SMK:
Antara Harapan dan Fakta
Pemerintah akan menambah jumlah sekolah kejuruan
(SMK). Sebagaimana dilaporkan (Koran Tempo, Senin, 18 Juni 2012), jumlah
sekolah kejuruan ini akan ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
dunia industri. Targetnya, proporsi sekolah kejuruan dan sekolah umum kelak
akan menjadi 60 persen berbanding 40 persen. Adapun saat ini proporsinya baru
46 persen berbanding 54 persen. Sebuah data lain menginformasikan bahwa, pada
2015, proporsinya menjadi 50:50, dan ditargetkan proporsinya menjadi 70:30 pada
2025 nanti.
Perluasan akses ke sekolah kejuruan merupakan
pilihan kebijakan yang umumnya diambil oleh negara-negara sedang berkembang.
Tujuannya untuk memperbaiki pasar tenaga kerja. Tetapi hasilnya tidak selalu
seperti yang diharapkan. Dalam kasus Tanzania (pada 1960-an) dan Korea Selatan
(30 tahun kemudian), kebijakan itu gagal mencapai target. Orang tua lebih
memilih sekolah umum ketimbang sekolah kejuruan di Indonesia. Orang tua dengan
pendidikan yang lebih baik lebih suka sekolah umum swasta. Dan anak-anak dengan
nilai ujian yang lebih baik lebih suka memilih sekolah umum negeri (David
Newhouse and Daniel Suryadarma, 2011).
Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa jumlah
peminat sekolah kejuruan mengalami penurunan. Hal itu terjadi mungkin karena
keterampilan yang diajarkan di sekolah kejuruan jauh lebih cepat ketinggalan
zaman ketimbang keterampilan lulusan sekolah umum. Keterampilan sekolah
kejuruan membuat para lulusannya lebih cepat mendapatkan pekerjaan, tetapi lulusan
sekolah umum lebih mudah meningkatkan atau memperbaiki keterampilan kerja
mereka untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada.
Tambahan pula, dibandingkan dengan sekolah umum,
sekolah kejuruan lebih mahal. Sekolah kejuruan membutuhkan peralatan mengajar
yang lebih kompleks. Biaya sekolah kejuruan 28 persen lebih tinggi daripada
sekolah umum. Namun, tampaknya, pemerintah Indonesia tidak terpengaruh oleh
pengalaman dan fakta di atas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkukuh
untuk meneruskan kebijakan itu dan mengubah beberapa sekolah umum menjadi
sekolah kejuruan, walaupun tidak banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah
kejuruan bisa memperbaiki pasar tenaga kerja.
Diskusi
Publik
Hasil penelitian di atas tampaknya
mengonfirmasikan pandangan yang umum berkembang di masyarakat dan di kalangan
pakar. D.A. Tisna Amidjaja (1991), mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, mengatakan
bahwa bertambahnya angka pengangguran merupakan satu masalah yang tidak mungkin
dapat dipecahkan hanya dengan penambahan pendidikan kejuruan. Dengan mengutip
pendapat umum, ia merekomendasikan agar pendidikan menengah memberikan
pendidikan umum yang dijadikan “landasan bagi berbagai tipe pendidikan
pasca-menengah yang lebih berspesialisasi”. Itu dimaksudkan agar “spesialisasi
tidak dimulai terlalu dini dan tidak terjadi sebelum dimantapkannya suatu basis
minimal”.
Dalam konteks yang agak berbeda, Mochtar Buchori
(1995) berbicara tentang spesialisasi yang terlalu dini. Ia mengatakan hal ini
ketika menyinggung soal penjurusan di sekolah menengah umum. Penjurusan yang
terlalu dini menyebabkan apa yang disebutnya sebagai kesenjangan komunikasi
intelektual di antara spesialisasi. Ia mengkritik kurangnya pelajaran sejarah
di kalangan siswa yang mengambil ilmu pengetahuan alam dan kurangnya pelajaran
matematika di kalangan mereka yang mengambil studi sosial. Kekurangan yang sama
sungguh terjadi di kalangan mereka yang mengambil sekolah kejuruan.
Hasil penelitian dan pandangan sejumlah pakar
pendidikan di atas tampaknya menegaskan kembali bahwa pendidikan harus
fleksibel. Keterampilan teknis tidak perlu terlalu ditekankan pada level
sekolah dasar dan menengah. Hutchins (1968) mengatakan bahwa keterampilan
teknis yang dipelajari di sekolah menengah cepat kedaluwarsa dalam masyarakat
teknologis yang berubah cepat.
Anderson (1966) mengatakan bahwa kebijakan untuk
memberikan latihan kejuruan pada level pendidikan dasar dan menengah itu tidak
bijaksana. Alih-alih menjadi terampil dan ahli, mereka malah membenci kegiatan
yang berorientasi praktis itu, yang sebetulnya penting. Latihan teknis pada
level sekolah menengah diberikan tanpa landasan ilmiah yang kukuh yang
mendasarinya. Satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah tenaga kerja adalah
memperbaiki kualitas pendidikan umum (general education) agar menghasilkan
lulusan yang fleksibel. Keterampilan teknis tidak dihasilkan di sekolah, tetapi
merupakan hasil dari latihan di tempat kerja.
John Dewey mengingatkan hal itu dalam bukunya
Democracy and Education (1964) sejak kurang-lebih seratus tahun yang lalu.
Filsuf pendidikan itu menemukan fenomena bahwa aspek kejuruan terlalu
ditekankan dalam pendidikan. Kebijakan kejuruan semacam itu berdampak lebih
jauh pada tercipta sekelompok manusia yang menjadi pekerja dan yang lain
menjadi tuan. Yang satu disuruh dan yang lain menyuruh. Hal ini tentu saja
tidak tepat dalam masyarakat dan negara yang demokratis. Kebijakan itu, menurut
dia, melanggengkan tatanan sosial lama.
Tentu saja, orang tidak harus setuju dengan Dewey
karena beranggapan bahwa kondisi masyarakat dewasa ini jauh berbeda. Tetapi
dengan melihat fakta bahwa kebijakan semacam itu tidak memberi solusi atas
masalah tenaga kerja kita, sebaiknya kebijakan itu didiskusikan secara luas.
Pemerintah tidak perlu mengambil keputusan tergesa-gesa. Keputusan tanpa
pertimbangan yang luas dan mendasar bisa akan membuang waktu, tenaga, dan
biaya, tetapi tidak memberi manfaat banyak. Diskusi publik yang luas mencegah
kita dari kesalahan yang berdampak jauh ke depan.
Penulis: Dion Pare
Peminat Masalah Pendidikan
Sumber :
KORAN TEMPO, 23 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi