“Tapi persoalan tersebut semestinya diselesaikan
antara K/L, dengan cara misalnya, tidak semua anggaran Kemdikbud diblokir oleh
Kementerian Keuangan, melainkan hanya anggaran yang diberi tanda bintang yang
diblokir. Dengan demikian, aktivitas lain di Kemdikbud tidak terganggu.”
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemdikbud), terkesan maju-mundur dalam mengimplementasikan
Kurikulum 2013. Sampai awal 2013, mereka masih penuh optimistis bahwa kurikulum
baru akan diimplementasikan di 30 persen dari seluruh jenjang pendidikan dasar
dan 100 persen kelas X SMA/SMK. Namun kemudian, setelah muncul kasus
keterlambatan UN (ujian nasional) tingkat SMTA di 11 provinsi, target
diturunkan menjadi 10 persen saja. Dan sekarang, atas persetujuan Wakil
Presiden Republik Indonesia Boediono, target diturunkan lagi hanya pada 6.410
sekolah.
Semula, target untuk SD yang akan
mengimplementasikan Kurikulum 2013 mencapai 7.458 sekolah, tapi kemudian
dirampingkan menjadi 2.598 SD; untuk tingkat SMP dari semula 2.580 sekolah
turun menjadi 1.521 sekolah. Sedangkan untuk SMA semula ditargetkan 100 persen,
yaitu 11.572 SMA dan 10.685 SMK, kemudian diturunkan hanya tinggal 1.270 SMA
dan 1.021 SMK. Total keseluruhan siswa yang semula ditargetkan sekitar 4 juta anak
belajar dengan kurikulum baru, kini hanya tersisa 1.535.065 siswa. Adapun
sekolah yang ditargetkan mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini adalah
sekolah-sekolah eks RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan sekolah
dengan akreditasi A saja.
Semakin sedikitnya target sekolah yang akan dicapai
oleh pemerintah tersebut memperlihatkan keraguan pemerintah atas kesiapannya
mengimplementasikan kurikulum baru. Mereka tampaknya tidak percaya diri bahwa
pada tahun ajaran 2013/2014 ini, 30 persen dari populasi sekolah mampu
melaksanakan kurikulum baru seperti direncanakan semula. Salah satu pemicu
ketidakpercayaan diri tersebut adalah kasus kekacauan pelaksanaan UN 2013 di 11
provinsi. Kekacauan UN tersebut, selain telah menyita energi pemerintah untuk
fokus mengurusi UN, menjadi sasaran tembak masyarakat, termasuk mereka yang
menolak pemberlakuan kurikulum baru, sehingga mengurangi rasa percaya diri
pemerintah.
Awal ketertundaan
Perlu diakui dan diketahui oleh publik bahwa awal
mula ketertundaan penyiapan kurikulum baru adalah adanya anggaran Kemdikbud
yang dibintangi oleh Kementerian Keuangan, sehingga berdampak pada penundaan
pencairan anggaran. Penundaan pencairan anggaran tersebut secara otomatis
berdampak pada tertundanya seluruh proses penyiapan kurikulum. Para pejabat
Kemdikbud dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit: bila terus melakukan
kegiatan sebelum anggaran cair, maka jelas dapat dipersalahkan oleh pihak BPK,
dan salah-salah mereka masuk bui. Tapi, bila tidak melakukan aktivitas dan baru
melakukan aktivitas penyiapan kurikulum setelah anggaran turun, jelas itu
berarti ketertundaan proses penyelesaian kurikulum yang tak terhindarkan,
sehingga kurikulum baru tidak siap diimplementasikan sesuai dengan target
semula. Akhirnya, yang dapat dilakukan oleh Kemdikbud selama anggaran belum
cair hanyalah aktivitas-aktivitas kecil yang dapat dibiayai dengan sisa
anggaran atau dukungan dana dari pihak ketiga yang sifatnya tidak mengikat,
misalnya dari USAID. Tapi dana mereka terlalu kecil dan hanya mampu untuk
membiayai beberapa workshop. Aktivitas lain yang memerlukan dana besar, seperti
pengadaan buku pelajaran, tertunda.
Menurut jadwal yang dibuat Kemdikbud sendiri,
misalnya, proses pengadaan buku (tender) itu sudah terjadi pada Februari 2013.
Tapi, lantaran dana belum cair, proses itu tertunda hingga April. Padahal
proses tender itu memerlukan waktu minimal 45 hari, sedangkan pencetakan buku
untuk ratusan ribu atau bahkan jutaan eksemplar membutuhkan waktu minimal satu
bulan penuh. Wajar bila sampai minggu kedua Mei 2013, belum tersedia buku untuk
kurikulum baru. Dan karena buku baru belum tersedia, secara otomatis proses
pelatihan guru untuk mengimplementasikan kurikulum baru pun belum dapat
dilaksanakan. Sulit membayangkan kurikulum baru terimplementasi tanpa adanya
pelatihan guru terlebih dulu.
Komitmen bersama
Hal-hal tersebut hendaknya menjadi pelajaran
berharga bagi semua kementerian/lembaga (K/L) instansi pemerintah untuk dapat
bersinergi demi menjaga citra pemimpinnya. Kesalahan yang terjadi di K/L lain,
semestinya dapat diselesaikan antar-K/L, sehingga tidak mencuat ke publik.
Ambil contoh kasus pemberian tanda bintang pada anggaran Kemdikbud oleh
Kementerian Keuangan yang kemudian mengganggu proses tender soal UN dan proses
penyiapan kurikulum baru. Itu memperlihatkan bahwa sinergi dan koordinasi
antar-K/L amat lemah atau bahkan tidak ada sama sekali. Masing-masing berjalan
menurut ego sektoralnya sendiri dan lupa bahwa mereka memiliki seorang dirigen
(Presiden) yang semestinya harus mereka junjung tinggi kewibawaannya. Komitmen
bersama untuk menjaga nama baik Presiden itu tampaknya tidak ada sama sekali.
Boleh jadi, dalam konteks pemberian tanda bintang
pada anggaran Kemdikbud oleh Kementerian Keuangan tersebut, karena memang ada
kesalahan Kemdikbud dengan mencantumkan besaran anggaran yang berbeda antara
yang telah dibahas oleh Badan Anggaran DPR dan yang diserahkan kepada
Kementerian Keuangan. Tapi persoalan tersebut semestinya diselesaikan
antar-K/L, dengan cara misalnya, tidak semua anggaran Kemdikbud diblokir oleh
Kementerian Keuangan, melainkan hanya anggaran yang diberi tanda bintang yang
diblokir. Dengan demikian, aktivitas lain di Kemdikbud tidak terganggu.
Hal yang tampaknya tidak disadari oleh Kementerian
Keuangan dengan pemblokiran semua anggaran kementerian itu adalah bahwa
dampaknya akan mengenai seluruh jajaran pemerintah, termasuk Presiden. Sebab,
begitu UN atau implementasi kurikulum baru tertunda pelaksanaannya, maka yang
paling terkena sebetulnya adalah Presiden. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
paling banter dituntut untuk mundur. Tapi Presiden akan dinilai gagal mengelola
negara. Kementerian Keuangan kurang menyadari bahwa pemerintahan ini
satu-kesatuan yang tunggal. Artinya, kalau misalnya terjadi kegagalan di dalam
suatu kementerian, beban kesalahannya tidak hanya tertumpu pada menteri yang
bersangkutan, tapi juga menyangkut nama baik Presiden.
Boleh jadi, misteri pemberhentian Menteri Keuangan
Agus Martowardoyo sebelum waktunya itu ada kaitannya dengan karut-marutnya
pelaksanaan UN dan tertundanya implementasi Kurikulum 2013, yang salah satunya
disebabkan oleh keterlambatan pencairan anggaran di Kemdikbud. Bagi Presiden,
hal itu amat memalukan, sehingga harus diganti.
Idealnya
memang Kurikulum 2013 diimplementasikan pada tahun ajaran 2014/2015 (tahun
depan), tapi karena komitmen politiknya telah menyatakan akan diimplementasikan
pada 2013, semestinya seluruh K/L yang ada harus mendukung penuh dengan segala
risikonya. Sebab, bila tidak, kesannya hanya main-main. Padahal pemerintahan ini
harus dikelola secara serius.
Darmaningtyas ;
Aktivis Pendidikan Tamansiswa, Jakarta
KORAN TEMPO, 14 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi