Sudah 54 tahun Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas)
diperingati sejak pertama kali ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1959, melalui
Surat Keputusan Presiden RI no.305 tahun 1959 tertanggal 28 November 1959.
Sudah 54 tahun pula perkembangan pendidikan
nasional bergerak dengan segala plus dan minusnya. Namun, peringatan Hardiknas
tahun ini terasa cukup spesial. Pasalnya, perubahan-perubahan di tengah
masyarakat direspons cepat oleh Kemendikbud melalui perubahan kurikulum.
Kurikulum baru itu dikenal dengan nama Kurikulum 2013.
Salah satu isu penting di balik dilahirkannya
kurikulum baru ini adalah bagaimana pendidikan bisa membantu mengembangkan
karakter bangsa Indonesia. Hal itu tampak dari analisis konteks atas pentingnya
kurikulum baru itu. Di antaranya belum terjaminnya keseimbangan soft
skills dan hard skills pada kurikulum yang sedang
berjalan. Lalu, dimun-culkanlah kembali nomenklatur mata kuliah Pancasila yang
disandingkan dengan Pendidikan Kewarganegaraan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa pembelajaran mata
pelajaran Kewarganegaraan dipandang penting? Mengapa pula Pancasila dimunculkan
kembali sebagai nomenklatur integral dengan kewarganegaraan? Dalam artikelnya
berjudul “The State, the Soul, Virtue and Potential: Aristotle on
Education,” Stephan Millett (2008:23) menyatakan: “The end
(telos) of education is to produce good citizens, where “good” here is partly
determined in light of the constitution of the state.”
Artinya, tujuan dari pendidikan adalah untuk
menciptakan warga negara yang baik, dimana kata “baik” di sini di antaranya
dimaknai sesuai konstitusi negara bersangkutan. Makna dasar tujuan pendidikan,
seperti yang disampaikan Stephan Millet ini, tidak hanya berlaku untuk satu
negara saja, melainkan berlaku untuk semua negara.
Inilah yang menjelaskan bahwa pendidikan di mana
saja pasti memiliki tujuan politik, termasuk politik kenegaraan. Di belahan
manapun di dunia ini, terlepas dari apapun ideologinya, negara memiliki
kepentingan dengan berbagai bentuk pendidikan yang dijalankan dan dinikmati warga
negaranya.
Kepentingannya pada titik paling ekstrem adalah
agar pendidikan yang ada di tengah warganya tidak bertentangan dengan ideologi
yang dianut negaranya. Pada titik paling sederhana, kepentingannya adalah agar
tercipta warga negara yang diharapkan. Tidak pernah terjadi sebuah pendidikan
di sebuah negara manapun tanpa adanya campur tangan negara. Maka, kontrol
negara pasti dilakukan terhadap semua bentuk dan jenjang pendidikan yang ada di
dalamnya.
Dalam konteks inilah, politik pendidikan menjadi
sebuah fakta yang tidak pernah sirna dari praktik pendidikan di negara manapun.
Maka, dalam kaitan ini pula argumen yang dibangun Stephan Millet bahwa the end
of education is to produce good citizens berlaku pada dan dianut oleh semua
negara, terlepas dari ideologi dan bentuk sistem pe-merintahannya.
Sebagai contoh, jika sebuah negara dibangun di atas
ideologi Wahabi dan sistem pemerintahannya Teokrasi, maka pendidikan yang
dijalankan di dalamnya pasti diorientasikan untuk menciptakan warga negara yang
baik sesuai ideologi Wahabi dan sistem pemerintahan Teokrasi.
Begitu pula halnya dengan Indonesia yang berasas
Pancasila dan dijalankan dengan sistem pemerintahan Demokrasi, maka negara
Indonesia memiliki kepentingan dengan seluruh ragam pendidikan yang di jalankan
di dalamnya untuk bisa menciptakan good citizens (warga negara yang baik)
sesuai semangat Pancasila dan pemerintahan Demokrasi.
Oleh karena itu, Pancasila dan Kewarganegaraan
dipadukan kembali dan kini menjadi salah satu nama mata pelajaran pada
kurikulum 2013. Nalar paradigmatik kurikulum 2013 dengan penguatan kapasitas
siswa dalam memperoleh, mengolah, dan memanfaatkan informasi di atas, meminjam
perspektif Charlene Tan dan Benjamin Wong (2008:3-12), akan berkontribusi besar
pada penguatan tradisi dan nilai kehidupan masa mendatang peserta didik yang
kuat.
Pertimbangan akademiknya, menurut keduanya, jelas,
kurikulum harus mementingkan pengembangan tiga aspek utama pada diri peserta
didik, yakni kemampuan mengambil keputusan secara rasional (rational autonomy),
kebajikan (virtues), dan spiritualitas.
Ketiga aspek ini diwujudkan melalui kurikulum
diterjemahkan melalui proses pembelajaran yang didasarkan pada prinsip
pencarian mandiri (self discovery), kemampuan untuk menyelesaikan
persoalan secara mendalam (reflective inquiry), dan pembebasan diri (personal
emancipation). Kepemilikan atas kemampuan memperoleh, mengolah, dan
memanfaatkan informasi akan segera menggerakkan peserta didik untuk bisa
mandiri dalam mengambil keputusan secara rasional.
Tingkat kemandirian seperti inilah yang dibutuhkan
seorang anak saat dia menghadapi situasi dan kondisi beserta berbagai tantangan
dan permasalahan kelak saat dewasa. Pasalnya, tingkat kemandirian akademik
seperti inilah yang segera akan mengantarkan peserta didik menuju kemampuan
pencarian mandiri, sebagaimana dimaksud di atas.
Kepemilikan atas kemampuan pencarian mandiri ini
menjadi bekal hidup yang bernilai tinggi bagi peserta didik untuk mampu
menyelesaikan persoalan hidupnya serta membebaskan diri dari ketergantungan
pada pertimbangan tidak rasional. Lebih jauh, salah satu yang membedakan antara
gerak pendidikan dan nonpendidikan adalah kekuatan yang dilakukan secara sadar
untuk mengembangkan potensi peserta didik ke arah lebih maksimal.
Keberhasilan sebuah pendidikan akan semakin
dipertanyakan jika produk yang lahir dari praktik kehidupan peserta didiknya
lebih banyak didasarkan pada kebiasaan, bukan kesadaran mandiri rasional.
Dengan nalar akademik di atas, kebutuhan terhadap penciptaan nilai kebajikan (virtues)
dan spiritualitas akan mudah dipenuhi.
Atas dasar di atas, peringatan Hardiknas kali ini
harus dijadikan sebagai momen penting untuk memikirkan ulang persiapan
pelaksanaan atas desain baru pendidikan melalui Kurikulum 2013.
Akh.
Muzakki ;
Ketua PW LP Ma’arif NU Jatim, Anggota
Dewan Pendidikan Jatim, Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
KORAN SINDO, 02 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi