Ujian Nasional (UN) 2013, yang kini masih
berlangsung mengalami kegalauan. Betapa tidak, UN jenjang sekolah menengah atas
(SMA) dan sederajat yang semestinya digelar serentak hari Senin (15/4)
mengalami kendala. Sebanyak 11 provinsi harus menunda UN hanya gara-gara urusan
teknis pencetakan soal. Tentu saja, penundaan tersebut menambah catatan buram
tentang penyelenggaraan UN selama ini. Mulai dari perkara soal yang bocor,
siswa menyontek, guru yang bekerja sama dengan muridnya untuk melakukan
kecurangan, ataupun tentang UN yang dianggap tidak adil.
Kita berharap kepada pemerintah, khususnya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), untuk serius mengurus UN.
Sebab, ditundanya UN tahun ini bisa menjadi preseden buruk bagi kepercayaan
masyarakat terhadap penyelenggara negara. Kita sepakat dengan hasil survei
nasional yang mengatakan bahwa UN perlu tetap dilaksanakan agar kualitas
standar pendidikan nasional bisa diukur. Akan tetapi, jika penyelenggaraan UN
selalu mendapat kendala, rasa-rasanya ujian yang menjadi 'momok menakutkan'
bagi siswa itu perlu ditinjau kembali. Bahkan, mungkin lebih baik UN tak perlu
diselenggarakan.
Apalagi, penyelenggaraan UN saat ini juga
sudah lemah secara hukum. Pada 2009, misalnya, masyarakat melalui citizen
lawsuit pernah melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atas pelaksanaan UN.
MA mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan UN dihentikan sampai pemerintah
memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. (Media Indonesia, 15/4) Gugatan
masyarakat itu beralasan kerena UN selama ini dianggap mendatangkan banyak
persoalan.
Pertama, UN membuat beban siswa semakin berat.
Masa sekolah yang seharusnya digunakan untuk 'bermain' berubah menjadi masa
yang penuh tekanan dan depresi. Secara psikologis, model pembelajaran yang
terlalu serius dan penuh tekanan tidaklah sehat. Bahkan, akan membawa siswa
stres di usia dini.
Kedua, UN juga dianggap tidak adil, khususnya
bagi sekolahan-sekolahan yang ada di daerah. Sebab, logikanya, jika fasilitas
pendidikan antara di sekolah perkotaan dengan perdesaan berbeda, kenapa standar
nilai kelulusan mesti disamakan? Bukankah siswa di kota akan lebih unggul
dibandingkan siswa di pedesaan karena guru mereka lebih kapabel dan fasilitasnya
lebih memadai? Logika-logika seperti inilah yang selalu menjadi polemik ketika
musim UN tiba.
Ketiga, UN telah membuat sistem pendidikan
kita berorientasi kepada hasil, bukan proses. UN telah menciptakan sistem
pendidikan yang lebih menekankan nilai kelulusan ketimbang kecerdasan rasio,
kejujuran, dan kerja keras. Sebagai dampaknya, banyak para siswa kemudian
bersikap irasional dalam menanggapi UN, seperti datang ke makam-makam dan
melakukan ritual-ritual tertentu agar bisa mendapatkan nilai bagus saat UN.
Keempat, UN telah mendatangkan 'kecurangan
berjamaah' yang dilakukan secara sistematis oleh siswa berkerja sama dengan
gurunya. Dengan alasan menjaga nama baik almamater, tak jarang guru melakukan
berbagai cara untuk membuat para siswanya bisa lulus dalam UN, termasuk
menyuruh siswa paling pintar untuk membagi jawaban kepada teman-temannya.
Fenomena ini tentu menampar kredibilitas lembaga pendidikan. Sebab, lembaga
pendidikan yang seharusnya mendidik anak menjadi orang yang jujur dan mau
mengikuti proses, berubah menjadi tempat 'pembohongan' dan mengubah mental anak
bersikap instan.
Cetak
Koruptor?
Ironisnya, hal itu mendapat dukungan dari
pejabat daerah untuk mendongkrak citra daerahnya. Sehingga, ketika menjumpai
ketidakjujuran dalam UN, pemerintah daerah setempat seolah pura-pura tidak
tahu. Hal ini tentu menyedihkan sekaligus sangat bertentangan dengan amanat
penyelenggaraan pendidikan, yang oleh pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966)
dimaksudkan, untuk membentuk karakter pribadi anak didik.
Dengan
kata lain, jika pendidikan diselenggarakan dengan cara-cara curang, karakter
anak didik yang terbentuk sejak dini - dan akan dibawa sampai dewasa kelak -
akan curang (buruk) pula. Dengan demikian, selain mendatangkan banyak
ketidakjujuran dalam penyelenggaraan, UN juga sangat berpotensi membentuk
karakter anak lebih mengagumi nilai-nilai statistik daripada nilai
akhlak-moral. Sebagai dampaknya, jika pendidikan hanya difungsikan sekadar
untuk mengejar angka-angka, maka generasi Indonesia ke depan adalah orang-orang
yang lebih menghargai hasil daripada proses. Ini tentu sangat berbahaya.
Oleh karena itu, sudah saatnya penyelenggaraan
UN perlu dievaluasi secara holistik. Pemerintah harus segera melakukan
investigasi tentang keterlambatan percetakan soal UN secara serius. Sementara
para guru perlu ditanamkan tanggung jawab untuk benar-benar jujur mengawal
berjalannya UN.
Ingat, masa depan bangsa sangat bergantung
pada generasi terdidik hari ini. Jika hari ini siswa diajari 'menyontek
berjamaah', kita khawatir kelak ketika mereka dewasa dan menjadi pejabat negara
akan melakukan 'korupsi secara berjamaah' pula. Ini jangan sampai terjadi!
Ali
Rif’an ;
Peneliti
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Alumnus Program Sekolah Demokrasi
SUARA
KARYA, 16 April 2013
Yah begitulah UN sejak pertama kali diluncurkan sampai sekarang selalu menuai kritik, tapi pemerintah tidak mau tahu. Menyakitkan sekali sekolah 3 tahun, kelulusannya ditentukan 4 hari kalau dulu 3 hari. UN sama sekali tidak menghargai "proses". Rupanya pemerintah hanya mampu mengembangkan sistem ujian singkat dan tidak menyeluruh.
BalasHapus