Seorang rektor di satu universitas di Tanah Air diduga telah
melakukan kecurangan dalam meraih gelar doktor, Senin (17/6). Modusnya dengan
cara memanfaatkan kewenangannya untuk mempercepat kelulusan dan memperoleh
ijazah. Alhasil, dia lulus program doktor hanya dalam waktu satu tahun 11
bulan.
Pemerintah dinilai mengabaikan laporan karena hingga kini
belum ada tanggapan serius terhadap kasus tersebut. Itu merupakan satu kasus
dari banyaknya masalah yang terdapat dalam program doktor di Indonesia.
Contoh lain: plagiasi, disertasi pesanan, disertasi saduran,
disertasi palsu, hingga ijazah doktor aspal. Seiring dengan menjamurnya program
pascasarjana di Indonesia, sebetulnya apa saja penyakit-penyakit mematikan
dalam program doktor kita?
Lolos dari perundangan
UU tentang pendidikan nasional tidak memuat prosedur
pelaksanaan pendidikan program doktor secara rinci. Demikian pula dalam
RUU tentang Perguruan Tinggi yang digodok oleh DPR. Tidak ada klausul yang
secara khusus menyinggung mekanisme penyelenggaraan perkuliahan dan pemberian
ijazah tersebut.
RUU Perguruan Tinggi paling banter mengacu prinsip
”kebenaran ilmiah”, ”kejujuran”, dan ”keadilan”, sebagaimana terdapat pada
Pasal 2 tentang asas-asas perguruan tinggi. Asas-asas tersebut tidak memiliki
penjabaran yang konkret. Misalnya, seorang dosen dilarang mendaftar program
doktor di universitas tempat dia bekerja. Atau seorang pejabat fungsional
setingkat ketua jurusan, dekan, atau rektor tidak diizinkan mengikuti program
doktor di universitasnya sendiri.
Bila mengacu pada prinsip ”kejujuran”, tuduhan ada
kecurangan dalam penyelenggaraan pendidikan jelas tidak mudah dibuktikan.
Disertasi sebagai hasil akhir bisa saja dijadikan sebagai tolok ukur
”kualitas”, tetapi itu lazim diperdebatkan. Apalagi untuk membuktikan prinsip
”keadilan” melalui perbandingan dengan peserta satu angkatan.
Rektor yang menandatangani ijazahnya sendiri adalah kasus
ekstrem. Kasus itu bisa dijabarkan secara kronologis berikut ini. Ketika
menjadi mahasiswa calon doktor pada 2010, dia mencalonkan diri sebagai rektor.
Ketika itu calon rektor yang juga dosen yang berpangkat sebagai dekan itu
mengajukan cuti kuliah.
Dalam perjalanannya, dosen tersebut disebutkan telah
berhasil menjadi rektor. Sejak itulah kendali universitas sudah berada di
tangannya, termasuk urusan kuliah di universitas tempat dia memimpin. Urusannya
dalam hal menempuh pendidikan di universitasnya sendiri juga selesai dalam
waktu singkat, yakni satu tahun 11 bulan. Bila dihitung seluruh masa studi
dikurangi cuti minimal satu semester, maka akan didapat lama studi tiga
semester atau satu tahun enam bulan. Sulit sekali membayangkan sebuah
pendidikan yang berbasis riset mencapai temuan ilmiah dilakukan sesingkat itu.
Ketika seorang dosen dinyatakan lulus sebagai doktor di
sebuah universitas tempat dia mengajar, itu tidak ubahnya sebagai perilaku
hermafrodit. Istilah hermafrodit secara umum mengacu pada binatang yang
memiliki kelamin ganda sehingga bisa membuahi dirinya sendiri. Hal itu
dimungkinkan karena binatang ini tidak memiliki akses ke dunia luar.
Dalam konteks pendidikan, hal itu tidak saja mencerminkan
prinsip pragmatis, praktis, dan efisiensi, tetapi juga sempitnya pola pikir
dosen sebagai ilmuwan. Dalam alur berpikir kolektif ada perumpamaan ”seperti
katak dalam tempurung”. Wajar bila muncul ungkapan, ”yang penting doktor”,
”mendoktorkan diri”, atau ”promotor kawan sendiri”.
Inti pendidikan doktor adalah temuan penelitian. Dalam
proses perkuliahan doktor, kita mengenal tahapan perkuliahan, penelitian, dan
hasil penelitian. Tes masuk doktor adalah proposal. Jika diterima, dia harus
menempuh mata kuliah tertentu yang relevan. Hasil tahapan ini adalah angka
penilaian. Jika sudah lulus, seorang mahasiswa doktor baru bisa mengajukan
proposal. Biasanya ini dilakukan dalam waktu satu semester dan diakhiri dengan
ujian proposal. Ujian proposal dilakukan setelah promotor dan ko-promotor
menyatakan bahwa proposal tersebut laik uji.
Hasil ujian proposal adalah izin bagi seorang mahasiswa
melakukan penelitian. Jika dinyatakan lulus, mahasiswa doktor itu berubah
status jadi kandidat doktor. Sebagai kandidat doktor, dia tidak langsung terjun
ke lapangan, tetapi harus terlebih dahulu memperbaiki proposal. Setelah
perbaikan, hasilnya dilaporkan kepada promotor untuk memperoleh persetujuan
penelitian. Praktik penelitian itu dapat dilaksanakan paling cepat pada
semester keempat. Dalam semester keempat itu seorang kandidat doktor bisa
mengebut agar penelitiannya selesai dalam satu semester. Kandidat doktor
diharuskan melakukan konsultasi bab per bab dengan promotor dan ko-promotor
secara bergantian atau bersama.
Penelitian ala kadarnya
Lazimnya, penelitian tak bisa selesai dalam satu semester
karena tahapan penelitian harus dijalankan melalui pengumpulan data dan
analisis data yang tidak sederhana. Kalaupun bisa selesai pada semester kelima,
kandidat doktor itu akan menempuh ujian hasil penelitian. Hasil penelitian itu
bisa dilakukan pada semester keenam. Jika lulus, kandidat doktor akan membuat
laporan penelitian lengkap yang akan diajukan kepada dewan penguji untuk uji
kelayakan. Jika lulus, ia akan menempuh ujian tertutup. Setelah lulus dan
selesai revisi, calon doktor akan menempuh ujian terbuka. Ujian terbuka akan
menghasilkan gelar doktor.
Berdasarkan tahapan tersebut, sebuah pendidikan doktor yang
wajar ditempuh dalam waktu tiga tahun. Bisa saja dipercepat melalui
penyingkatan waktu penelitian dan keputusan senat dewan penguji, tetapi hal itu
tidak bisa kurang dari dua semester penuh, kecuali masing-masing tahapan
dilakukan tiap minggu.
Bila direfleksikan terhadap kasus masa studi yang singkat,
ada empat kemungkinan. Pertama, mungkin dewan penguji memberikan waktu yang
”cepat” untuk melewati tiap tahapan. Karena itu kita perlu catatan konsultasi.
Kedua, peneliti atau kandidat memang memiliki hasil penelitian yang sangat baik
sehingga melewati semua tahapan itu dengan sangat mudah. Kemungkinan ini bisa
dibuktikan melalui publikasi dan pengakuan dari lembaga yang kredibel. Ketiga,
ada hubungan dekat yang cenderung sebagai praktik kolusi
antara penguji dan kandidat doktor. Keempat, ada intervensi kekuasaan dalam praktik pendidikan.
antara penguji dan kandidat doktor. Keempat, ada intervensi kekuasaan dalam praktik pendidikan.
Dua hal terakhir ini bisa dilihat berdasarkan struktur
birokrasi. Tak bisa dipungkiri, banyak kasus di mana hubungan antara kandidat
dan para penguji adalah teman sejawat atau atasan dalam lingkungan kerja yang
sama. Karena teman sendiri, jadi praktik pendidikan bisa ”fleksibel”.
Berdasarkan fakta-fakta di atas sebetulnya tak sulit menebak
sikap pemerintah yang ambivalen dan cenderung masa bodoh. Namun, ini justru
kian membuktikan banyak masalah yang terdapat dalam program doktor kita.
Pembenahan kualitas doktor pada tingkat penulisan, seleksi jurnal
internasional, hingga akreditasi berkala sebetulnya tetap akan menghasilkan
doktor abal-abal bila fenomena kecurangan itu tak bisa dihentikan.
Saifur Rohman ;
Pengajar Program Doktor Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS,
02 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi