Kontestasi UN

Ribuan pelajar SMA sedang menghadapi ujian nasional (UN) di sekolah masing-masing. Keberadaan UN bagi sebagian besar pelajar adalah urusan yang menakutkan. Tidak heran jika banyak di antara mereka yang melakukan berbagai `ritual', mulai belajar, berdoa, dan shalat bersama, sampai beberapa di antaranya juga ada yang meminta petunjuk paranormal. 

Bagi pemerintah, UN dianggap menjadi alat yang akurat untuk menilai kualitas pendidikan nasional. Bagi guru, UN adalah pertaruhan nama baik. Guru akan merasa bersalah ketika banyak siswa yang tidak lulus dalam mata pelajaran yang diampunya.

Bagi sekolah, UN adalah sebuah gengsi. Sekolah yang mampu meluluskan semua siswanya akan menjadi sekolah favorit, lalu mereka akan dibanjiri peminat. Inilah kontestasi kepentingan di balik UN. Hasil UN menjadi senjata ampuh untuk mempromosikan sekolah.

Selain itu, ada pihak lain yang ikut berkontestasi. Lembaga bimbingan belajar, yang meraup banyak keuntungan lewat UN. Mereka mampu mengubah ketakutan dan kecemasan siswa menjadi bisnis yang menggiurkan. Mereka menawarkan jasa untuk meluluskan siswa, beberapa di antaranya ada yang memberikan garansi "tidak lulus, uang kembali".

Produsen pensil 2B juga turut ambil bagian dalam hajatan pemerintah ini.
Mereka berhasil menjual puluhan juta pensil setiap tahunnya. Pensil memang sering menjadi salah satu faktor kegagalan teknis yang menyebabkan siswa gagal dalam UN karena pensil yang mereka gunakan tidak terbaca komputer.

Kontestan lain yang tidak terlihat dalam hajatan ini adalah perusahaan pencetak soal UN, pencetak lembar jawab komputer (LJK), pembuat soal, pengirim soal, pengawas, sampai pemantau UN. Mereka semua adalah pihak-pihak yang ikut diuntungkan dengan keberadaan UN. 

Siswa jadi Korban

Banyak pihak turut berkontestasi, namun siswa selalu diposisikan sebagai korban dalam proyek ini. Mereka harus mencurahkan waktu dan tenaganya untuk menghadapi UN. Ketika gagal, mereka menjadi pihak yang disalahkan, seolah-olah pemerintah dan sekolah tidak mau tahu mengenai kondisi mereka yang beragam.

Ribuan perasaan mengendap di hati seorang siswa ketika mengerjakan soal UN. Mereka dihantui perasaan takut. Takut LJK kotor atau basah karena keringat, pensil tidak terbaca, gerak-geriknya diawasi pengawas, takut salah menghitamkan LJK, dan sejuta alasan lain. Siswa yang tidak lulus dianggap siswa yang malas, bodoh, dan segudang gelar lainnya. Mereka kehilangan masa depannya, karena akan sulit melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak sedikit di antara mereka yang notabene adalah siswa berprestasi.

Orang tua siswa yang tidak lulus harus memutar otak lebih cepat. Biaya sekolah yang telah mereka serahkan ke sekolah tidak ada artinya karena anak-anak mereka akhirnya harus mengikuti pendidikan kejar paket. 

Hasil UN tidak representatif menggambarkan kualitas pendidikan nasional. Pertama, UN bersifat instan, hanya dilakukan dalam waktu 3-4 hari. Kedua, karena UN bersifat instan, maka siswa pun menggunakan cara-cara instan untuk menghadapi UN. Mereka menggunakan berbagai cara agar berhasil. Ketiga, UN tidak komprehensif karena hanya mengukur prestasi siswa melalui beberapa mata ujian saja. Keempat, banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan siswa, salah satunya adalah soal yang berbentuk pilihan ganda.

Bentuk soal ini rentan dengan jawaban yang didasarkan pada keberuntungan. Siswa menjawab dengan benar bukan karena mereka paham dengan soal tersebut, namun dapat juga disebabkan mereka asal menghitamkan jawaban dan ternyata jawaban tersebut benar.

Selama ini, pemerintah adalah pihak yang sangat gigih mempertahankan UN ini, meskipun setiap tahun UN selalu menuai kontroversi. Untuk pemetaan, inilah alasan yang selalu menjadi senjata pemerintah untuk mengesahkan UN agar digelar setiap tahun. Masalahnya sekarang, jika UN digunakan untuk pemetaan, mengapa harus mengorbankan siswa? Dan ketika pemerintah berhasil membuat pemetaan, selanjutnya pemetaan tersebut akan digunakan untuk apa?

Belajar dari kondisi ini, berarti setiap tahun pemerintah membuat pemetaan yang baru, namun sayangnya pemetaan tersebut tidak dipublikasikan di kalangan luas. Parahnya lagi, pemetaan tersebut tidak menjadi dasar penentuan skala prioritas pembenahan kualitas pendidikan. Dengan berbekal pemetaan, seharusnya pemerintah kaya akan data. 

Pemerintah seharusnya mampu mencari akar masalah kualitas pendidikan kita, bukan terfokus pada hasil pendidikannya. Namun, nyatanya ketimpangan kualitas pendidikan antardaerah dari tahun ke tahun tidak banyak berubah. Banyak sekolah yang mayoritas siswanya selalu gagal dalam UN. Ini artinya, pemerintah tidak cukup responsif dalam menangani hasil pemetaan ini. 

Yang kedua adalah bila UN digunakan sebagai bahan pemetaan kualitas pendidikan, mengapa kualitas pendidikan hanya diukur dari beberapa mata pelajaran saja? Untuk tingkat SMA, misalnya, kualitas pendidikan nasional hanya diukur dari enam mata pelajaran. Untuk tingkat SMP hanya ada empat mata pelajaran, mata pelajaran IPS tidak ada dalam materi UN.

Masalah berikutnya adalah mata ujian di program kejar paket lebih ba- nyak daripada di SMP atau SMA. Hal ini akan menyulitkan siswa yang tidak lulus akhirnya harus mengikuti ujian di program kejar paket. Beban belajar mereka bertambah berat. Kualitas pendidikan seperti apa yang ingin dipetakan pemerintah?

Pemetaan kualitas pendidikan dan kualitas sekolah secara khusus sebenarnya cukup dilakukan melalui hasil akreditasi sekolah. Akreditasi merupakan mekanisme penjaminan mutu yang dilakukan pemerintah. Seharusnya akreditasi sekolah juga menjadi instrumen pemetaan sekolah tanpa perlu melakukan UN yang sangat mahal. Akreditasi sekolah menggunakan indikator yang sangat kompleks sehingga mekanisme ini cukup valid apabila digunakan sebagai bahan pemetaan sekolah.


Nanang Martono  ;  
Dosen Universitas Jenderal Soedirman,
Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite de Lyon 2 Prancis
REPUBLIKA, 16 April 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi