Dunia pendidikan terutama
perguruan tinggi (PT) saat ini mulai digelisahkan oleh banyak kalangan lantaran
ketidakmampuannya merespon kemajuan zaman. Pendidikan seperti kehilangan
perannya sebagai modalitas untuk memajukan bangsa. Bahkan menurut Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD, banyak lulusan PT bukannya menjadi aset bangsa,
melainkan menjadi beban negara baik dalam kapasitas maupun moralitasnya. Tidak
sedikit di antara mereka justru terjerumus pada sikap hedonisme, menganggur dan
tidak bisa memanfaatkan ilmu yang diperolehnya dari universitas.
Barangkali berangkat dari fakta
itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana merevisi
kurikulum pendidikan tinggi untuk menyesuaikan dengan dunia kerja. Perubahan
tersebut diharapkan bisa memperkuat dunia industri. Menurut Wamendikbud Bidang
Pendidikan Musliar Kasim, ada tiga poin penting dalam pembelajaran di
pendidikan tinggi yang akan direvisi, di antaranya terkait dengan attitude,
skill, dan knowledge, disingkat ASK kurikulum.
Dari sini, muncul pertanyaan
mendasar yang perlu didiskusikan lebih jauh. Pertama, apakah benar pendidikan
erat kaitannya dengan dunia kerja atau Industri? Kedua, pantaskan pendidikan
dianggap sebagai penyebab tingginya jumlah pengangguran? Dan, ketiga, apakah kemajuan
hanya bisa dicapai melalui pendidikan?
Mari dilihat masing-masingnya.
Pertama, kalau pendidikan selalu dikaitkan dengan dunia kerja, pendidikan tidak
ada bedanya dengan pelatihan atau kursus. Jika demikian, kenapa untuk mengakses
pendidikan perlu waktu sedemikian lama, misalnya hanya untuk bekerja di
perusahaan minuman di bagian produksi ataupun administrasi. Apakah tidak cukup
dalam waktu singkat melalui pelatihan terkait produksi dan administrasi, yang
umumnya hanya bersifat teknis-praktis.
Kedua, jika pendidikan dianggap
sebagai penyebab pengangguran, bukankah menganggur dan tidaknya ditentukan oleh
tersediannya lapangan kerja. Ambil contoh lulusan Fakultas Ekonomi, dengan
jumlah lulusan yang jauh lebih banyak dibanding kesempatan bekerja dan tersedianya
lapangan kerja, apakah mungkin semuanya langsung bisa terserap ke dalam dunia
kerja atau industri. Disamping itu, bukankah masalah pengangguran sebenarnya
lebih dekat dengan kebijakan politik-ekonomi sebuah negara.
Terakhir, sebenarnya itu menyangkut
persoalan yang mengandung konsekuensi yang lebih kompleks, karena kesalahan
dalam memahami kemajuan akan berpengaruh pada semua aspek, baik material maupun
non-material. Kemajuan dalam aspek material pun belum terukur secara jelas,
sehingga pendidikan yang diarahkan untuk mencapai kemajuan pun ukurannya tidak
jelas. Begitu juga kemajuan dalam aspek non-material, ketika pendidikan
dijalankan dalam rangka meningkatkan kemajuan pada aspek non-material,
pendidikan akan semakin sukar untuk diarahkan pada pencapaian kemajuan
tersebut. Dengan demikian, yang perlu diluruskan sebenarnya adalah logika
kemajuan yang selama ini dipahami oleh kebanyakan orang.
Pada umumnya, logika kemajuan
didasarkan pada ukuran kemajuan sebagaimana dicapai dunia Barat. Sehingga hakikat
kemajuan adalah kemajuan Barat. Itulah, kenapa pendidikan ikut-ikutan memburu
standar internasional yang secara subtansial tidak bisa dijadikan tolak ukur.
Akibatnya, logika kemajuan justru semakin membingungkan dan mengaburkan
pendidikan itu sendiri.
Ketika kemajuan yang diharapkan
adalah kemajuan Barat, beberapa negara mulai gelisah lantaran semakin
terkikisnya nilai-nilai lokal yang sudah sekian lama menjadi dasar dalam
kehidupan. Disamping itu, ketika semuanya terlena melihat kemajuan pembangunan yang
notabene bersifat fisik-materialistik, mereka kemudian mulai mencari barang
yang berharga (nilai) yang telah hilang bersama arus modernitas dan
globalisasi, yang disebut sebagai sebuah kehampaan (the globalization of
nothing) oleh George Ritzer. Dengan me-ngikuti gemerlap kemajuan pembangunan di
atas kemudian orang mulai jenuh, bosan, krisis jati diri, lalu orang mulai
mempertanyakan lagi apa yang seharusnya dicapai oleh setiap manusia.
Akibat dominasi logika kemajuan
itulah kenapa pendidikan di tanah air selalu diarahkan pada
pencapaian-pencapaian pembangunan di atas. Jargon-jargon pendidikan
bermunculan, seperti pendidikan bermutu unggul, sekolah unggulan, RSBI, PT
berstandar ISO, dan lainnya, yang hal ini semakin membuktikan bahwa pendidikan
sudah kehilangan tujuannya yang hakiki.
Meski demikian, kemajuan yang
disederhanakan pada pembangunan secara fisik-materialistik pada kenyataannya
telah diterima sebagai standar utama dalam melihat keberhasilan pendidikan.
Pendidikan selalu mengandung ungkapan pengangguran dan beban Negara. Pendidikan
selalu menjadi salah satu penyebab gagalnya pembangunan bangsa secara
fisik-materialistik.
Pendefinisian ini bisa jadi
sangat sempit ketika pendidikan hanya berorientasi pada kemajuan sebagaimana
yang disepakati negara-negara maju (Barat). Bukankah pendidikan jauh berbeda
dengan pelatihan. Begitupun ketika kemajuan didefinisikan sebagai kemajuan
dalam batiniahnya, yang dalam hal ini akan berpengaruh pada sikap, mental, dan
spiritual seseorang, tentu kemajuan sebuah negara akan berbeda penilaiannya.
Singkatnya, pendidikan harus
sinergis dengan logika kemajuan. Kemajuan tidak boleh disederhanakan hanya pada
pencapaian fisik-materialistik, tetapi juga menyangkut nonfisik-spiritualistik.
Selain itu, yang perlu diperhatikan bahwa tugas utama pendidikan adalah untuk
mengembangkan potensi lahiriah dan batiniah manusia. Kedua potensi tersebut
harus menjadi acuan untuk mendefinisikan kemajuan yang hendak dicapai.
Pendidikan akan kehilangan perannya yang hakiki ketika pendidikan itu dipacu
hanya untuk memenuhi kuota di dunia kerja atau industri.
Sauqi
Futaqi ;
Mahasiswa
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA
KARYA, 01 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi