Beberapa tahun yang
lalu, ketika HB Jassin masih hidup, dia pernah menulis bahwa sebuah pusat
kebudayaan tidak perlu hanya di Jakarta, tetapi sebaiknya di daerah.
Beberapa lama kemudian,
Jassin mengatakan, ”Koran-koran di daerah yang punya ruangan sastra sangat
penting.” Ucapannya membuat penulis berpikir bahwa di setiap provinsi mesti ada
HB Jassin baru yang mendokumentasikan semua karya penulis yang muncul di ruang
sastra di setiap koran, lalu menyorot, mengkritik, dan mendidik seperti yang
dialami Angkatan ’45 dan Angkatan ’66 versi Jassin.
Ini sukar karena tiap
tahun selalu lahir sarjana sastra di universitas-universitas di negeri ini.
Namun, kelahiran seorang sastrawan, apalagi kritikus sastra, tidak bisa setiap
tahun. Impian HB Jassin memang mulia, tetapi dalam perjalanan keliling
Indonesia, penulis tak menemukan realisasi mimpi itu. Memang setelah Orde Baru
lenyap, koran-koran dan majalah bermunculan di daerah-daerah dengan ruang
sastranya. Mungkin ada yang melakukan kegiatan kliping, tetapi tidak tampak
pendokumentasian dan kritik yang profesional. Hasrat memang ada dari dunia
kampus, tetapi masih merupakan mimpi, seperti dalam sebuah surat yang dikirim
oleh seorang dosen dari Universitas Ratulangi.
Tahun-tahun terakhir
ini ada kejutan dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Harian Pos Kupang dan lain-lain
menjadi sarang kegiatan sastra. Di ruang sastra bermunculan penulis-penulis
muda berbakat anak NTT dan dari luar NTT. Kalau tak muncul seorang HB Jassin
NTT, bernama Yan Sehandi, maka ruang sastra di Pos Kupang akan menjadi tumpukan
koran pembungkus terasi. Yan Sehandi mengumpulkan semua karya yang
bertahun-tahun muncul di koran tersebut. Semua karya, semua nama dicatatnya
dengan tekun.
Sastrawan NTT, baik
dalam provinsi maupun yang merantau di luar provinsi, dicatat nama dan karya
mereka. Lalu dia pun menulis sebuah buku tentang sastrawan dan sastra Indonesia
yang muncul di provinsi itu. Tampaknya impian Jassin dan seorang dosen di
Unsrat menjadi kenyataan di NTT.
Dengan demikian, NTT
bisa menjadi republik kesusastraan, filsafat, dan teologia karena di provinsi
ini terdapat selain universitas negeri, seperti Nusa Cendana dengan fakultas
sastranya, beberapa universitas dan sekolah tinggi swasta dengan fakultas
sastra, filsafat, dan teologia.
HB
Jassin NTT
Ada Universitas Timor
di Kefamenanu, ada Universitas Flores di Ende tempat Yan Sehandi yang patut
disebut ”HB Jassin NTT” (maaf) mengajar. Sudah cukup banyak putra-putri NTT
yang bertitel Ph.D. Ada juga profesor semiotika. Bermunculanlah
komunitas-komunitas sastra di ibu kota (Kupang) dan di pulau-pulau, baik yang
dipimpin para pastor maupun seniman bertitel sarjana. Ada majalah sastra
bernama Santarang (Sabana, Lontar Karang). Karya-karya Komunitas sastra online
dapat dibaca semua orang. Bahkan, muncul beberapa penulis produktif perempuan
yang sarjana di samping profesor perempuan.
Dewasa ini NTT memang
kaya Ph.D dibuktikan dengan adanya kelompok Ph.D asal NTT yang berada di NTT
dan luar negeri bergabung dalam sebuah organisasi bernama Forum Academia NTT
yang setiap tahun memberikan Academy Award kepada tokoh-tokoh NTT dalam bidang
sastra dan humaniora, entrepreneur social, lifetime achievement, sains, dan
teknologi.
Begitu banyaknya
komunitas sastra di NTT menimbulkan optimisme karena dengan menyelami sastra,
jiwa seorang akan membuka pintu bagi pengenalan akan keindahan jasmani,
keindahan moral, keindahan akal, dan memuncak pada keindahan ilahi. Batinnya
yang terdalam akan memiliki getaran intuisi puitis atau intuisi kreatif yang
bisa membuat bangsa ini maju di bidang ekonomi, politik, sosial, sains dan
teknologi.
Komunitas sastra dengan
segala karya sastranya akan membuka pintu hati terdalam di mana bersemayam
intuisi puitis (kreatif), suatu kehidupan spiritual dan psikologis yang dinamis
yang tak dimiliki kebanyakan pemimpin kita karena mereka berada dalam
kerangkeng fetishisme komoditas, syahwat terhadap benda dan uang.
Intuisi puitis atau
intuisi kreatif tidak bisa dipelajari atau diperbaiki dengan latihan dan
disiplin karena ia secara alami terikat pada kemerdekaan jiwa manusia dan
percikan cahaya imajinasi serta kekuatan alami intelek manusia. Intuisi puitis
atau intuisi kreatif tak dapat dipreteli dalam dirinya, intuisi puitis hanya
menuntut untuk didengar. Seniman hanya bertugas membersihkan halangan dan keributan
untuk lancarnya jalan yang ditempuh oleh intuisi kreatif atau intuisi puitis
itu.
Pengalaman puitis
membawa penyair ke tempat tersembunyinya di dasar jiwa yang berkabut, tetapi
ekspresinya dalam karya akan terasa enak.
Pengalaman
Puitis
Pengalaman puitis
berhubungan erat dengan citarasa puitis (poetic sense) dalam diri penyair.
Citarasa puitis dalam sebuah karya ibarat jiwa dalam diri manusia karena
memiliki hubungan langsung dengan intuisi puitis. Poetic sense dalam sebuah
karya tak dapat dipisahkan dari bentuk verbal di mana kata-kata bukan hanya
merupakan tanda dari konsep atau ide, melainkan obyek yang merdu. Citarasa
puitis adalah inner melody dari sebuah sajak.
Tentang imajinasi, ada
tiga kondisi eksistensialnya. Pertama, imajinasi yang muncul ke akal permukaan,
kehidupan dan kebutuhan sehari-hari. Kedua imajinasi yang dikuasai oleh naluri
atau libido dan kenangan pahit. Ketiga, imajinasi yang dapat melahirkan
konsep-konsep dan ide-ide abstrak, digetarkan oleh poetic intuition.
Begitulah, bila di
sebuah ibu kota provinsi ada kegiatan kreatif dalam kelompok-kelompok
(komunitas) sastra, efeknya akan datang berupa pengenalan akan keindahan fisik,
keindahan akal, keindahan moral, dan keindahan ilahi. Semoga intuisi puitis
(intuisi kreatif) yang diperkenalkan oleh komunitas sastra di NTT merembes ke
para pemimpin politik, pengusaha, sarjana, pejabat, kepala desa dan seterusnya
sehingga negeri ini cepat maju, meluncur ke utopia di bumi. Bukankah seni
termasuk sastra itu indah dan menghibur dan berguna dan mengajarkan
sesuatu—dulce et utile?
Gerson
Poyk ;
Pengarang
kelahiran NTT; Tinggal di Jakarta
KOMPAS,
03 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi