Ki Hadjar Dewantara sebagai anggota BPUPKI
merumuskan Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945: ”Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional”. Pasal 31
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen pada hakikatnya sama, hanya perkataan”satu
sistem pengajaran nasional” diamandemen menjadi ”satu sistem
pendidikan nasional”. Pada kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hadjar
Dewantara ditunjuk memimpin Kementerian Pengajaran sebagai menteri.
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa (1922)
sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan
pendidikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat tertib, damai, bahagia,
tangguh, dan berjaya.
Sejarah dunia mencatat, di tengah penjajahan
kolonial, sekolah Tamansiswa mengajarkan kepada rakyat terjajah agar melawan
penjajah untuk meraih kemerdekaan. Gubernur Jenderal mengeluarkan ordonansi
melarang sekolah liar. Tamansiswa termasuk yang dianggap liar. Pergerakan
nasional melawan keras ordonansi itu. Ordonansi dicabut!
Darurat
Nasional
Tersurat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Indonesia merdeka mengemban doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan.
Artinya, kebangsaan (nasionalisme) dan kerakyatan (pakem takhta untuk rakyat)
harus mengambil perannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Lunturnya nasionalisme saat ini adalah darurat
nasional. Kita lengah membedakan antara ”pembangunan Indonesia” dan sekadar
”pembangunan di Indonesia”. Kita menempatkan diri hanya sebagai ”penonton
pembangunan” di negeri sendiri. Paham kerakyatan yang meluntur membuat kita
cuek ketika pembangunan menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan.
Saya menulis di Kompas terbitan 29 Agustus 2012
tentang seorang ekonom di sekitar Presiden yang meremehkan nasionalisme. Ia
barangkali termakan skenario global, neocortical warfare, dalam
diktum-diktum miring the end of nation-states, the borderless world,
dan the end of history. Dia mengatakan, ”Apa itu
nasionalisme, kuno itu, masukin saja ke saku”.
Mengapa ekonom ini tidak malu dan tidak mau tahu
bahwa nasionalisme adalah kedaulatan bernegara yang tak pernah menjadi kuno
atau usang?
Jika yang dikatakan Bung Karno dan Bung Hatta tidak
dipahami dan dikatakan kuno, hal tersebut disebabkan sejarah perjuangan bangsa
makin diabaikan pendidikan nasional kita. Pembelaan Bung Karno di Pengadilan
Bandung, Indonesië Klaagt-Aan ”Indonesia Menggugat” (1930);
dan pembelaan Bung Hatta di Pengadilan Den Haag, Indonesië Vrij ”Indonesia
Merdeka” (1926), tidak akan usang.
Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar
Dewantara, menegaskan (1928), ”... Pengajaran harus bersifat
kebangsaan.... Kalau pengajaran bagi anak-anak tidak berdasarkan kenasionalan,
anak-anak tidak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama terpisah
dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita....” Kunokah
ini?
Servilisme kaum intelektual kita barangkali perlu
digugah dengan mengutip pendapat kontemporer (abad ke-21) orang-orang Barat
berikut ini.
Leah Greenfeld (2001): ”Pertumbuhan
perekonomian modern hanya akan berkesinambungan justru jika didorong dan
ditopang nasionalisme.”
Ian Lustic (2002): ”Nasionalisme merupakan
suatu kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya di dunia masa kini.”
Perkataan ”satu sistem pendidikan nasional” dalam
Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 dapat diartikan, kurikulum pendidikan
nasional kita adalah satu bagi seluruh bangsa untuk memperkukuh satu
kenasionalan dari keberagamannya yang sangat kaya. Kurikulum pendidikan
nasional harus membentuk pola-pikir ”ketunggalikaan” di dalam
realitas kebinekaan Indonesia sebagai aset nasional. Bila tidak, ”persatuan” hanya
akan bermakna ”persatéan”.
Kurikulum pendidikan nasional kita wajib membentuk
dinamika konvergensi nasional, memperkukuh kohesi nasional. Pada tahun 1997,
Menteri Pendidikan Malaysia Najib Razak menyampaikan kepada Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional kita, ”Malaysia negara federal, tetapi pendidikan
dilakukan tersentralisasi untuk menjamin mutu dan isi yang satu bagi seluruh
bangsa.” Indonesia terjebak ketidakterampilan plus lengah misi.
Budaya
Bernalar
Adalah terburu-buru menolak ujian nasional (UN)
karena dikatakan merusak budaya bernalar. Apabila pelaksanaan UN tidak ”gagal”,
pastilah tuntutan menghapus UN tidak akan berlebihan sekeras ini. Keputusan
Mahkamah Agung (2008) yang melarang pemerintah menyelenggarakan UN tentulah
keliru karena tidak memahami misi nasional.
Gagalnya pelaksanaan UN memang tanggung jawab
menteri, dan menteri memberi contoh keteladanan mendidik dalam ”berani
memikul tanggung jawabnya”.
Namun, orang bertanya, mengapa para akademisi di
Badan Standardisasi Pendidikan Nasional dan Balitbang tidak mengaku salah pula?
Presiden menggunakan kata keras ”investigasi”, berarti menduga
keras telah terjadi penyusupan kepentingan atau sabotase.
Sejak tahun 1961 marak sistem ujian dengan pilihan
ganda, maka sejak itu pula diawali perusakan terhadap budaya bernalar,
berkomunikasi, dan berkreasi dalam menghadapi dinamika tantangan zaman.
Budaya bernalar adalah salah satu tuntutan. Nalar
tidak universal, tidak bebas-nilai. Neutrality of science atau die
Wertfreiheit der Wissenschaft sudah lama ditolak. Ada nalar Indonesia,
ada nalar Barat. Tuntutan fundamental lain dalam bernegara adalah bercita-cita,
bermimpi bersama mendesain keindonesiaan masa depan, serta berdasarkan
konsensus kebangsaan dan kerakyatan.
Nalar menempel pada mimpi nasional yang tidak boleh
diabaikan oleh pendidikan nasional. Bahkan, Sejarah dan Ilmu Bumi untuk
menumbuhkan keindonesiaan diabaikan. Legiun Veteran Republik Indonesia
melayangkan teguran kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi tidak
ditanggapi.
Materi ujian serta mutu pendidikan dan pengajaran
di ruang-ruang kelas memang harus ditingkatkan supaya substansinya relevan dan
terarah. Menghapuskan UN sebagai standar membentuk pola pikir nasional
merupakan kesalahan fatal. Bagaimana agar guru-guru dan oknum-oknum Dinas
Pendidikan tidak membohongi diri, tidak menjual kunci jawaban UN, adalah soal
lain lagi.
Menipis
Bonus demografi akibat membesarnya jumlah penduduk
usia produktif hingga tahun 2030 dan membengkaknya kelas menengah yang
dibanggakan sejumlah kalangan tidak akan merupakan ”bonus” apabila mereka
berperilaku lebih konsumtif daripada produktif, lebih menyukai barang-barang
impor daripada produk-produk dalam negeri.
Kepekaan anak-anak muda kita terhadap kebanggaan
dan kepentingan nasional pun menipis tatkala pendidikan membiarkan
”modernisasi” direduksi menjadi ”westernisasi”.
Tanpa nasionalisme, kecerdasan otak tidak menjadi
pendorong untuk mengangkat harkat kita dari keterjerumusan sebagai jongos
globalisasi, tidak akan mampu merasakan bahwa restoran-restoran asing, mal-mal,
dan supermarket-supermarket serba asing melumpuhkan dan memiskinkan usaha-usaha
anak negeri.
Perkembangan demografi tidak akan menjadi bonus,
tetapi menjadi lawan keindonesiaan yang ditakuti Ki Hadjar Dewantara.
Sri-Edi
Swasono ;
Guru Besar Universitas Indonesia;
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS, 02 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi