Geng Sekolah dan Kekerasan

ADA geng sekolah, ada kekerasan. Anak anak muda satu geng (biasanya beranggotakan lebih dari dua orang) dari sebuah sekolah yang sedang nongkrong sangat mungkin kemudian terlibat tawuran dengan anak-anak dari sekolah lain, baik yang memiliki sejarah permusuhan maupun tidak. Pemandangan itu kerap kita lihat. Meski tawuran bisa terjadi tanpa geng, keberadaan geng dalam banyak kasus menjadi sarana penyedia aksi perkelahian antarpelajar.

Mekanisme yang sama terjadi pada kasus perundungan (bullying). Meski perundungan bisa terjadi tanpa geng, geng cenderung menjadi sarana penyedia aksi perundungan. Geng memberikan rasa `aman' bagi pelaku untuk melecehkan korban yang dianggap lemah tak berdaya. Geng memberikan kekuatan psikis dan fisik bagi pelaku untuk melakukan kekerasan atas korbannya. Tanpa geng, pelaku bukanlah siapa-siapa.

Mendapati rumah seseorang atau fasilitas publik yang sarat dengan grafiti--yang bertuliskan singkatan atau kata-kata yang penuh dengan kekerasan-sudah hampir dipastikan itu ulah geng sekolah. Dalam hal ini, geng juga menjadi sarana penyedia aksi perusakan terhadap properti milik seseorang atau publik.

Geng sekolah melibatkan tidak hanya murid laki-laki, tapi murid perempuan pula. Sebagai contohnya, berita kekerasan fisik yang dilakukan sebuah geng siswi terhadap teman mereka sendiri terjadi di salah satu SMA di Jember pada September 2012. Hanya gara-gara menolak undangan BBM, korban dipukul, ditampar, dan dicambuk dengan ikat pinggang oleh sekelompok siswi (lima orang) yang salah satu anggotanya tidak terima karena penolakan tersebut.
Pihak sekolah memanggil kelima pelaku dan menyatakan sanksi menyusul.

Geng sekolah pun tidak mengenal usia sekolah. Anak di bangku SD telah melakukannya seperti kasus di salah satu SD di Purwokerto pada Oktober 2009. Setelah korban menolak memberi uang, ia dipukul dan diminta berkelahi dengan anggota geng lain. Korban mengalaminya sejak di kelas 4. Ia merasa trauma dan tidak berani datang ke sekolah sampai akhirnya sekolah mengeluarkan keempat pelaku seperti harapan orangtua korban-sebelumnya pihak sekolah memanggil orangtua pelaku dan memberikan kelas khusus.

Faktor penyebab

Sekelompok anak yang membuat onar mendapatkan label geng sekolah dari deklarasi yang mereka buat sendiri, atau pihak lain yang menganggap dan menerima mereka sebagai geng. Anak-anak itu tergabung dalam geng karena bersumber dari faktor eksternal, antara lain alienasi dari proses belajar-mengajar di sekolah, tekanan teman sebaya, ikatan keluarga, kebutuhan rasa aman (White, 2002). Banyak psikolog pendidikan mengakui bahwa faktor internal yang paling ber tanggung jawab. Seorang anak menjadi anggota geng karena emosi labil atau masa rentan dalam mencari jati diri.

Lebih jauh mengenai kedua faktor, faktor eksternal mengacu ke perilaku seseorang (dan itu berarti kita) atau situasi di luar anak secara tidak langsung turut memberikan kontribusi baginya untuk memutuskan terlibat dalam geng sekolah. Faktor internal mencerminkan konsekuensi logis dari seorang anak yang secara emosional sedang labil, yakni dengan menjadikan geng sekolah sebagai wadah yang memberikan ikatan emosional dan menciptakan identitas bersama--kenyamanan yang tidak mereka dapatkan melalui interaksi sehari-hari dengan teman lain atau guru.

Dalam menyadari kontribusi kita terhadap pembentukan geng sekolah dan perlunya menyelesaikan masalah geng setidaknya bisa kita mulai dari mengubah prasangka buruk terhadap anak-anak geng sekolah. Tidak sedikit orang melabel mereka sebagai anak nakal atau pembuat onar. Padahal, mereka menjadi pembuat onar juga karena kita. Maka dari itu, ubah pandangan kita yang tadinya negatif menjadi setidaknya netral terhadap anak-anak muda itu.

Strategi mengubah prasangka buruk semakin penting dilakukan mengingat, seperti yang disebutkan sebelumnya, anak terlibat geng dalam masa pencarian jati diri--sesuatu hal yang alamiah dan lumrah yang terjadi pada anak-anak. Justru karena itulah, orang-orang dewasa merasa bertanggung jawab untuk membimbing mereka menjadi seseorang yang berarti bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Kita masih sering mendengar berita bahwa anak-anak geng sekolah yang terlibat tawuran, perundungan, atau melakukan aksi kekerasan lainnya dikeluarkan dari sekolah. Yang paling kerap dijadikan sebagai alasan ialah pelaku telah mencoreng nama baik sekolah. Keputusan semacam itu ber sumber dari prasangka buruk dan sudah barang tentu tidak menyelesaikan masalah, malah bertentangan dengan hakikat dari pendidikan. Bukankah esensi dari pendidikan ialah mengubah anak yang tadinya bodoh menjadi pandai/cerdas; yang tadinya tidak/kurang beradab menjadi beradab?

Transformasi yang positif pada diri anak pada akhirnya akan dapat mewujudkan transformasi sosial yang positif pula di masyarakat. Jika pelaku dikeluarkan dari sekolah, bagaimana proses transformasi itu bisa berjalan tanpanya? Hilangkan prasangka buruk dan tangani perilaku kekerasan mereka--jangan orangnya.

Perilaku kekerasan bersifat menahun dan jika dibiarkan akan berbahaya. Kata Mahatma Gandhi, “I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent (Aku menolak kekerasan karena ketika kekerasan tampak baik, kebaikannya hanya sementara; kejahatan yang dilakukannya permanen).“

Manajemen konflik

Bagaimana menangani geng sekolah beserta perilaku kekerasannya? Selain strategi mengubah persepsi, strategi yang lebih sistematis juga perlu diusahakan. Maksudnya, strategi tersebut terintegrasi di dalam sistem pendidikan sekolah atau yang disebut manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS). Strategi itu disokong tiga pilar MKBS yang relevan dan yang melibatkan kelas, sekolah, dan masyarakat: (1) kelas yang damai, (2) budaya sekolah, dan (3) partisipasi keluarga dan masyarakat.

Pertama, guru dan murid bersama-sama menciptakan kelas yang damai. Hal itu bergantung pada kondisi fisik dan suasana kelas yang inklusif dan aman bagi siapa saja untuk belajar bersama. Kondisi fisik yang dimaksud ialah, misalnya, dengan mengubah posisi tempat duduk secara rutin sehingga anak-anak dapat saling berbaur. Suasana kelas yang dimaksud ialah, misalnya, dengan guru menugasi anak anak dengan kelompok yang berbeda-beda un tuk membuka pergaulan mereka, berko munikasi dengan semua anak secara merata. 

Dengan demikian, tidak satu pun anak merasa teralienasi dan menerapkan metode mengajar bervariasi serta mengekspos semua kemampuan anak secara positif atau yang memasrahi anak dengan tanggung jawab sehingga ia merasa dibutuhkan.

Kedua, warga sekolah menyepakati norma-norma apa saja yang dapat menangani geng dan berbagai aktivitias mereka, seperti norma saling menghormati sesama, norma jangan merusak properti yang bukan miliknya, dan norma anti-bullying. Setiap warga sekolah menerapkan norma yang dipilih dan memeliharanya dengan berbagai macam pembiasaan, seperti menempelkan slogan `Geng = Eksklusivisme = Kekerasan', `Setop perundungan!', di tempat-tempat strategis, membuat sanksi yang konsisten dengan pendidikan bagi pelanggar, dan anak-anak diajak menjadi duta perdamaian dengan mengampanyekan antiperundungan di sekolahsekolah lain seperti yang sudah dilakukan Sekolah Budi Mulia Yogyakarta dan SMPN 6 Banjarmasin.

Ketiga, keluarga dan masyarakat juga perlu dilibatkan bersama-sama dalam MKBS. Berkaitan dengan peran keluarga dalam usaha menangani geng sekolah, misalnya, pihak sekolah dan para orangtua bertemu untuk membicarakan masalah geng, mencarikan solusinya, dan membuat langkah-langkah bersama antara sekolah dan orangtua. Mengenai peran masyarakat, mengundang polisi sebagai narasumber di kelas, misalnya, ialah salah satu bentuk pelibatan anggota masyarakat dalam MKBS. Mereka berperan penting dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak konsekuensi legal dari geng sekolah.

Karena kelas yang demokratis, budaya sekolah yang tidak menoleransi kekerasan termasuk geng sekolah, dan partisipasi aktif dari orangtua dan masyarakat, faktor-faktor penyebab geng akan dapat ditanggulangi seawal mungkin. Pendekatan MKBS cukup strategis melakukan peran tersebut mengingat melibatkan pihak sebanyak-banyaknya, berguna seumur hidup, mendukung hakikat dari pendidikan, dan juga berbiaya murah.

Titik Firawati    
Staf pengajar Jurusan HI UGM,
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM
MEDIA INDONESIA, 03 Juni 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi