Para pemuda yang bersumpah pada
28 Oktober 1928, bukanlah sembarangan pemuda. Mereka adalah pemuda sejati,
berakhlak mulia, pejuang tangguh, dan bertanggung jawab atas nasib bangsa ini.
Mereka dari berbagai pelosok tanah air yang berada di Jakarta pada waktu itu
berikrar; berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, dan
bertanah air satu tanah air Indonesia. Puncak kesadaran nasional para pemuda
saat itu, telah sampai pada satu tekad bulat, yang tak bisa ditawar lagi alias
harga mati. Yang kemudian berujung pada revolusi kemerdekaan dengan semboyan,
'merdeka atau mati'. Inilah akhir dari taruhan para pemuda berkarakter sehingga
melahirkan kemerdekaan yang kita nikmati sampai saat ini.
O... pemuda harapan bangsa! Kami
merindukan pemuda masa kini yang memiliki kualitas kepemudaan seperti mereka,
dulu. Masih adakah pemuda seperti itu di zaman sekarang? Mudah-mudahan masih
ada, walaupun zamannya sudah berubah. Jika dahulu mereka menentang penjajah
dengan ideologi dan senjata. Sekarang, pemuda menentang ketidak-adilan,
korupsi, dan kerusakan akhlak, dengan pengetahuan dan ilmu yang baik dan benar.
Tawuran antar-pelajar alias baku
hantam sampai ada yang terluka dan tewas, belum lama ini telah mencoreng nama
pemuda. Mereka yang kita harapkan kelak untuk mewarisi bangsa ini telah berbuat
aib di tengah masyarakat. Mereka saling mengejek, memaki, memukul dan melukai,
bahkan membunuh. Mereka ini adalah anak-anak sekolah setingkat SMP dan SMA yang
setiap hari dididik dan diajar di sekolah supaya menjadi manusia yang baik dan
benar. Bukankah pendidikan itu untuk memanusiakan manusia? Lantas kenapa mereka
berbuat yang tidak manusiawi? Jangan-jangan, ada yang salah dengan pendidikan
kita. Pendidikan dan pembelajaran sudah tidak berbanding lurus dengan
pembentukan akhlak dan karakter anak didik kita.
Apakah ada yang salah di antara
kita sebagai orangtua, guru, tokoh masyarakat, alim ulama, pejabat pemerintah,
polisi dan tentara, yang tidak sempat mendidik, membimbing, mengarahkan, dan
menasihati? Ataukah, kesalahan itu ada pada siswa itu sendiri? Barangkali
kurikulum pendidikan dan pembelajaran itu perlu ditinjau ulang untuk direvisi.
Pendidikan dan pembelajaran telah kehilangan muatan spiritualnya, hingga tak
punya akses pada akhlak atau karakter anak didik. Kurikulum pendidikan dan
pembelajaran yang sarat dengan muatan kognitif, dan sedikit muatan afektif dan
psikomotorik. Apakah ini akibat dari muatan ujian nasional (UN) yang 100 persen
kognitif?
Kalau seperti ini modelnya, maka
tipis harapan untuk mendapatkan pemuda harapan bangsa yang berkarakter. Dalam
hal ini, lingkungan orangtua, guru, dan masyarakat, yang paling bertanggung
jawab atas akhlak dan karakter pemuda. Di tangan mereka inilah, perilaku pemuda
dipertaruhkan. Di dalam teori perkembangan pribadi anak, tiga lingkungan ini
dianggap bertanggung jawab dalam pembentukan karakter dan akhlak. Dan, satu
lingkungan pendidikan lagi yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan
masyarakat adalah lingkungan 'maya', yang informasinya bisa menerebos sampai ke
kamar tidur dan kamar mandi. Para pemuda kita mengakses informasi tanpa batas,
di mana saja dan kapan saja. Lingkungan maya inilah yang paling dikhawatirkan.
Orangtua, guru, masyarakat dan
pemerintah perlu menyediakan waktu dan ruang kreatif untuk para pemuda, apabila
ingin betul-betul mendidik pemuda yang berakhlak atau berkarakter. Waktu dan
ruang yang tidak tersedia secara memadai akan mengalihkan pemuda pada dunia
maya lewat televisi yang banyak menayangkan acara-acara yang tidak begitu
banyak manfaatnya untuk ditonton.
Orangtua harus sering memberi
tugas dan tanggung jawab kepada anak, terutama terkait dengan diri dan
keluarganya, sehingga waktunya bisa diisi dengan yang bermanfaat. Begitu juga
masyarakat, harus menyediakan tempat-tempat yang lapang dan ruang bermain yang
cukup untuk menyalurkan kreativitasnya. Sama halnya dengan sekolah, mesti
menyediakan waktu dan tempat untuk mengembangkan bakat dan minat peserta didik
agar punya obsesi dan cita-cita. Sebab, selama ini, organisasi sekolah dan guru
terlalu dominan dalam penggunaan waktu pembelajaran. Seakan-akan sekolah dan guru
sajalah yang punya otoritas waktu terhadap anak didik. Hampir tidak ada waktu
yang tersisa untuk anak didik untuk merenungkan dan mengolah potensi dirinya
dan cita-citanya. Mereka banyak diberi beban pelajaran yang sarat dengan
teori-teori yang bersifat deduktif-verbalistik, tidak jelas targetnya.
Barangkali kita sebagai
penyelenggara pendidikan perlu berpikir ulang tentang target pendidikan dan
pembelajaran yang ingin kita capai. Terutama pendidikan akhlak atau karakter.
Selama ini yang terukur dalam pembelajaran dan ujian hanyalah kecerdasan
kognitif, sedangkan kecerdasan afektif dan psikomotorik tidak terukur atau
tidak mau diukur.
Harapan kami, siswa perlu banyak
mendapat sentuhan-sentuhan spiritual dalam konteks pengamalan ajaran agama yang
dicontohkan oleh orangtua siswa dan guru di sekolah. Kalau perlu, ajaran agama
itu 75 persen praktik dan 25 persen teori. Karena, ajaran agama itu untuk
diamalkan bukan sekedar diteorikan. Tuhan menilai amal hambanya bukan dari
teori pelajarannya, melainkan dari amalnya. Dengan demikian pembentukan
karakter atau akhlak pemuda bisa terwujud.
Aida
Zulaika Nasution Ismeth ;
Wakil
Ketua Badan Kehormatan DPD RI,
Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak
Mulia Prov Kepulauan Riau
SUARA
KARYA, 30 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi