlah
kalangan terutama praktisi dan pengamat pendidikan--terlepas apakah pandangan
mereka mencerminkan aspirasi mayoritas komunitas pendidikan atau
tidak--cenderung menolak UN. Untuk sebagian kecil, penolakan UN didasarkan pada
konsep-konsep pokok dan prinsipprinsip mendasar mengenai ujian nasional, yang
dikaitkan dengan proses pendidikan secara keseluruhan. Para penentang UN pada
kelompok itu mendasarkan penolakan mereka pada argumen-argumen penting dengan
merujuk ke teori-teori pedagogi yang fundamental.
Namun,
untuk sebagian besar, penentangan terhadap UN justru lebih didasarkan pada
aspek teknis dan ekses yang muncul akibat kebijakan UN. Aspek teknis antara
lain terkait dengan penyediaan logistik (eg pencetakan naskah soal, distribusi
ke daerah dan sekolah) yang pada 2013 ini mengalami kekacauan luar biasa.
Di pihak
lain, UN diklaim telah menimbulkan ekses negatif, yaitu membuat para pelajar
menderita stres karena mereka mengalami tekanan psikologis yang sangat berat.
UN juga diklaim hanya menyuburkan sikap dan perilaku tidak jujur karena
pelaksanaannya penuh dengan kecurangan (eg sontek, pembocoran soal, dan
pembagian kunci jawaban oleh oknum guru). Semua itu dianggap kontraproduktif
bagi upaya peningkatan mutu pendidikan dan kualitas lulus an pada semua jenjang
pendidikan--suatu hal yang men jadi salah satu tujuan utama penyelenggaraan UN.
Karena
itu, perdebatan mengenai UN harus ditekankan pada pembahasan isu-isu
substansial yang berkaitan dengan makna esensial pendidikan, melampaui aspek
legal dan masalahmasalah teknis atau ekses negatif yang muncul di luar kontrol
penyelenggara UN. Pertanyaan pokok yang patut diajukan ialah apakah UN
diperlukan? Jika memang perlu, apakah UN dapat menjadi penentu kelulusan atau
sekadar instrumen untuk memetakan mutu pendidikan? Apakah UN merupakan bentuk
evaluasi pendidikan atau pengukuran pencapaian prestasi akademik?
Penilaian dan pengukuran
Dalam
literatur pendidikan, ada dua istilah, penilaian (evaluation) dan
pengukuran (measurement), yang oleh
sebagian orang secara salah kaprah saling dipertukarkan. Bahkan tak sedikit
pengamat serta merta menyamakan kedua istilah tersebut dan menggunakannya
secara bergantian. James Popham, dalam buku Educational Evaluation (1993),
dapat membantu menjernihkan pengertianevaluation dan measurement.
Yang
pertama ialah suatu bentuk appraisal process untuk mengetahui
kualitas pendidikan, dengan melihat pelaksanaan program pembelajaran (instructional
programs) dan kegiatan belajar-mengajar (teaching-learning activities).
Yang
kedua ialah suatu bentuk appraisal process yang berkaitan
dengan pemeringkatan atau pengukuran pencapaian prestasi, dengan menggunakan
indeks numerik tertentu, yang atas dasar itu seseorang menempati posisi tinggi/
rendah. Dalam evaluation, appraisal process mencakup 1)
pilihan subject matter yang diajarkan, 2) efektivitas suatu
metode pengajaran, dan 3) pengembangan kurikulum. Dalam measurement, appraisal
process mencakup 1) penetapan batas terendah-tertinggi pencapaian
prestasi, 2) standar pengukuran, dan 3) penggunaan alat ukur. Secara ringkas, evaluation
is quality appraisal; measurement is status appraisal.
Lebih
dari itu, evaluation dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
efektivitas pelaksanaan program pembelajaran di sekolah dan implementasi
kegiatan belajar-mengajar di kelas, antara lain ditandai kemampuan murid dalam
menguasai suatu mata pelajaran. Tingkat efektivitas dipengaruhi banyak faktor,
misal guru yang bermutu; ketersediaan buku, bahan ajar, dan peralatan; serta
dukungan fasilitas pendidikan (perpustakaan dan laboratorium).
Karena
itu, evaluation pasti akan berujung pada rekomendasi untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran dengan memberi perhatian pada faktor-faktor
penting yang berpengaruh tersebut, termasuk sarana-prasarana pendidikan yang
memadai. Di dunia pendidikan, evaluation dalam pengertian
tersebut digunakan pertama kali oleh Ralph W Tyler (‘General Statement on
Evaluation’ dalam Journal of Educational Research, 35 [1932], 492-501) ketika
melakukan penilaian perbandingan atas academic performance siswa-siswa
yang berasal dari progressive high schools dan conventional
high schools. Tyler berkesimpulan, “Evaluation (is) not as the
appraisal of student's academic achievement, but rather as the appraisal of an
educational program's quality.“
Evaluasi belajar tanggung jawab siapa?
Secara
teoretis, UN diperlukan untuk tiga kepentingan, yakni 1) mengetahui tingkat
keberhasilan proses pembelajaran di sekolah, 2) mengetahui pencapaian prestasi
akademik siswa selama mengikuti proses pendidikan, dan 3) melihat gambaran
kualitas pendidikan secara nasional dengan melihat diversitas dan diskrepansi
mutu pendidikan antardaerah. Namun, dengan merujuk Pasal 51 UU No 20/2003,
banyak pengamat berargumen UN tidak diperlukan dan evaluasi belajar dapat
dilakukan guru, yang dinilai lebih mengetahui prestasi belajar siswa di sekolah
masing-masing.
Jika
pendapat itu diikuti, akan muncul persoalan lain yang jauh lebih kompleks.
Katakan kita setuju evaluasi belajar diserahkan kepada guru, lalu siapa yang
dapat menjamin kredibilitas hasil evaluasi belajar tersebut, yang di dalamnya
mengindikasikan pencapaian prestasi akademik siswa? Standar penilaian hasil
evaluasi satu sekolah dengan sekolah yang lain juga dipastikan beragam. Lalu
siapa yang kompeten untuk memastikan lulusan sekolah A lebih baik mutunya
dengan lulusan sekolah B? Siapa pula yang punya otoritas untuk menetapkan
metode evaluasi belajar yang digunakan di sekolah Z lebih baik ketimbang metode
yang dipakai di sekolah Y? Dengan menyerahkan evaluasi belajar kepada guru dan
sekolah, tanpa ada standar nasional yang menjamin kualitas lulusan, kontroversi
akan semakin tajam dan berkembang luas.
Untuk
menjaga kredibilitas, setiap metode evaluasi belajar harus dapat diterima dan
mendapat pengakuan publik. Itu tidak berarti kita meragukan kejujuran,
integritas, dan kredibilitas guru atau sekolah dalam melakukan evaluasi
belajar. Akan tetapi, lebih untuk memastikan mengenai orisinalitas, kualitas,
dan akuntabilitas evaluasi belajar. Masalah tersebut penting didiskusikan
karena menyangkut quality assurance dan quality
control atas suatu proses pendidikan di sekolah.
Jaminan
kualitas dan pengendalian mutu pendidikan harus dilakukan melalui suatu
mekanisme tertentu (baca: UN), yang mendapat pengakuan publik dan dilaksanakan
suatu badan independen yang kompeten. Meskipun bentukan pemerintah, BSNP
merupakan lembaga mandiri yang beranggotakan tokoh-tokoh pendidikan, yang
secara akademik punya otoritas dan kompeten untuk menyelenggarakan UN. BNSP
juga dinilai tak punya konflik kepentingan. Jika BSNP dipertanyakan sebagai
penyelenggara UN, lalu lembaga mana yang dianggap kompeten?
UN memang
dimaksudkan sebagai instrumen pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan
dengan standar tertentu. Standardisasi kualitas pendidikan merupakan salah satu
esensi dalam sistem pendidikan nasional, yang mensyaratkan setiap lulusan pada
suatu jenjang pendidikan di sekolah mana pun mempunyai kemampuan akademik dan
penguasaan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sama dan setara.
Prinsip
pokok itu dapat diterima apabila semua satuan pendidikan (baca: sekolah) di
Indonesia memiliki infrastruktur dan fasilitas pendidikan serta guru-guru
dengan kualitas sepadan. Pokok gugatan yang kerap mengemuka dalam perdebatan
publik itu seyogianya dapat direspons dan kerja-kerja perbaikan mutu pendidikan
fokus pada pangkal masalah yang menjadi pemicu kontroversi UN.
Amich
Alhumami ;
Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan;
Bekerja di Direktorat Pendidikan Bappenas
MEDIA INDONSIA, 13 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi