SANGAT jelas, pendidikan merupakan hajat hidup
setiap warga negara. Konstitusi memberi mandat kepada pemerintah untuk menjamin
hak warga negara dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Karena itu, pemerintah sebagai lembaga penyedia
layanan publik bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan pendidikan bagi
segenap masyarakat.
Pendidikan, dengan demikian, dikategorikan sebagai
barang publik (public good). Namun, apakah pendidikan tinggi juga
termasuk barang publik atau tidak telah menjadi tema klasik dalam debat
akademik di kalangan para sarjana, terutama ahli-ahli ekonomi. Pro-kontra
argumen terekam dengan jelas di dalam karya-karya kesarjanaan mereka (eg
Geraint Johnes & Jill Johnes,Handbook on the Economics of Education,
2004; Walter W McMahon, The Private and Social Benefits
of Higher Education, 2009).
Penerima manfaat
Pokok perdebatan mengenai tema tersebut berpangkal
pada dua isu pokok yang saling terpaut. Pertama, penerima manfaat ekonomi
perorangan/pribadi (private economic benefits) dari pendidikan tinggi
lebih besar jika dibandingkan dengan penerima manfaat ekonomi kolektif/publik.
Yang termasuk kategori manfaat ekonomi adalah semua jenis keuntungan--moneter
ataupun nonmoneter--yang bernilai setara atau dapat dikonversi dengan material
wealth. Karena itu, beban pembiayaan pendidikan tinggi dalam porsi lebih
besar semestinya ditanggung sang penerima manfaat.
Kedua, logika dari pandangan ini menegaskan dana
pub lik dalam porsi besar seharusnya tidak dibelanjakan untuk membiayai
pendidikan tinggi, yang justru lebih banyak memberi keuntungan personal
daripada keuntungan publik. Selain itu, penerima keuntungan perorangan itu
sebagian besar adalah mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah/atas.
Sangat jelas, masyarakat berstatus sosial-ekonomi mapan (middle/high income
groups) justru yang menikmati investasi pendidikan tinggi.
Hasil studi Psacharopoulos & Patrinos
mengonfirmasi hal ini melalui analisis returns to investment in
education menurut jenjang pendidikan dan pendapatan, baik di negara
maju maupun di negara berkembang. Di negara-negara berpendapatan menengah
(US$3.000-US$9.000), pengembalian investasi pendidikan tinggi untuk publik
sebesar 11,3%, sedangkan untuk privat mencapai 19,3%. Gambaran serupa terlihat
di negara-negara berpendapatan tinggi (US$9.500 ke atas), masing-masing 9,5%
dan 12,4%. Namun, di negara-negara berpendapatan rendah (kurang dari US$1.000)
justru lebih mencolok, masing-masing sebesar 11,2% dan 26,0% (lihat Human
Capital and Rates of Return, 2004).
Argumen bandingan
Namun, validkah argumen bahwa yang memetik
keuntungan ekonomi dari investasi pendidikan tinggi lebih didominasi kalangan
kelas menengah/atas? Argumen bandingan perlu disimak, yang pada intinya
menyatakan individu-individu yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi,
kemudian bekerja dan berproduksi, adalah para pembayar pajak. Banyak penelitian
dan kajian (eg Walter McMahon 2009; Todaro & Smith 2010) menunjukkan
para tenaga kerja lulusan perguruan tinggi, yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, kemahiran teknis, dan menguasai teknologi niscaya lebih produktif
jika dibandingkan dengan para pekerja lulusan sekolah menengah ke bawah.
Dengan semua keunggulan yang dimiliki, mereka lebih
adaptif dengan dunia kerja dan mudah diterima di berbagai lapangan pekerjaan:
industri dan jasa. Pendapatan para pekerja terdidik pun dengan sendirinya lebih
cepat mengalami peningkatan. Sangat jelas, mereka memberi kontribusi yang
berarti pada pendapatan negara yang bersifat shared resources for
common good and collective interest melalui instrumen pajak.
Dalam konteks ini, dana publik yang dipungut
melalui pajak ini selanjutnya digunakan untuk membiayai pelayanan sosial dasar
(misalnya, pendidikan, kesehatan, perumahan). Dalam konteksintellectual
discourse argumen ini sangat logis dan rasional, tetapi tetap
memunculkan gugatan pada tataran empiris terutama terkait dengan masalah kembar
yang saling berkelindan: akses dan pemerataan pendidikan tinggi. Penting
diketahui bahwa keadilan dalam memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan
(equality of education opportunity) pada jenjang pendidikan
tinggi masih menjadi masalah keterjangkauan pendidikan tinggi (affordability
of higher education).
Partisipasi pendidikan tinggi
Dalam konteks kebijakan publik di Indonesia, pokok
perdebatan bermuara pada isu sangat serius di Indonesia. Jangan terkejut,
partisipasi pendidikan pada jenjang tertiary education menunjukkan kesenjangan
sangat mencolok antarkelompok sosial-ekonomi (kaya-miskin).
Dari total penduduk berusia 19-23, sekitar 19,9
juta orang, yang tercatat menempuh pendidikan di perguruan tinggi (PTN+UT, PTS,
PTA, PT Kedinasan) sekitar 5,8 juta orang. Menurut data Kemendikbud (2011),
angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi sebesar 27,1%.
Namun, simaklah fakta disparitas partisipasi
pendidikan tinggi dengan merujuk data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas,
2011). Dilaporkan, penduduk kelompok quintile 1 (20% lapisan
masyarakat paling miskin) yang menempuh pendidikan tinggi baru sebanyak 4,4 %.
Namun, penduduk kelompok quintile 5 (20% lapisan masyarakat paling kaya) yang
mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi sudah mencapai 43,6%. Ini
adalah fakta kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencengangkan dan
menunjukkan betapa layanan pendidikan tinggi lebih banyak dinikmati orang kaya.
Data tersebut dengan jelas menggambarkan betapa pendidikan tinggi hanya dapat
diakses penduduk usia muda yang berasal dari better-off families.
Ketidakmerataan kesempatan menempuh pendidikan
tinggi jelas merupakan problem krusial yang berpotensi memunculkan masalah
sosial-politik di masyarakat. Bila tidak segera ditangani, masalah ini akan
semakin mempertajam segregasi sosial dan masyarakat kian terpolarisasi
berdasarkan status ekonomi (kaya-miskin). Sungguh memprihatinkan bila
pendidikan tinggi justru menjadi sarana pembelahan sosial dan mendorong proses social
exclusion, yang dalam jangka panjang bisa mengancam harmoni sosial dan
keutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, Marxian caveat menjadi
sangat relevan untuk direnungkan: instabilitas sosial dan pergolakan politik
acap kali dipicu pertentangan kelas dalam masyarakat yang bertarung
memperebutkan sumber daya sosial-ekonomi.
Beasiswa Bidik-Misi
Agar layanan pendidikan tinggi tidak bias kelas
menengah (keuntungan ekonomi justru dinikmati orang kaya) dan dalam rangka
menjamin hak masyarakat yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi,
pemerintah membuat terobosan program Bidik-Misi (Bantuan Pendidikan bagi
Mahasiswa Berprestasi). Program Bidik-Misi dapat disebut sebagai breakthrough,
yang membuka jalan bagi pelajar-pelajar bertalenta dari keluarga-keluarga
berkemampuan ekonomi lemah agar dapat menempuh pendidikan sampai ke perguruan
tinggi. Program Bidik-Misi dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan
tinggi, terutama bagi lulusan-lulusan sekolah menengah yang berasal dari
keluarga berpendapatan rendah.
Program Bidik-Misi memiliki empat tujuan utama.
Pertama, memperluas akses layanan pendidikan tinggi yang berorientasi pada
upaya mempersempit kesenjangan partisipasi pendidikan antara kelompok miskin
dan kelompok kaya. Kedua, memperluas cakupan layanan pendidikan tinggi bagi
penduduk usia produktif dalam rangka meningkatkan daya saing yang berorientasi
pada perkuatan perekonomian nasional. Ketiga, meningkatkan jumlah lapisan kelas
menengah terdidik untuk memperkokoh struktur sosial-ekonomi di dalam
masyarakat. Keempat, memperkuat lapisan masyarakat terpelajar yang membentuk
critical mass untuk memantapkan basis sosial-politik dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Kebijakan afirmasi
Dengan cakupan yang terus meningkat setiap tahun,
program Bidik-Misi merupakan respons terhadap aspirasi publik yang menuntut
agar akses pendidikan tinggi dapat dinikmati secara lebih merata oleh semua
lapisan masyarakat. Agar layanan pendidikan tinggi dapat menjangkau seluruh
kelompok masyarakat tanpa membedakan stratifikasi sosial-ekonomi, setiap warga
negara dalam menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi memerlukan affirmative
policy untuk menghilangkan kendala finansial. Hanya melalui kebijakan
afirmasi yang efektif, keuntungan ekonomi pendidikan tinggi yang didominasi
masyarakat kelas menengah/atas dapat direduksi.
Amich
Alhumami ;
Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan;
Bekerja di Bappenas
MEDIA INDONESIA, 10 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi