Pendidikan merupakan bisnis semua
orang. Banyak pihak berkepentingan ketika kurikulum nasional didesain kembali.
Pemikiran konseptual yang
dangkal, pragmatis, bahkan terdistorsi oleh politisasi bisa berdampak buruk
bagi desain pendidikan nasional. Padahal, setiap perubahan kurikulum perlu
pemikiran konseptual yang kokoh serta visi pendidikan yang jelas. Ironisnya,
pragmatisme dan politisasi pendidikan inilah yang terjadi.
Pemikiran yang dangkal,
pragmatis, hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat, serta lebih didominasi wacana
politis akan menyandera kinerja dunia pendidikan kita. Reformasi kurikulum yang
tak didasari pemikiran jangka panjang serta dilandasi pemikiran
konseptual-fundamental tentang manusia Indonesia macam apa yang ingin
dilahirkan di masa kini dan masa depan hanya menjerumuskan reformasi kurikulum sekadar
politisasi pendidikan.
Makna
Nama
Politisasi pendidikan tampak,
pertama- tama, dari cara memberikan nama kurikulum baru yang sedang digodok:
Kurikulum Perekat Kesatuan Bangsa. Nama membawa pesan, seperti jabaran proses
pendidikan yang harus dijalani, mata pelajaran yang diutamakan, serta sistem
evaluasi yang dipraktikkan.
Dari cara memberikan nama, jelas
bahwa kurikulum baru bertujuan membentuk warga negara Indonesia menjadi warga
yang cinta bangsa dan menghargai kesatuan. Penamaan ini berlatar belakang
politis tentang situasi bangsa yang karut-marut, gemar berkelahi, tawuran,
gampang diadu domba, kemerosotan penggunaan bahasa Indonesia, serta berbagai
situasi krisis sosial di masyarakat yang memang hari-hari ini mengentak nurani
kita.
Tentu, mendesain sebuah kurikulum
yang mampu mempersatukan bangsa ini sebagai satu saudara, sebangsa dan setanah
air, tidak salah. Namun, meredusir reformasi kurikulum pendidikan nasional
dengan orientasi seperti ini justru merugikan bangsa di masa depan. Tantangan
ke depan jauh lebih besar dibandingkan persoalan tawuran, perkelahian, atau ketakutan
bahwa NKRI akan hancur.
Selain itu, salah besar
menimpakan segala persoalan sosial yang terjadi hari- hari ini pada dunia
pendidikan sehingga kurikulum nasional harus mengorbankan dirinya demi
kepentingan politis yang sesaat seperti ini. Tampaknya, jalan-jalan inilah yang
saat ini sedang dilakoni para pembuat draf kurikulum baru. Desain kurikulum
baru ini tidak bervisi jauh ke depan tentang bagaimana generasi Indonesia emas
ini akan bersaing di dunia global: dari segi kemampuan teknologi, informasi, sains,
dan ilmu pengetahuan.
Logika berpikir tentang fungsi
dan peranan mata pelajaran dalam konteks kurikulum pun tidak jernih. Untuk
merekatkan kesatuan bangsa, ada empat prioritas mata pelajaran yang akan
diajarkan, yaitu Bahasa Indonesia, Pancasila dan Kewarganegaraan, Agama, dan
Matematika. Keempat mata pelajaran ini, selain dipercaya sebagai perekat
kesatuan bangsa, juga memiliki muatan pembentukan karakter generasi muda
bangsa.
Pandangan seperti ini meremehkan
dan meredusir mata pelajaran lain dalam rangka partisipasi mereka membentuk
insan Indonesia yang cerdas, mandiri, terampil, dan berakhlak mulia. Mata
pelajaran adalah sebuah konstruksi materi, pengajaran dan evaluasi yang
terintegrasi, yang dalam dirinya sendiri bisa dipergunakan untuk berbagai macam
kepentingan. Pendidikan sains, misalnya, tidak kalah hebat dalam membentuk
karakter bangsa dibandingkan mata pelajaran Agama atau Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Ini semua bergantung pada cara kita memahami makna, fungsi,
dan peran mata pelajaran dalam rangka tujuan pendidikan.
Pemilihan empat prioritas mata
pelajaran ini menunjukkan distorsi pemikiran serta konsepsi parsial tentang
makna, peran, dan fungsi mata pelajaran. Pendidikan nasional tidak akan
bertambah baik bila para konseptor pendidikan nasional tidak memahami bahkan
hal-hal yang paling fundamental dalam desain kurikulum.
Pilihan empat prioritas ini tentu
saja akan berdampak pada sistem evaluasi. Kita akan mengulangi kesalahan dan
kecerobohan yang sama bila akhirnya keempat mata pelajaran ini di-ujian
nasional-kan! Meng-UN-kan empat mata pelajaran itu tidak akan menjamin
kemerosotan moral bangsa berkurang. Kemerosotan moral terus terjadi karena
banyak sendi kehidupan berbangsa yang terkorupsi, seperti hilangnya keadilan,
yang melahirkan korupsi di berbagai sendi kehidupan, sehingga langsung terasa
pada dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat secara umum.
Pemikiran
Jangka Panjang
Reformasi kurikulum mestinya
didasarkan pada pemikiran jangka panjang. Terutama tentang bagaimana bangsa ini
menghadapi situasi zaman yang penuh tantangan, baik dari dalam negeri maupun
dalam lingkup tatanan global.
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) sebenarnya sudah merupakan langkah tepat. Di dalamnya
terdapat ruang bebas bagi para guru, pendidik, dan sekolah untuk
mengeksplorasi. KTSP tak berjalan bukan karena KTSP salah, melainkan karena
pemerintah tak mendukungnya dengan konsepsi fundamental yang konsisten.
Sebutlah seperti mekanisme peningkatan profesionalisme guru dalam menerapkan
KTSP serta sistem evaluasi UN yang menyandera otonomi guru.
Reformasi isi kurikulum memang
sesuatu yang penting agar anak-anak Indonesia mempelajari banyak hal yang
sungguh-sungguh relevan. Juga penting bagi perkembangan hidup pribadinya
ataupun bagi perkembangan karier dan tanggung jawabnya sebagai warga negara
yang aktif di masa depan. Namun, mereformasi kurikulum tanpa pemahaman
konseptual mendasar, tanpa visi jangka panjang tentang bagaimana negara ini
mempersiapkan warga bangsanya agar bisa aktif terlibat dalam kehidupan
berbangsa dalam konteks menjagat, hanya akan membuat dunia pendidikan kita
tersandera kepentingan sesaat para politisi. Ini merugikan bangsa ini di masa
depan.
Reformasi kurikulum saat ini
memiliki orientasi dasar bervisi jangka pendek, pragmatis, serta lebih banyak
unsur politisasinya daripada perubahan dalam visi pendidikan yang sifatnya
transformatif, yang menyiapkan generasi muda Indonesia jadi pelaku perubahan
dalam masyarakat. Padahal, sejak zaman Soekarno, pendidikan nasional yang
bervisi transformasi sosial ini menjadi tujuan awal.
Bangsa kita sejak awal ingin
lepas dari perbudakan penjajah, menjadi manusia merdeka yang mampu mengisi dan
menjaga bangsa ini dengan kekuatan sendiri karena muncul semangat merdeka.
Sayangnya, justru semangat merdeka yang dibutuhkan bagi lajunya dunia
pendidikan tidak kita temukan. Yang kita temukan adalah politisasi pendidikan
yang visinya hanya kebutuhan jangka pendek: sesaat!
Doni
Koesoema A ;
Pemerhati
Pendidikan;
Alumnus
Boston College Lynch School of Education Boston, Amerika Serikat
KOMPAS,
05 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi