Gagasan
Berbagi dalam Pendidikan 2.0
PADA Era Industri di abad yang lampau, dunia
bisnis berkompetisi satu sama lain. Satu industri berkompetisi untuk
mengalahkan industri pesaingnya.
Untuk dapat bertahan, industri pesaing harus
dikalahkan. Itulah pakem dalam dunia industri masa itu. Lalu, apakah sifat
berkompetisi masih sesuai dengan masa kini? Lebih penting lagi, apakah sikap
berkompetisi itu sejalan dengan dunia pendidikan masa modern ini? Jika diamati,
kehidupan di dunia global masa modern ini sangat berbeda.
Saat ini kehidupan menuntut manusianya
semakin bijak. Manusia modern dituntut memanfaatkan jagat semesta untuk
diwariskan dalam bentuk yang baik bagi generasi mendatang. Greed atau
keserakahan yang kerap mendasari kehidupan era terdahulu telah digantikan
gagasan berbagi di era saat ini.
Kompetisi
Sudah Kuno
Apakah inovasi Google dan Facebook dipicu
kompetisi? Tidak, inovasi keduanya lahir sama sekali bukan dipicu kompetisi
atau semangat ingin mengalahkan pesaing. Google diciptakan pada saat belum ada
mesin pencari. Jadi, belum punya pesaing. Google dibuat pertama kali dengan
tujuan memudahkan orang dalam menggali informasi di internet.
Facebook diciptakan mulanya hanya untuk
memudahkan mahasiswa berbagi rujukan atau referensi dalam penulisan tugas.
Jadi, inovasi dua perusahaan modern itu dipicu gagasan berbagi. Inovasi modern
lain yang fenomenal seperti Youtube, Dropbox, TEDx, Khan Academy, Udacity, dan
banyak lainnya juga dipicu gagasan berbagi.
Seorang guru besar dari Universitas Stanford,
Sebastian Thrun, beberapa bulan lalu mengundurkan diri dari Stanford dan
memutuskan mengembangkan Udacity, yang menyediakan perkuliahan gratis secara
online. Dalam situs pribadinya, dia menegaskan pendidikan bermutu harus dapat
dirasakan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Salman Khan pun keluar dari pekerjaannya di
Wall Street untuk membangun pendidikan gratis bagi semua melalui Khan
Academy-nya. Itu semua menunjukkan gagasan berbagi benar-benar sudah menjadi
pakem paling penting di kehidupan modern ini.
Sebaliknya, semangat mengalahkan orang lain
sudah sangat kuno. Dalam filmnya, An Inconvenient Truth, Al Gore menyindir
pemerintahan masa modern yang sering menerapkan old habits plus new technology.
Sikap serakah mengeksploitasi alam, gemar berperang, dan kompetisi untuk
mengalahkan orang lain yang subur di masa lalu, jika diterapkan sekarang dengan
menggunakan teknologi modern, dampaknya akan luar biasa. Jika skala dampak
perilaku kuno itu dahulu kecil, dengan teknologi atau senjata modern sekarang
ini, dampaknya dahsyat dan sangat sulit dikoreksi.
Jika Indonesia dahulu selalu dibanggakan
dalam sifat gotong royongnya, kenyataan yang tumbuh subur saat ini justru
semangat individualistis untuk mengalahkan orang lain. Mungkin dalam olahraga,
spirit mengalahkan orang lain itu wajar. Namun dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari, gagasan berbagi jauh lebih dibutuhkan bangsa ini.
Pada masa lalu, semangat kompetisi telah
disisipkan dalam dunia pendidikan. Sampai-sampai bagi sebagian besar orang,
kompetisi itu sudah dianggap normal. Keadaan kompetensi satu anak diadu dengan
anak lain dianggap normal. Produktivitas satu guru diadu dengan guru lainnya
juga dianggap normal.
Itu mirip dengan adu jangkrik. Jangkrik yang
kalah dibuang. Sangat mungkin, cara pandang seperti itu disebabkan
menganalogikan sekolah dengan pabrik. Kalau sebuah pabrik hendak memproduksi
kursi, kayu yang tak memenuhi standar tentu dibuang.
Namun, pantaskah analogi tersebut diterapkan
dalam dunia pendidikan? Pendidikan tidak berhadapan dengan benda mati, tetapi
manusia. Sungguh tak manusiawi melabel satu anak manusia sebagai apkiran/produk
gagal dalam proses pendidikan, walaupun dia tak mencapai standar kompetensi
yang diharapkan. Perlu dicatat, pendidikan umum sangat berbeda dengan pelatihan
atau ujian profesi.
Pendidikan
2.0
Pengelolaan pendidikan yang meniru cara
mengelola pabrik pada Era Industri -kita sebut saja Pendidikan
1.0--mengidealkan lulusan yang memiliki kompetensi seragam. Saat itu pendidikan
memang dituntut untuk menghasilkan buruh yang patuh dan berketerampilan seragam
yang diperlukan pabrik. Jadi, semangat kompetisi merupakan gagasan yang cocok
saat itu. Keinginan buruh bekerja keras dengan berkompetisi tentunya juga
sangat menyenangkan pabrik. Lulusan pendidikan yang kreatif dan pemikir kritis
tak dibutuhkan pada masa itu.
Kemudian, Pendidikan 1.0 yang mendewakan
budaya kompetisi membenarkan upaya memacu siswa agar belajar keras dengan cara
mengadu satu siswa dengan siswa lainnya. Indikator numerik seperti nilai ujian
secara sempit menjadi tolok ukur tunggal yang digunakan untuk mengevaluasi
siswa.
Dampaknya, satu siswa biasa berusaha
mengalahkan siswa lain dalam indikator tersebut. Sudah sangat biasa kita amati
seorang siswa kita tidak mau membantu temannya karena takut nilainya dikalahkan
temannya itu. Itulah sikap yang tumbuh di Pendidikan 1.0.
Namun, pendidikan di era sekarang yang
disebut Pendidikan 2.0 sangat berbeda. Pendidikan 2.0 tidak meletakkan
kompetisi sebagai nilai yang paling penting. Semangat mengalahkan orang lain
sudah diganti dengan gagasan berbagi. Dalam kaitan ini, jika dimaknai sebagai
suatu proses rekayasa sosial dalam upaya menawarkan gagasan alternatif bagi
masyarakat, pendidikan berperan sangat penting dalam pengembangan kebudayaan. Khususnya,
jika budaya berkompetisi serta sifat individualistis dan nafsu mengalahkan
orang lain sekarang bertumbuh subur di masyarakat, itu merupakan tugas
Pendidikan 2.0 untuk menawarkan gagasan alternatif. Gagasan alternatif yang
ditawarkan Pendidikan 2.0 ialah budaya berbagi.
Sekolah
di Era Berbagi
Tugas guru di Pendidikan 2.0 ialah mengajak
semua siswa terlibat dalam kegiatan belajar. Kata `semua' di sini berarti bahwa
dari siswa yang paling pandai sampai yang paling lemah atau yang paling enggan
belajar pun harus menjadi berhasrat terlibat pembelajaran.
Permasalahan muncul jika kompetisi digunakan
dalam pembelajaran. Siswa yang pandai dalam mata pelajaran tertentu itu memang
akan terlibat. Namun, bagaimana dengan siswa lemah dan yang sudah enggan belajar?
Sangat wajar jika siswa-siswa lemah akan bereaksi menjadi pasif dan tak
berminat terlibat aktif dalam kelas yang bernorma kompetisi.
Kalau suasana kompetisi antarindividu seperti
itu dipaksakan di dalam kelas, siswa lemah akan semakin enggan belajar dan
mereka akan semakin jauh tertinggal. Dampaknya, siswa-siswa tersebut akan
menjadi pasif atau malah bereaksi dengan mengganggu kelas. Itu reaksi yang
manusiawi untuk survive atau bertahan. Apakah tidak ada siswa lemah yang
menjadi giat belajar karena iklim kompetitif? Mungkin saja ada, tetapi
peluangnya sangat kecil. Umumnya, mereka akan semakin tidak ingin terlibat
dalam pembelajaran.
Lalu, apakah memang tidak boleh sama sekali
menggunakan suasana kompetisi dalam kelas? Jika kompetisi yang dimaksud ialah
kompetisi antarindividu, sebaiknya tidak. Namun, kompetisi antarkelompok itu
baik. Keadaan psikologis individu dan kelompok dalam menghadapi suasana
kompetisi sangat berbeda. Terutama, sangat berbeda pada siswa yang sudah enggan
belajar.
Akan tetapi, walaupun sikap kompetisi mungkin
saja punya sisi positif dalam pendidikan di era sekarang, sikap sekaligus
karakter berbagi tetap jauh lebih relevan dan mulia jika dibandingkan dengan
semangat mengalahkan orang lain. Pendidikan 2.0 perlu mengirimkan pesan ke
masyarakat kita bahwa gagasan berbagi itu prinsip utama dalam era modern ini.
Pesan ini antara lain dapat dicetuskan
melalui sebuah sistem rubrik yang secara tegas meletakkan sikap membantu orang
lain sebagai nilai termulia dan paling dihargai di sekolah.
Misalnya, sekolah dapat menetapkan nilai C
untuk siswa yang memenuhi standar minimum, nilai B untuk siswa yang melebihi
standar minimum, dan A untuk siswa yang sudah melebihi standar minimum dan
berhasil mengajar siswa lain yang tadinya bernilai D menjadi C. Dengan sistem
rubrik seperti itu, pesan kita sebagai Guru 2.0 sangat jelas, semangat
kolaborasi dan membantu orang lain ialah sikap paling mulia. Pendidikan 2.0
bertanggung jawab menyuburkan budaya berbagi untuk bangsa.
Iwan Pranoto
Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Sumber :
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2012