TAK hanya mengajar di wilayah
pengabdian, ribuan guru muda itu berperan secara multifungsi. Tidak hanya
mencerdaskan anak bangsa, menyalakan asa yang nyaris sirna, sarjana pendidikan
itu juga merekatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Genap setahun sudah program Sarjana Mendidik
di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) berjalan. Sebanyak 2.500
sarjana pada awal November ini ditarik kembali ke lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK) yang mengirim mereka mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Itu setelah dua pekan sebelumnya, 3.000-an peserta angkatan II dikirim ke wilayah pengabdian.
Program tersebut merupakan bagian dari ’’Maju
Bersama Mencerdaskan Indonesia’’. Dua belas
LPTK mendapat mandat melaksanakan seleksi, perekrutan, dan pembekalan.
Di antara lembaga itu adalah Universitas
Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas
Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Malang (UNM), Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan beberapa
universitas negeri eks IKIP di luar Jawa.
Program SM-3T merupakan bentuk pengakuan
kesenjangan capaian pendidikan antara pusat dan pinggiran, mulai dari rendahnya
tingkat partisipasi hingga besarnya angka mismatch guru di daerah. Ini diakui,
misalnya oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Supriadi
Rustad dalam wawancara dengan koran ini (13/10/11).
Di tengah kritik masyarakat terhadap
pemerintah yang acap dinilai lamban menangani masalah, SM-3T membuktikan pemerintah
’’mengakui’’ kesenjangan itu sekaligus memberikan respons menjanjikan. Program
ini murni lahir dari konteks persoalan pendidikan tapi pada level makro
kebijakan ini mengandung agenda strategis berkaitan dengan upaya merawat NKRI.
Tentu tidak lantas bermakna dunia pendidikan
selama ini abai terhadap persoalan keutuhan NKRI. Dunia pendidikan sudah
menyediakan kurikulum plus buku pelajaran yang kurang lebih berisi pesan: NKRI
harga mati. Itu saja tidaklah cukup. Banyak pendidik dan murid ingat soal NKRI
hanya saat patok batas wilayah bergeser atau hilang, atau pada saat kekayaan
budaya kita tiba-tiba diaku sebagai milik negeri tetangga.
Sukar menerima respons yang telanjur tampak
normal ini baik dalam bingkai HAM modern maupun kebudayaan. Dalam risalah
klasik, The Teacher and The State, Kirkland (1903: 254) jauh-jauh hari
mengingatkan, ’’Tak ada negara hebat yang kuasanya ditumpukan pada senjata
semata’’. Selain itu, negeri ini punya warisan luhur tradisi dialog, urun
rembuk, dan musyawarah mufakat yang mengakar kuat.
Dengan penugasan ke daerah, guru muda yang
tergabung dalam SM-3T secara langsung belajar tentang keragaman budaya
masyarakat. Mereka belajar berdialog dengan masyarakat lokal, tidak saja dalam
makna interpersonal tetapi juga terlibat langsung dalam dialog inter/
multikultural. Di sisi lain, masyarakat lokal memetik keuntungan pada sektor
pendidikan atas kehadiran guru baru tersebut.
Sejumlah
Catatan
Lepas dari misi mulia, program SM-3T tetap
memerlukan sejumlah catatan. Pertama; sindrom agen perubahan. Peserta program
ini adalah sarjana belia. Sebagian di antara mereka mantan aktivis mahasiswa.
Selama menjadi mahasiswa mereka direkognisi sebagai agen perubahan meskipun
sesungguhnya ruang sosial untuk membuktikan posisi itu sangatlah minim.
Jadi, bagi sebagian besar peserta, program ini
merupakan kesempatan pertama membuktikan peran itu. Bila tidak diantisipasi
dengan baik, hal ini dapat memicu sindrom yang kontraproduktif bagi pencapaian
tujuan program. Dalam bahasa ekstrem, peserta misalnya bisa saja merasa diri
laksana utusan Tuhan yang mendapat mandat menyelamatkan masyarakat sasaran.
Kedua; keberlanjutan program. Kita harus
memosisikan program ini sebagai emergency exit selama daerah sasaran belum
dapat menyokong pemenuhan kebutuhan pendidikan, terutama di bidang tenaga
kependidikan. Artinya, dukungan ketersediaan tenaga kependidikan berkualitas di
daerah juga harus dilakukan secara simultan. Mengenai hal ini, Kemendikbud
sudah memiliki skenario bahwa program SM-3T dilaksanakan sampai daerah sasaran
mampu mencukupi kebutuhan tenaga kependidikan.
Saat ini, sejumlah daerah telah mengirimkan
mahasiswa belajar bidang kependidikan di sejumlah LPTK. Ketiga; dampak positif
pendidikan dapat memicu masalah baru. Kesadaran adalah dampak positif pendidikan tetapi bila tidak
dikelola dengan baik berisiko memicu masalah baru. Sasaran program SM-3T sangat
spesifik: daerah terdepan, terluar, tertinggal. Jujur kita harus mengakui, sebagian
dari daerah tersebut tidak tersentuh kemajuan pembangunan. Kehadiran agen
pendidikan muda ke tempat itu dapat dipahami secara ambigu: kepedulian di satu
disi dan kesenjangan di sisi lain.
Lepas dari persoalan ini, tentu semua pihak
patut mengapresiasi prakarsa Kemendikbud. Tentu saja kita harus memberikan
apresiasi tinggi kepada anak-anak muda yang memilih SM-3T sebagai alternatif
mengekspresikan kemudaan dan cinta mereka kepada Ibu Pertiwi. Mereka inilah
yang mungkin oleh Kirkland (1903: 256) dianggap sebagai ’’penyuara kebajikan silam
dan penentu arah masa depan’’.
Ali
Formen,
Dosen
Fakultas Ilmu Pendidikan,
Koordinator
Pembekalan SM-3T Universitas Negeri Semarang 2011-2012
SUARA
MERDEKA, 03 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi