Ada perubahan dasar dalam Kurikulum
2013. Perubahan ini terkait konsepsi terhadap siswa. Sekarang, siswa dianggap
sebagai pembelajar utama. Begitu konsep terhadap siswa berubah,
tujuan pendidikan juga berubah. Demikian juga dengan seluruh metode dan strategi
pengajaran serta sistem evaluasi. Perubahan konsep ini memiliki implikasi
moral, kultural, dan pedagogis yang tidak kecil. Selama perubahan dalam tiga
dimensi ini tidak disentuh, Kurikulum 2013 terancam gagal, sekadar macan
kertas, karena praktik dan sistem budaya yang ada tetap sama.
Tiga
Implikasi
Secara moral, kebijakan pendidikan dalam
kurikulum baru menekankan kebaikan yang ditujukan bagi siswa dalam belajar.
Karena itu, fokus pendidikan yang terutama adalah siswa.
Setiap kebijakan pendidikan, sebelum
dirancang harus bertanya: apakah kebaikan siswa yang akan diperoleh melalui
desain pendidikan? Pandangan ini memiliki implikasi moral bahwa siswa tak lagi
boleh dianggap obyek, baik itu bagi pertarungan kepentingan politik maupun
ajang pencarian nama baik, apalagi pencitraan atas nama apa pun.
Siswa adalah individu yang harus
dihargai keberadaannya sebagai individu karena mereka adalah pembelajar utama
dalam pendidikan. Merekalah pelaku utama dalam pendidikan. Siswa adalah subyek
yang belajar. Tugas pendidik adalah menumbuhkan gairah belajar dalam diri
siswa.
Secara kultural, model pendidikan yang
selama ini telah terbentuk adalah cara belajar yang monolog, searah. Siswa
selama ini dianggap semacam gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu oleh
pendidik dan guru. Demikian juga siswa. Mereka sendiri mengasumsi demikian. Dia
hanya akan belajar sesuai dengan apa yang diinginkan pendidik.
Kultur belajar yang terjadi selama ini
tidak otentik, melainkan mengikuti apa yang dimaui guru, baik dalam pembuatan tugas
maupun ulangan. Karena itu, murid hanya berusaha membuat guru senang karena apa
yang diminta guru telah mereka penuhi. Namun, sesungguhnya, mereka tidak
belajar. Mereka hanya pura-pura belajar karena belajar dianggap sekadar
memenuhi apa yang diminta guru.
Oleh karena itu, siswa sekarang pun
mesti diajak untuk berpikir yang berbeda dari sebelumnya. Ia belajar bukan
karena permintaan guru atau pertanyaan guru, melainkan ia belajar sesuatu
karena ingin mendalami ilmu itu dengan lebih baik yang akan berguna bagi
hidupnya di masa sekarang dan yang akan datang. Siswa adalah pelaku aktif dalam
proses belajar. Jadi, perubahan pedagogis juga merupakan sebuah keharusan.
Pedagogi berbicara tentang bagaimana
cara-cara pendidik mendampingi anak-anak muda ini dalam mengembangkan dan
menumbuhkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dimensi pembelajaran yang
mengembangkan rasa ingin tahu melalui kegiatan bertanya, mengamati, dan
mengeksplorasi jadi hal yang sentral dalam proses belajar.
Di sini terjadi pergeseran peran guru.
Guru pun bukan lagi merupakan pemonopoli ilmu pengetahuan, melainkan menjadi
fasilitator pembelajaran bermakna bagi siswa. Pembelajaran bukan lagi sebuah proses
yang terjadi secara statis, monolog—dari guru ke siswa—melainkan guru
memberikan kesempatan dan ruang bagi siswa untuk mendalami, belajar dari
pengalaman, mengeksplorasi tema-tema tertentu sehingga ilmu yang mereka
dapatkan akan semakin utuh dan lengkap. Guru menjadi pendesain ruang-ruang,
memancing tanya, serta membuka wawasan siswa agar berani memasuki dunia
eksplorasi dan penjelajahan ilmu pengetahuan secara efektif.
Ketiga hal di atas mengandaikan adanya
kebebasan berpikir, bertindak dalam diri pendidik dan siswa. Alhasil, yang
terjadi dalam setiap proses pembelajaran adalah pembelajaran yang otentik,
bertumpu pada rasa penasaran intelektual dalam diri siswa sampai pada pemahaman
yang makin mendalam tentang gejala-gejala, baik itu alamiah maupun yang sublim,
secara intensif dan mendalam. Hanya dengan kebebasan berpikir seperti inilah dapat
terlahir para pendidik dan pembelajar yang bertanggung jawab atas anugerah ilmu
pengetahuan yang telah ia terima dari Sang Pencipta.
Takut
Kebebasan Berpikir
Sayangnya, dinamika di la- pangan
menunjukkan, para pendidik dan pelajar belum terbiasa dengan suasana kebebasan
berpikir. Kita ingat konsep pendidikan yang berpusat pada siswa pernah
dilaksanakan tahun 1984 dengan Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Namun, apa yang terjadi di lapangan?
Guru masih tetap terpaku pada jawaban dalam teks. Siswa pun masih memiliki
kebiasaan yang sama. Jenis pertanyaan yang diajukan hanya berdasar pada teks.
Demikian juga dengan jawaban siswa. Siswa juga cenderung mencarinya dalam teks.
Pendidikan kita sangat textbooks. Begitu soalnya dialihkan ke kehidupan nyata
yang memerlukan analisis dalam pengambilan keputusan, siswa tidak mampu.
CBSA gagal karena kultur di lapangan, di
tingkat pendidik dan siswa tidak selaras dengan konsep dasar yang ingin
dikembangkan. Siswa diharapkan aktif berpikir, tetapi guru sendiri mengesankan
bahwa jawaban siswa harus sama seperti apa yang diinginkan oleh guru, yaitu
sebagaimana ada dalam buku teks. Akhirnya, CBSA hanya melahirkan rentetan pembelajaran
semu dari tahun ke tahun. Guru ingin setia pada jawaban dalam teks, dan siswa
pun menyesuaikan dengan apa yang diminta dan diharapkan guru. CBSA gagal
melahirkan individu yang mampu berpikir bebas.
Kebebasan bereksplorasi dan belajar
inilah tampaknya yang masih juga ditakutkan oleh para pengambil kebijakan
sehingga cara-cara bereksplorasi pun diatur, diarahkan, bahkan dibuatkan
tema-temanya. Ini sangat kentara dari gagasan dasar buku babon untuk siswa dan
guru. Jika buku babon ini hanya bersifat instruktif, tidak eksploratif, alias
tidak memberi ruang bagi penggalian pengalaman secara mandiri maupun kelompok,
gagasan besar Kurikulum 2013 hanya akan berhenti pada tataran kebijakan, tetapi
tidak terjadi di lapangan.
Perubahan
Kultural
Tantangan pendidikan ke depan memang
tidak ringan. Pembaruan kurikulum merupakan salah satu cara untuk
mengantisipasi perubahan zaman tersebut. Namun, pembaruan kurikulum tidak akan
efektif ketika dimensi kultural yang memengaruhi cara guru dan siswa berpikir
dan melakukan pendidikan juga tidak diubah.
Melihat realitas para pendidik di
lapangan sebagai pelaku utama Kurikulum 2013, paradigma perubahan kultural
perlu dikembangkan dalam diri pendidik. Perubahan kurikulum sebagus apa pun
tidak akan mengubah kultur pendidikan kita yang sentralistis, guru-muridisme,
dan murid-manutisme, bila kesiapan tenaga pendidik dan pelaku di lapangan tidak
menyentuh sampai membongkar kesadaran budaya sentralisme yang memasung
kreativitas guru, menciptakan budaya asal guru senang, dan asal murid naik
kelas, meski sesungguhnya mereka tidak layak mendapatkan itu semua.
Mengubah budaya ini merupakan keharusan.
Doni
Koesoema ;
Pemerhati
Pendidikan
KOMPAS,
28 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi