Sebentar lagi kita akan memperingati hari kelahiran
Pancasila, yakni setiap tanggal 1 Juni. Peringatan ini memang sudah menjadi
ritual. Pancasila dipandang sebagai naskah terbaik yang pernah disusun dan
disetujui oleh para pendiri bangsa, serta dipercaya bisa menaungi keindonesiaan
yang merdeka. Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Dengan Pancasila,
Indonesia diselimuti seluruh masa lalu, masa sekarang, dan masa depannya.
Hanya, ada apa dengan Pancasila sekarang, ketika semua orang
bebas beropini? Bagaimana dengan modal-modal raksasa yang tak terkendali lagi.
Dalam hal persatuan, ada kegamangan sejumlah daerah akan menjadi negara
terpisah.
Pancasila sebetulnya mengandung semua isme yang pernah hidup
di Indonesia. Isme pertama adalah teisme, yakni ketuhanan. Isme kedua adalah
humanisme. Isme ketiga adalah nasionalisme. Isme keempat adalah demokrasi
partikular berdasarkan musyawarah, bukan demokrasi universal yang ultra
liberal. Isme kelima adalah sosialisme yang terkait dengan isme-isme yang lain.
Cara membaca kelima isme itu tentulah tidak dalam satu isme terpisah, melainkan
saling mempengaruhi. Demokrasi kita, misalnya, banyak mengambil dari
kitab-kitab suci agama.
Indonesia dibalut oleh kelima isme itu. Filsafat politik,
misalnya, dipengaruhi oleh kelima isme itu. Partai-partai politik, memberi
warna pada masing-masing sila dalam Pancasila, baik dari sisi ketuhanan,
nasionalisme, sampai ide-ide keadilan sosial seperti jaminan sosial. Hak-hak
asasi manusia sungguh dihormati, diberikan landasan konstitusional dan hukum
sehingga tak satu pun manusia di Indonesia boleh mengalami ketakutan akibat
eksploitasi manusia lain.
Masalahnya sekarang, di mana Pancasila? Sudahkah jadi alam
pikiran para pengambil kebijakan? Atau hanya naskah yang dibaca dalam setiap
upacara bendera? Jangan-jangan, bahkan, tidak lagi menjadi hafalan banyak
orang. Pancasila bukan lagi naskah yang layak jadi bahan perdebatan, sebagai
doktrin tertinggi bangsa dan negara Indonesia.
Kita tentu tidak ingin seperti itu. Sudah selayaknya Pancasila
jadi bahan yang terus didengungkan sebagai barometer kehidupan bangsa Indonesia
di segala bidang. Sudahkah pembangunan ekonomi kita berpihak kepada
kemanusiaan? Bagaimana dengan sistem upah bagi pekerja, apakah mencerminkan
filosofi keadilan sosial antara majikan dengan pekerja? Bolehkah ada gangguan
terhadap penganut suatu prinsip ketuhanan, hanya karena berbeda dalam hal
tertentu?
Pada titik ini, saya cenderung menganjurkan para
penyelenggara negara, termasuk calon-calon penyelenggara negara, untuk
berjibaku dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Sudah pada
ghalibnya kita mengutip dalam pidato, pandangan politik, visi dan misi, program
kerja, sampai coretan di dalam spanduk. Kalau pun, katakanlah, negara ini
dianggap kehilangan pemimpin, menghadapi situasi auto pilot, bukankah cita-cita
keindonesiaan bisa terus dituju ketika sistem nilai kebangsaan kita sudah
tertabur dalam diri warga?
Sebagai bangsa yang sedang berlayar di tengah samudera raya
pergulatan antar negara, Pancasila bisa menjadi pembeda. Tak perlu ada
keseragaman dalam pilihan kebijakan. Kita jangan lagi terlalu mudah
diombang-ambingkan dengan pilihan-pilihan kesetaraan dan kesejajaran, ketika
kebijakan yang dipilih adalah mengadu antara seekor naga dengan seeekor cacing.
Kalau memang kita hanya dan baru sanggup mencapai indeks tertentu dengan tenaga
sendiri, untuk apa menghancurkan cita-cita kemanusiaan yang termaktub dalam
Pancasila yang pada prinsipnya memang berbeda?
Perlindungan terhadap kehidupan manusia-manusia Indonesia
adalah prinsip ke-Pancasila-an hari ini. Mari terus berikhtiar untuk menjadi
seorang yang Pancasilais.
Indra J Piliang ;
Ketua Balitbang DPP Partai Golkar
SUARA
KARYA, 06 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi