Politik Kebudayaan Pancasila

PENGHARGAAN internasional, Word Statesman Award atau Anugerah Negarawan Dunia untuk Presiden SBY berkenaan dengan toleransi beragama, perdamaian, dan demokrasi di Indonesia seyogianya diterima dengan baik, walaupun beberapa pihak  mempertanyakan, bahkan menyatakan tidak setuju.

Mereka mendalihkan pada kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah, komunitas Syiah di Sampang Madura Jatim, dan pelarangan beribadah untuk komunitas sebuah gereja di Bogor Jabar yang mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah melindungi kaum minoritas agama. Karena itu, beberapa pihak menyarankan SBY menolak penghargaan itu.

Toleransi beragama di Indonesia ini sebenarnya sudah lama terbangun. Semasa Kerajaan Majapahit misalnya, walaupun kerajaan ini menganut agama Hindu dan Buddha, realitasnya sangat toleran terhadap kehadiran Islam. Sunan Ampel, salah satu Walisongo bahkan datang ke Surabaya atas undangan raja Majapahit guna memberikan penyuluhan dan memperbaiki moral masyarakat yang dinilai sudah rusak.

Kerajaan Majapahit menjalankan politik secara sekuler karena itu sangat toleran terhadap tamu kerajaan dari golongan apa pun, semisal kehadiran Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Bahkan di situs bekas kota Majapahit di Trowulan Mojokerto Jatim ditemukan kompleks makam orang Islam. Zaman sebelum Majapahit pun toleransi beragama sudah terbentuk, semisal kerukunan antara agama Hindu dan Buddha yang terbangun sejak awal abad Masehi. Padahal di negara asalnya, di India, pengikut dua agama tersebut tidak bisa akur.

Contoh lain dari toleransi itu, yakni ketika Raja Wisnuwardhana dan Kertanegara dari Kerajaan Singasari memproklamirkan diri sebagai pemeluk Syiwa Buddha. Bukti atau testimoni mengenai hal itu kini masih bisa dilihat pada peninggalan Candi Jago dan Candi Singosari Malang.

Realitas itu menunjukkan bahwa toleransi kehidupan beragama di Indonesia sudah lama terbangun. Sebelum agama besar (Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik) masuk ke Indonesia, di Nusantara sudah berkembang kepercayaan asli yang bersumber pada pemujaan arwah leluhur. Karena itu, agama-agama ''asing'' yang datang kemudian, dalam proses budaya hanya diterima sebagai agama tamu yang harus dihormati.

Kalaupun akhirnya agama-agama besar itu diterima oleh masyarakat Indonesia, agama asli itu tetap menjadi akarnya. Dalam ajaran Pancayajnya di Bali misalnya, doktrin agama Hindu dan Buddha bisa bersatu-padu dengan akar penghormatan kepada roh dan arwah leluhur. Sebagian pemeluk Islam di Jawa ini pun tak bisa meninggalkan keyakinannya terhadap arwah leluhur dan tokoh masa lampau. Itu dimanifestasikan lewat wisata ziarah ke makam Walisongo atau para leluhur, terutama ketika nyadran dan Idul Fitri.

Sila pertama Pancasila, yaitu Ke Tuhanan Yang Maha Esa, merupakan hasil pemikiran mendalam penggali dan perumus Pancasila, dengan mengambil akar-akar agama dan kepercayaan, untuk disarikan guna menemukan persamaan. Akar-akar itu kemudian digunakan sebagai landasan pembuatan konsep sila pertama itu, yang mengandung pengertian bertoleransi dalam kehidupan beragama.

Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan toleransi agama ini sudah demikian mengakar dalam kehidupan masyarakat kita. Karena itu, penghargaan internasional untuk SBY itu layak diterima sebab sangat terkait dengan sila pertama Pancasila. Kalaupun saat ini masih ada persoalan terkait toleransi beragama, itu karena kekurangtegasan pemerintah menyikapi persoalan yang sudah digariskan dalam sila pertama itu.

Hal lain yang berkenaan dengan Pancasila adalah pengimplementasian sila-sila ataupun nilai-nilai luhur dalam Pancasila yang saat ini masih kacau-balau. Berbagai kejahatan dan kekerasan, juga diskriminasi merebak, smisal perampokan, penipuan, korupsi, terorisme, tawuran, kekerasan agama, kekerasan terhadap anak dan sebagainya.

Relevansi Nilai

Semua itu merupakan indikasi kemelunturan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai sosial budaya dan etika yang terkait dengan nilai-nilai luhur dasar negara kita. Pancasila merupakan strategi politik kebudayaan, gagasan orisinal yang dicetuskan pendiri bangsa. Itu juga hasil pemikiran yang brilian pada eranya mengingat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya senantiasa relevan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sepanjang masa.

Namun nilai-nilai luhur itu perlu selalu diaktualisasikan dan disosialisasikan supaya tidak tergerus. Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa ini, yang digali dari kebudayaan yang terbentuk dan berkembang di negara ini. Sejarah juga mencatat bahwa keterbentukan kebudayaan-kebudayaan di negara ini penuh toleransi terhadap kelompok dan agama yang berbeda-beda.

Peringatan hari lahir Pancasila yang waktunya berdekatan dengan pemberian penghargaan internasional kepada Presiden SBY harus menjadi momentum untuk menanggulangi persoalan bangsa yang menyimpang dari norma, etika, dan nilai kebudayaan. Banyak negara menganggap Indonesia sebagai negara yang sukses dalam membangun perekonomian.

Yang tidak kalah penting adalah membangun manusianya, yang juga berarti membangun kebudayaan guna membentuk manusia Indonesia yang berbudaya dan bermartabat. Inilah yang sering dilupakan pemerintah, dan saatnya nilai-nilai Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya bangsa harus benar-benar diaktualisasi dan disosialisasikan. 

Eko P Hendro   
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 01 Juni  2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi