Di dunia
ini ada beragam pandangan tentang perubahan iklim. Seperti biasa, setiap aliran
selalu ada antinya. Jadi ada yang percaya (bahwa iklim itu terus berubah) dan
ada pula yang meragukannya.
Negara-negara
kepulauan yang nyaris tenggelam akibat es mencair di Kutub Utara, mau tak mau
mempercayainya. Vanuatu dan Maladewa misalnya praktis hidup dalam ancaman.
Demikian pula negara-negara Skandinavia yang dekat dengan Kutub Utara. Mantan
Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar bercerita, bagaimana ia dibuat
percaya oleh negaranegara Skandinavia yang berhubungan langsung dengan
perubahan tersebut, “Saya diajak Menteri Lingkungan Hidup Swedia,
menumpang pesawat, lalu naik helikopter, dan dari situ kami naik kereta es yang
ditarik puluhan ekor anjing melewati jalan es. Setiba di suatu tempat kami
menyaksikan sendiri bagaimana gumpalangumpalan raksasa es mencair. “Ia percaya,
orang-orang yang tidak sempat melihat hal itu, umumnya sulit mempercayaiadanya
perubahaniklim.”
Satu Bumi Dua Populasi
Hari
Senin yang lalu saya diundang Prof Emil Salim bertemu di Kantor Wantimpres. Ia
bertanya, “Why climate change school?” Wibawa Prof Emil yang kritis, namun
selalu friendly membuat saya harus berpikir ekstrakeras. Rupanya, selain
climate change, yang ia pikirkanadalahmasalah sustainable development. Ia
percaya, segala sesuatu yang “berlebihan” (excessive) telah terjadi di atas
muka bumi ini.
Konsumsi
berlebihan yang dilakukan penduduk membuat bumi ini rusak berat. Bumi yang
seharusnya hanya mampu menampung 4,5 miliar penduduk sekarang telah dihuni
lebih dari 7,5 miliar. Ini berarti satu bumi dihuni oleh penduduk yang
seharusnya menghuni dua bumi. Lalu setelah itu begitu cepat menjadi 12 miliar
dan 15 miliar jiwa.
Manusia
yang berlebih juga mengambil lebih banyak, lalu membuang segala limbahnya ke
dalam sungai-sungai yang semasa kita kecil dialiri air yang bening. Dari air
bening beralih kecokelat- cokelatan dan kehitamhitaman. Segala yang dulu di
sungai memberi kita kehidupan pun mati perlahan-lahan. Kerang-kerang sungai
yang betapa nikmatnya itu kini pun lenyap.
Kita
telah berkegiatan ekonomi dengan membebankan “cost”-nya kepada bumi yang
membuat bumi menjadi lebih panas dan terjadilah bencana-bencana yang tak kita
inginkan. Belum lama ini beredar tomcat, hama tikus yang menyerang petani
secara besar-besaran, dan ulat bulu dalam jumlah yang mengerikan. Kita telah
menggunakan pestisida secara berlebihan sehingga membunuh segalanya yang
menjaga alam, termasuk predator-predator pemangsa predator.
Alam
menjadi tidak stabil. Maka itu, Prof Emil melihat pentingnya “sustainable
development” yang menyangkut tiga area: economic development, social
development, dan ecological development. Selama ini kita memang lebih banyak
bicara tentang ecological development ketimbang kedua elemen lainnya. Kita
lebih banyak melakukan pengerukan kekayaan bumi ketimbang memperkayanya.
Padahal
kita hidup di garis khatulistiwa dengan kelembaban yang tinggi, di atas gugusan
pulau-pulau dengan jangkauan terluas dengan gunung merapi terbanyak di dunia.
Biodiversity yang begitu kaya dengan alternatif kehidupan yang luar biasa. Alam
ini kita eksploitasi, bukan kita perkaya. Ketika bangsabangsa di Barat
mengeluarkan biaya riset jutaan dolar untuk menemukan obat-obatan kimia, alam
kita justru menyediakan secara cuma-cuma.
Tak jauh
dari lokasi Rumah Perubahan yang berada di tengah-tengah perkampungan saya
sering melihat seorang pemuda yang membuka usaha pengobatan dengan menggunakan
lintah (pacet). Kuli-kuli bangunan dan orang kampung percaya bahwa lintah bisa
mengurangi pegal-pegal dan sakit-sakit tertentu. Namun, belakangan pemuda itu
menghentikan usahanya hanya karena kesulitan mendapatkan lintah.
Minggu
ini saya mendapat kabar dari Prof Emil bahwa bisa yang dikeluarkan
lintah-lintah jenis tertentu ternyata mampu menyembuhkan penyakit vertigo. Bisa
itu dapat mengencerkan darah yang mengental. Itu kajian dari sebuah
laboratorium besar. Saya bahkan dengar di pedalaman Kalimantan dan Sumatera,
lintah telah lama digunakan untuk pengobatan tradisional.
Empat Mazhab
Belakangan
ini Rumah Perubahan tengah menjalankan sebuah misi yaitu bagaimana menanamkan
kepada kaum muda tentang perlunya merawat bumi. Kegiatan yang kami lakukan
masih belum besar, tetapi mengarah menjadi School of Climate Change and
Sustainable Development. Sungai-sungai kami bersihkan, airnya ditata, biogas
diolah, digabung dengan limbah tempe, dan kami menjaga keseimbangan ekologi.
Kalau ada
kegiatan ekonominya, ini insentif yang bisa menggerakkan masyarakat. Di dunia
ini ada empat mazhab mengenai perubahan iklim. Mazhab pertama menyatakan kita
tengah memasuki abad es yang mencair, yang kedua menyangkut peningkatan suhu
bumi. Yang ketiga, percaya tidak ada perubahan iklim (didasarkan data
historis).
Yang
terakhir adalah mazhab agnostic. Secara garis besar sebenarnya dapat dibagi dua
saja yaitu mereka yang percaya ada perubahan iklim dan selebihnya tidak. Itu
saja. Namun, apa pun mazhabnya, bumi kali ini tengah dilanda sebuah masalah
yaitu ledakan penduduk dan eksploitasi yang berlebihan. Kalau Indonesia ingin
maju, kita tentu perlu berpikir sebaliknya yaitu memperkaya bumi, bukan
menghancurkannya.
Rhenald
Kasali ;
Ketua Program MM UI
KORAN SINDO, 16 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi