Kaum peminat dan penikmat novel novel Paulo Coelho sedang
tak sabar menunggu terjemahan Manuscript Found in Accra (April
2013) atau Manuscrito Encontrado Em Accra(2012). Novel terbaru
Coelho itu merupakan inspirasi, refleksi, dan meditasi atas kehidupan, cinta,
dan pentingnya perubahan.
Menggapai perubahan dalam hidup merupakan salah satu hasrat
bawaan dalam diri manusia. Setiap hari, tampak manusia berada pada lintasan
waktu yang sama. Mulai bangun pagi, tenggelam dalam aktivitas harian, hingga
malam merayap menghampirinya. Tetapi sesungguhnya tiap-tiap hari memiliki
kisahnya tersendiri. Angin perubahan yang dihirup, mentari pagi yang memberi
kehangatan, kicauankicauan yang terekam, kata-kata terucap dan aksara yang
terbaca, serta arus komunikasi yang tak pernah terpacak mandek.
Pendidikan
Akan tetapi, dalam kondisi politik yang berantakan, kita
saksikan harmoni berangsur retak. Nilai-nilai kejujuran kian pudar, korupsi
menjadi lumrah, hukum rimba semakin trendi, di bui tahanan dan sipir sama-sama
tak nyaman. Berikut sistem pendidikan makin acak-acakan.
Wajah pendidikan di negeri ini sebegitu meresahkan. Karena
itu, timbul pertanyaan sederhana, apa itu pendidikan? Pendidikan adalah jalan
panjang dan tak selesai, proses tak berkesudahan tentang tanggung jawab
menjadikan manusia lebih manusiawi, sadar dan terbebaskan dari belenggu
irasionalitas.
Tentu jelas, pendidikan bukan soal `guru' yang berkatakata
di depan siswa-siswanya. Juga pendidikan bukan `murid' yang setiap kali
mendatangi sekolahnya dengan rasa takut. Peserta didik takut akan bullying.
Barangkali mereka tak nyaman karena ongkos pendi dikan yang mahal. Atau mungkin
takut akan tawuran yang sewaktu-waktu mengancam. Pada waktu tertentu mereka P
dihadapkan pada monster bernama `ujian nasional' (UN).
Dengan UN, sistem pendidikan yang seharusnya membebaskan
siswa dari kubangan irasionalitas malah mencampakkannya ke dalam
tindakantindakan irasional. Sebagai misal, meski para peserta UN telah belajar
sungguh-sungguh, rasanya tak cukup kalau makam leluhur tak dikunjungi.
Sekalipun mereka sudah mempersiapkan diri berbulanbulan,
strategi lain ditempuh untuk menggapai kelulusan. Beberapa skandal seperti
perilaku menyontek dan pembocoran soal menjadi contoh yang sudah kuno. Tetapi
itulah konsekuensi dari tekanan psikologis dalam diri yang gelisah, bukan hanya
murid, melainkan juga guru.
UN Terakhir?
Di tengah kondisi kegelisahan ini, sebagaimana narasi dalam Manuscrito
Encontrado em Accra itu, “Orang-orang mulai bertanya-tanya
tentang kega galan, kekalahan, perjuangan, ... mereka merenungkan hasrat untuk
berubah dan kebajikan loyalitas serta kesendirian; dan mereka akhirnya beralih
mempertanyakan keindahan, cinta, kebijaksanaan, seks, keanggunan, dan masa
depan yang dapat diraih.“
Imam Koptik, tokoh bijak dalam novel itu lalu bertanya, “Apakah
kesuksesan itu?“ “Kesuksesan adalah ketika kamu dapat pergi ke tempat tidur
setiap malam dengan jiwa yang damai.“
Tatkala menyaksikan UN 2013 yang amat semrawut ini,
sesungguhnya kita tidak tahu, apakah peserta UN dapat pergi ke tempat tidur
setiap malam dengan jiwa yang damai. Entah damai atau gelisah, ketakpastian
pelaksanaan UN 2013 di 11 provinsi dapat dipastikan telah menambah sederet
pengalaman tak menyenangkan tentang UN. Itu sebabnya ada seruan, “UN bukan cuma
sengkarut, melainkan juga gagal. Semua itu lebih dari cukup bagi kita untuk
mendesak pemerintah menyatakan UN tahun ini ialah UN terakhir,“ (editorial
Media Indonesia, 19/4).
Akan tetapi, semuanya masih terus bergerak pada tataran
ketakpastian. Apakah benar UN tahun ini ialah UN terakhir? Karena tak jelas,
kegelisahan terus bergelora.
Peserta UN generasi yang akan datang pun perlahan-lahan
terlempar ke dalam kecemasan serupa lantaran tahun ini mereka telah menyaksikan
pengalaman buruk.
Kecemasan atau kegelisahan memang gejala universal yang
dapat menyergap siapa saja. Mengikuti pendahulunya Martin Heidegger
(1889-1976), Jean Paul Sartre (1905-1980) membicarakan kecemasan (angst)
sebagai salah satu topik penting dalam refleksi filosofisnya mengenai
eksistensi manusia. Sartre berbicara perihal kebebasan dan tanggung jawab.
Kebebasan sesungguhnya bukan hal yang menyenangkan. Ia merupakan beban yang
menyebabkan kecemasan. Dan, kecemasan itu sendiri adalah pengalaman yang sangat
mencekam dan tidak menggembirakan akibat manusia dihadapkan pada kebebasan dan
tanggung jawab yang harus dipikul sendirian (Zainal Abidin: salihara.org,
2011).
Bencana Besar
Tampak sistem pendidikan dengan penerapan UN yang sepenuhnya
dikontrol menurut kekuatan tunggal dari pusat telah berubah menjadi belenggu
yang tak menyenangkan. Bahaya yang dapat timbul ialah sikap menerima kenyataan
ini sebagai suratan takdir, walau ada kesadaran bahwa UN merupakan `bencana'
besar dalam sistem pendidikan itu.
Bencana gara-gara ia menelan anggaran miliaran rupiah,
membuka peluang bagi jamaknya praktik-praktik tidak jujur, menyengsarakan
peserta UN yang menunggu naskah ujian hingga malam dan terpaksa menggelar UN
tanpa dukungan penerangan yang memadai, serta mereka yang tak lulus UN
(mungkin) patah arang dan minder atau lebih buruk lagi bunuh diri.
Sesungguhnya kecemasan memang gejala universal. Tetapi
apakah kita mesti berlarut-larut dalam realitas UN dengan kondisi seburuk ini?
Ataukah kita mungkin boleh bertanya, jangan-jangan kecemasan itu hanyalah mitos
situasional belaka? Sebagai mitos, kecemasan itu merupakan jawaban atas sesuatu
yang terbatas dan belum sepenuhnya terpahami. Mitos, seperti kata Karen
Armstrong, menatap ke dalam `jantung sebuah kebisuan agung', the heart of a
great silence. Kebisuan tentang realitas ketakpastian, termasuk di dalamnya
adalah datang dan hilangnya kurikulum pendidikan dari tahun ke tahun.
Tampaknya, UN dan berbagai kesulitan yang diakibatkannya
membuat siswa-siswi di Republik ini seolah terlempar ke dalam fakta tak
terelakkan, sebuah kecemasan yang menjadikan mereka terombangambing. Mereka
cuma belajar untuk memahami fakta ini tetap dalam lembah kecemasan; gejala
universal yang dapat diakrabi. Ia tak ubahnya badai, sewaktu-waktu datang dan
berlalu, memberi arti kepada hidup yang tak akan pernah lengkap.
Milto Seran ;
Mahasiswa
Pascasarjana STFK Ledalero Flores, NTT
MEDIA
INDONESIA, 25 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi