MENDIKBUD
M Nuh telah memenuhi janjinya pada 13 Mei lalu mengumumkan penyebab kisruh
dalam ujian nasional (UN). Dia menyebut, selain manajemen internal yang kurang
sinergis dan kemenipisan sense of crisis, kisruh itu dipicu oleh
ketidaksensitifan Kemenkeu bahwa momentum itu adalah hal yang sangat penting
dan perlu kesiapan matang dalam waktu relatif panjang.
Ia juga
mengungkapkan waktu pencairan dana sangat mepet, hanya sekitar 2 bulan, padahal
seharusnya lebih awal supaya langkah persiapannya bisa lebih baik. Terkait
dengan masalah manajemen internal, ia mempersoalkan waktu penyerahan naskah
soal yang sangat mepet ke percetakan.
Dalam
kasus itu, tentu yang paling terkena adalah Kepala Balitbang Kemendikbud
Khairil Anwar Notodiputro. Itulah sebabnya, ia memilih mengundurkan diri dari
jabatan. Tapi banyak pihak merasa tak puas atas hasil investigasi tersebut,
karena tidak sedikit dari mereka berharap hasil dari investigasi itu adalah
Mendikbud harus dinyatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab.
Paling
tidak harapan itu bisa dirunut dari beberapa pendidik yang menyatakan bahwa
sangat tidak pantas ketika kisruh itu terjadi. Itu sebabnya, Khairil Anwar
dianggap sebagai tumbal. Hal itu bisa dimaklumi, mengingat pada era M Nuh
tuntutan pada pendidikan sangat tinggi sehingga tidak ada tempat bagi tenaga
pendidik yang santai dan bermalas-malasan. Maka, ketika momentum ada, hal itu
adalah celah besar untuk menyerang sang Menteri.
Terlepas
dari persoalan hasil invertigasi yang membuat Khiaril Anwar harus lengser, UN
yang selama ini dianggap sebagai tolok ukur kebermutuan pendidikan memang harus
dievaluasi. Hal itu mengingat kengototan terhadap penyelenggaraaan ujian secara
tidak langsung telah menganggap pembinaan yang semestinya jadi tolok ukur,
sebagai sesuatu yang tidak berguna selain sebagai tuntutan administrasi yang
diamanatkan perundang-undangan. Pembinaan dimaksud tidak lain adalah
akreditasi.
Dengan
kata lain, jika UN masih dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur mutu
pendidikan, akreditasi tak banyak mendatangkan kemaslahatan. Sementara untuk
akreditasi pun diperlukan dukungan sumber dana dan SDM unggul. Bila sebuah
sekolah telah memiliki dua dukungan itu dan kemudian dari proses akreditasi,
semisal memperoleh A, pertanyaannya adalah apa nilai A itu jika kemudian
dipenggal secara membabi-buta dan disamakan dengan sekolah yang akreditasinya
di bawah A, menjadi malah tidak terakreditasi sama sekali.
Sebuah
sekolah mencapai akreditasi A tentu berdasarkan penilaian seksama oleh para
assessor. Seharusnya nilai A sangat terkait dengan mutu. Lantas, jika masih
diujinasionalkan, apa makna hasil akreditasi itu. Sebaiknya UN diperuntukkan
bagi sekolah yang tidak berakreditasi, baik negeri maupun swasta, sebagai
pelecut agar mau meningkatkan mutu. Hal itu, tentu lebih masuk akal, atau sama
sekali tak ada akreditasi agar semua sekolah ditentukan lewat satu tolok ukur
tunggal, yaitu UN.
Pengawasan Baik
Itu jika
bangsa ini akan dikelola dengan pola nalar yang logis, mengingat sudah ada
akreditasi, tapi juga ada ujian nasional, dan ini nalar yang tidak logis.
Paling tidak ketidaklogisan itu ada pada akreditasi itu, karena terbukti tidak
mendatangkan manfaat. Untuk ukuran kepercayaan, sama-sama tidak dipercaya
lantaran masih ’’dirampas’’ oleh ujian nasional. Makin terlihat tidak logis
ketika murid SD/ MI harus menempuh ujian nasional, seperti siswa SMP/ MTs dan
SMA/ MA.
Bagi para
siswa, penyelenggaraan ujian nasional, selain mengabaikan akreditasi juga
berlawanan dengan peraturan yang menetapkan Wajib Belajar (wajar) 9 Tahun.
Bagaimana bisa 9 tahun itu berjalan dengan baik, jika akan melangkah ke level 7
saja sudah diganjal ujian nasional.
Seharusnya,
sesuai namanya, siswa tidak perlu ada hambatan ke jenjang level 7 mengingat itu
kemauan negara. Realitasnya malah sebaliknya, negara bernafsu untuk memenggal
harapan mereka. Tidak usahlah mempersoalan akreditasi yang memang telah membuat
nalar pendidikan tidak logis, sesuatu yang wajib saja masih dikesampingkan.
Berkaitan
masalah itu, tak ada pilihan lain, kecuali harus melogiskan cara pandang
pengambil kebijakan pendidikan. Jika akreditasi akan dikedepan, tentu tidak
perlu menyelenggarakan UN. Kecuali sebaliknya yang lebih penting akreditasi
menjadi sesuatu yang tidak wajib. Hanya, jika pilihan jatuh kepada akreditasi,
tentu harus ada pengawasan yang baik.
Para
penilik juga harus idealis, semata-mata demi kebaikan mutu pendidikan. Bukan
seperti selama ini, banyak penilik datang pada akhir bulan sekadar mencari
’’gizi’’ tambahan, dan ketika sudah dikasih amplop, tidak lagi bertanya soal
pendidikan. Selain ujian nasional untuk pendidikan dasar, baik dilihat
dari kacamata akreditasi maupun keberlanjutan Wajar 9 Tahun, memang harus
segera diakhiri.
Di
samping tidak sejalan dengan logika wajar dan akreditasi, itu hanya
meneguhkan otoritarianisme pemerintah.
Laksmi
Widajanti ;
Dosen Bagian Gizi Fakultas Kesehatan
Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 16 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi