Tampilkan postingan dengan label Bandung Mawardi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bandung Mawardi. Tampilkan semua postingan

Pancasila dan Jawa

Aroma pluralitas masih tampak, meski "kejawaan" perlahan mendominasi pidato dan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di masa Orde Baru.
Sukarno, 1 Juni 1945, menginginkan Indonesia bulat. Indonesia adalah tanah air untuk semua. Indonesia tak cuma Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Maluku. Indonesia adalah milik semua orang di pelbagai pulau. Pesan gamblang Sukarno menjadi latar usulan Pancasila, anutan hidup bersama berbasis pluralitas. Seruan Sukarno pantas diingat untuk menilik Pancasila di atas pijakan pluralitas. Sukarno berpidato dengan lantang, mengucap Pancasila tanpa diskriminasi dan dominasi.
Sukarno menggali Pancasila, mewariskan untuk Indonesia. Kita menerima Pancasila sebagai referensi bersama, tak membedakan suku dan agama. Pancasila milik semua orang, dari ujung Sumatera sampai ujung Papua. Pesan pluralitas menggerakkan Pancasila di kalbu Indonesia. Pancasila bersemangat perbedaan, ditafsirkan dan diamalkan tanpa dominasi kultural. Ikhtiar Sukarno perlahan terabaikan oleh nalar-imajinasi kekuasaan Soeharto merujuk ke kosmologi Jawa.
Polemik tentang hasrat Soeharto menafsirkan Pancasila bergelimang idiom dan semangat Jawa terjadi pada masa 1980-an. Polemik itu mengabarkan bahwa Pancasila hendak "dikejawenkan" (Panji Masyarakat, 1 Februari 1984). Soeharto fasih menuturkan filsafat Jawa dalam praksis kekuasaan, mengamalkan nilai-nilai Jawa dalam arus politik Indonesia. Kebiasaan itu memunculkan anggapan Soeharto bakal "menjawakan" Pancasila, berdalih biografi kekuasaan. Selo Soemardjan menjelaskan: "… Pak Harto sebagai orang Jawa tidak bisa lepas dari filsafat dan pemikiran Jawa." Publik diharapkan memaklumi saat Soeharto melihat Pancasila dari dimensi kejawaan. Selo Soemardjan pun berpesan bahwa tafsiran Pancasila dipengaruhi oleh biografi etnis.
Ingatan lakon kekuasaan di masa Orde Baru dan Pancasila sering mengandung idiom-idiom Jawa: ojo dumeh, tepa selira, mulat sariro hangroso wani. Soeharto beretorika politik dengan rujukan-rujukan Jawa, mengutip "pitutur luhur" dan menafsirkan sastra-sastra Jawa klasik di masa silam. Pembiasaan itu membuat Pancasila cenderung "berlumuran" ajaran Jawa, mengelak dari pluralitas. Pikat Pancasila bergantung pada nalar-imajinasi penguasa. Soeharto (1976) kalem berkata: "Sebagai manusia Pancasila, saya tidak memaksakan pandangan saya mengenai Pancasila…." Soeharto secara halus berpesan agar pandangan tentang Pancasila itu "mendapat perhatian masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan". Sikap kalem dibarengi "perintah halus" agar pandangan-pandangan Soeharto tentang Pancasila "dikukuhkan" melalui MPR (Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, 1976). 
Cita rasa Jawa dalam Pancasila sudah bermula sejak lama, ditafsirkan dan dipropagandakan pada masa Orde Lama. Imam Supardi menulis buku berjudul Pantjasila Kawedar, terbitan Panjebar Semangat, 1954. Buku berbahasa Jawa ini dimaksudkan untuk memberi penerangan bagi publik Jawa mengenai Pancasila, asas hidup bersama di Indonesia. Wongsonegoro memberi keterangan di halaman sambutan: "… kami bergembira dengan keluarnja buku Pantjasila Kawedar dalam bahasa daerah (Djawa ngoko)." Sambutan ini turut mengikutkan keterangan tentang tafsiran Pancasila di dunia kejawaan.
Persoalan penggunaan bahasa Jawa dalam propaganda mendapat tanggapan dari R.P. Sosrokardono: "… migunakake basa Djawa minangka piranti, jaiku piranti kanggo nginsafke marang guna paedahe persatuan lan kamardikaning bangsa." Bahasa Jawa sekadar medium komunikasi, perantaraan untuk menguatkan makna persatuan di alam kemerdekaan. Penjelasan Pancasila berbahasa Jawa diharapkan bisa mengantarkan publik Jawa meresapi dan mengamalkan Pancasila. Pada masa 1950-an, penggunaan bahasa Jawa dalam publikasi buku atau majalah masih menjadi suguhan memikat dan komunikatif di Jawa, dari kelas bawah sampai kelas atas.
Kehadiran buku Pantjasila Kawedar mengandung penjelasan-penjelasan merujuk ke kosmologi Jawa. Imam Supardi sengaja menampilkan referensi-referensi Jawa, siasat mengakrabkan orang Jawa dengan Pancasila. Rintisan di masa Orde Lama berlanjut ke Orde Baru, menggunakan seni tradisional di Jawa demi meresapkan Pancasila. Kita masih ingat kemunculan pesan-pesan Pancasila dalam pertunjukan wayang dan ketoprak. Pancasila dalam bahasa dan idiom Jawa juga muncul di tembang dan sastra. Sebaran nilai-nilai Pancasila berkosmologi Jawa itu representasi menunaikan "perintah halus" dari Soeharto. Pancasila memang tampak "dikejawenkan" meski dianggap kelaziman mengacu ke latar kultural si penguasa.
Tafsir 
Penggunaan idiom Jawa sebagai penerangan Pancasila menguak "kebebasan" dalam menafsirkan Pancasila sesuai dengan etnis dan bahasa. Aroma pluralitas masih tampak, meski "kejawaan" perlahan mendominasi pidato dan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di masa Orde Baru. Pemunculan tafsir beragam merujuk pluralitas kultural justru menyebabkan semaian Pancasila bisa berterima ke publik di pelbagai penjuru daerah. Pengharapan itu sering terhambat oleh keterbatasan kebijakan politik-literasi di pelbagai daerah. Industri penerbitan, penafsir, dan komunitas melek-aksara masih berpusat di Jawa. Ketidakmerataan menimbulkan anggapan bahwa Pancasila ada dan bertumbuh di Jawa. 
Kita bisa membaca Pantjasila (1950), risalah berbahasa Indonesia, susunan Ki Hadjar Dewantara menjadi ikhtiar untuk penghindaran dominasi "penjawaan" Pancasila. Ki Hadjar Dewantara sering menggunakan kosmologi Jawa dalam pendidikan-pengajaran di Perguruan Taman Siswa. Kejawaan disajikan, meski tak mutlak, menampilkan identitas-kultural dalam misi pendidikan nasional. Jawa itu pijakan tanpa harus ditampilkan secara lugas dan berlebihan. Tafsiran-tafsiran Ki Hadjar Dewantara mengenai Pancasila justru mengelak dari penggunaan idiom-idiom atau kosmologi Jawa. 
Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh Jawa menerangkan bahwa Pancasila secara hakikat ingin mengajak kita memiliki keluhuran dan kehalusan budi. Penerangan ini tak dilekati dengan referensi-referensi Jawa. Ungkapan "keluhuran" dan "kehalusan budi" bermakna kultural, menjauhi politisasi. Ki Hadjar Dewantara mengembalikan pemaknaan Pancasila ke kalbu kultural tanpa pamer dominasi kejawaan. 

Pancasila masih ada di abad XXI, ditafsirkan dalam pelbagai perspektif. Ingatan atas pluralitas dan kejawaan dalam tafsir Pancasila, sejak Orde Lama sampai Orde Baru, memberi bukti tentang pemaknaan tak selesai. Pancasila untuk Indonesia, berpijak pada pluralitas dan disampaikan melalui beragam bahasa agar meresap ke kalbu kita. 

Bandung Mawardi   
Pengelola Jagat Abjad Solo
KORAN TEMPO, 01 Juni  2013



Selengkapnya.. »»  

Pancasila, Trauma tapi Rindu

MOHAMMAD Hatta menampik jika ada orang atau institusi menghapus atau mengaburkan nama Soekarno dari kesejarahan Pancasila. Situasi Orde Baru telah memperlihatkan arogansi, keagungan penguasa dengan desoekarnoisasi. Manipulasi imajinasi ketokohan dan peristiwa politik dibuat dalam propaganda narasi sejarah. Pancasila dikeramatkan, tapi dijauhkan dari Soekarno. Rekonstruksi sejarah tak merujuk ke Soekarno atau peristiwa pidato 1 Juni 1945. Penguasa di masa Orde Baru memiliki bahasa-bahasa mengelabui, mengarahkan publik untuk ragu atas peran Soekarno dalam penggalian dan perumusan Pancasila.

Hatta menduga bakal ada kesesatan sejarah, kegamangan pemaknaan Pancasila tanpa ingatan terang mengenai Soekarno. Hatta pun menulis surat wasiat, 16 Juni 1978, yang mengandung keinsafan sejarah. Hatta bercerita, di ujung Mei 1945, Radjiman Wediodiningrat (PPKI) mengajukan pertanyaan: ''Negara Indonesia merdeka yang akan kita bangun itu apa dasarnya?'' Orang-orang diam, tak berani menjawab dengan pertimbangan menimbulkan perdebatan berkepanjangan. Hatta mengenang: ''... yang menjawab pertanyaan itu ialah Bung Karno, yang mengucapkan pidato pada tanggal 1 Juni 1945, yang berjudul Pancasila, Lima Sila, yang lamanya kira-kira satu jam.'' Pidato itu memikat, mendapat sambutan, dan keriuhan tepuk tangan. 

Kita patut merenungi keputusan Hatta menulis surat wasiat, mengisahkan Soekarno dan Pancasila. Surat itu dituliskan di masa Orde Baru saat Pancasila mengalami pengeramatan oleh Soeharto. Pancasila tetap dijadikan dasar negara meski ada ''pengambilalihan'' otoritas pemaknaan dari Soekarno ke Soeharto. Sejarah Pancasila mengalami perubahan. Nama Soekarno memudar, berada di pinggiran narasi sejarah. Soeharto dan militer telah membuat Pancasila menjadi khas Orde Baru, disajikan sebagai ideologi menggunakan bahasa manipulatif dan tindakan represif.

Soeharto ingin berperan besar untuk meresapkan Pancasila ke kalbu Indonesia. Ambisi itu diwujudkan dengan pembakuan makna Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (1976). Soeharto berkata: ''Yang paling penting adalah agar Pancasila itu benar-benar kita rasakan wujudnya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai pribadi dalam tata pergaulan hidup dengan sesama anggota masyarakat, dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita.'' Soeharto mulai jarang mengucap nama Soekarno jika berpidato tentang Pancasila. Soeharto perlahan menempelkan ''keakuan'' dalam menafsirkan Pancasila ke publik. Ulah itu jelas mengandung maksud: Pancasila adalah Soeharto.

Goenawan Mohamad (2009) menganggap bahwa kebijakan-kebijakan Soeharto menimbulkan pengeramatan Pancasila, menempatkan Pancasila sebagai ''ideologi melangit'', tapi indoktrinatif. Pancasila juga disajikan oleh penguasa dengan bahasa dan simbol eksklusif, mengacu ke nalar birokratis-militeristis. Tindakan Soeharto ibarat perebutan Pancasila dari sejarah, mengolah ulang menggunakan pertimbangan-pertimbangan politis demi kelanggengan kekuasaan. Pancasila menjadi sakti, dipropagandakan berdalih pembangunan. Kita mengingat Pancasila sebagai ''sihir'' dan ''mantra'' bergelimang perintah, ancaman, dusta, keraguan. 

Soekarno telah mewariskan Pancasila sebagai tema polemis, ditafsirkan secara inklusif berpijak pluralitas. Warisan itu ditutupi oleh Orde Baru, mengisahkan Pancasila dengan tafsir-tunggal dan mengeramatkan demi stigmatisasi ideologis. Pengamalan Pancasila mesti menuruti kehendak penguasa. Penghinaan atau perlawanan atas tafsir penguasa adalah subversi. Rezim Orde Baru berhasrat memiliki Pancasila, melekatkan Pancasila ke biografi politik Soeharto. Kita pun mendapat warisan Pancasila dari Orde Baru sebagai siksaan, klise, trauma. Pancasila hampir kehilangan pesona. Kita tergoda untuk mengabaikan Pancasila, meninggalkan dengan argumentasi ''kelelahan'' dan ''jemu'' akibat ulah-ulah rezim Orde Baru.

Keruntuhan Orde Baru menimbulkan dilema, kita merindukan Pancasila, tapi sulit menghilangkan trauma. Sejarah memang buram, kita membaca dengan sungkan. Ilusi-ilusi ideologis masih ada di ingatan, mendekam di kalbu Indonesia oleh indoktrinasi Soeharto selama puluhan tahun. Ikhtiar membeningkan sejarah Pancasila dan selebrasi tafsir inklusif terus dilakukan meski warisan Orde Baru masih bertebaran di Indonesia. Pancasila tak mesti ''sakti''. Kita menginginkan Pancasila adalah rujukan keinsafan dan mawas diri dalam misi berbangsa-bernegara. 

Situasi dilematis itu merangsang Yudi Latif menekuni Pancasila, menulis buku berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila(2011). Yudi Latif mengisahkan hasrat kerinduan dan ingatan kembali untuk menempatkan Pancasila di kalbu Indonesia. Penulisan buku tentang Pancasila dilakoni dengan pengembaraan ke pelbagai kota dan desa di Indonesia. Yudi Latif ingin mengembalikan Pancasila bersumber dari lakon kehidupan rakyat, menampik dominasi penguasa untuk mengeramatkan Pancasila. 

Yudi Latif menulis pengharapan dan satire berlatar lakon rakyat merujuk ke Pancasila: ''Dari jarak dekat, dalam bau keringat, dan kaki-kaki kebangsaan, bisa saya tangkap degup keresahan, ketidakpuasan, sekaligus kecintaan mereka pada tanah air. Semangat solidaritas emosional dan kehendak untuk bersatu masih kuat, namun karena kekeliruan manajemen kekuasaan, di beberapa titik bisa dijumpai retakan-retakan bangunan arsitektur kebangsaan Indonesia.'' Narasi ini berpesan, mengajak pembaca mengembalikan Pancasila di kalbu Indonesia berpijak inklusivitas dan pluralitas.

Pancasila terus ditafsirkan di abad XXI. Pancasila adalah referensi untuk berindonesia saat korupsi, kekerasan, diskriminasi, kemiskinan masih menjadi ironi dan tragedi. Pancasila tak mengenal kedaluwarsa. Kita mengingat Pancasila melalui sejarah bergelimang makna, mengamalkan demi nasib Indonesia. Pancasila bermula dari pidato, kata-kata mengandung imajinasi pengharapan. Kita pun mewarisi Pancasila untuk tindakan-tindakan demi berindonesia. Begitu.

Bandung Mawardi   
Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 01 Juni  2013




Selengkapnya.. »»