“Maka, daripada dinilai tak cakap
mengelola, para pimpinan asal menghabiskan anggaran tanpa pernah mau melihat
hasil yang optimal. Praktik ini berlangsung sejak dulu hingga kini, meski ganti
presiden atau menteri.”
Tanggal 23 Juli diperingati sebagai
Hari Anak Nasional (HAN), kali ini merupakan peringatan ke-27. Peringatan HAN
tahun 1994 ditandai kesadaran kalangan aktivis dan mahasiswa tentang hak anak,
sementara jumlah anak jalanan dan putus sekolah semakin banyak. ILO menyebutkan
bahwa Indonesia membiarkan perburuhan anak di jermal-jermal di pantai timur
Sumatra.
Mendiang Presiden Soeharto pada HAN
1994 hanya mengatakan dirinya paham ada banyak anak yang tak beruntung
hidupnya. Dia meyakinkan anak-anak yang hadir pada waktu itu, "pemerintah
tak pernah akan sia-siakan aset bangsa".
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menegur anak-anak yang tertidur saat berpidato pada HAN 2012. Presiden
menegaskan bahwa pemerintah akan menjamin kualitas kesehatan dan pendidikan
anak-anak.
HAN pada dasarnya bermula dari suatu
ide responsif untuk melihat anak-anak maju dan berkembang seperti anak-anak
dunia pada umumnya. Secara legal, penetapan 23 Juli sebagai HAN sama kuatnya
dengan ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak PBB. Keduanya ditetapkan dengan
keputusan presiden (keppres), sebuah ketentuan yang pada masa Orde Baru
bernilai cukup tinggi.
Selain kedua keppres tersebut, ada
banyak peraturan yang terkait langsung dengan anak, mulai dari undang-undang
hingga peraturan menteri dan peraturan daerah. Semuanya menghormati,
melindungi, menghargai, dan memenuhi hak anak. Yang paling penting dicatat,
Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. UU ini dinilai cukup komprehensif.
Sayang, sama dengan hampir semua
undang-undang, keputusan presiden atau perundangan lain, hanya bersifat
simbolik. Peraturan-peraturan tersebut jarang bersifat faktual. Kalau mau
jujur, peraturan-peraturan tersebut hanya lebih sering dibuat untuk
dipersembahkan guna memenuhi persyaratan, seperti pencitraan ataupun pendanaan
yang besar.
Contoh, sejak 2008, jumlah
pemerintah kota yang telah mendeklarasikan sebagai Kota Layak Anak (KLA)
mencapai 50 kota/kabupaten. Terakhir, Juni 2013 Gubernur Jakarta Jokowi
berminat mencanangkan Jakarta sebagai KLA. Pertanyaannya, benarkah ada kota
yang memiliki infrastruktur, pelayanan publik dan fasilitas layak untuk anak?
Benarkah pemerintah kabupaten/kota sudah menangani eksploitasi anak dengan
baik?
Atau contoh lain, jumlah komite aksi
provinsi untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak (BPTA) ada di
30 provinsi pada tahun 2012. Bahkan, di tingkat kabupaten/kota sudah akan
mencapai 200 komite aksi. Lalu pertanyaannya mengapa jumlah anak-anak yang
diperdagangkan untuk pelacuran masih tinggi? Mengapa anak-anak di sekitar
perkebunan milik perusahaan (negara atau swasta serta perorangan) masih sering
terlihat dipekerjakan? Bahkan, mengapa anak jalanan masih terlihat mengemis di
perempatan jalan di kota-kota besar?
Faktual
Pada dasarnya, anggaran terkait anak
yang disediakan pemerintah dalam APBN cukup besar seperti bantuan operasional
sekolah (BOS) dan bantuan khusus murid (BKM). Anggaran KLA dikoordinasi
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Sementara,
anggaran penghapusan BPTA dikoordinasi Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Kementerian Sosial melalui Program
Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) juga mengoordinasi dana yang cukup besar.
Kesemua kegiatan itu kemungkinan akan ada hingga 2015.
Terlihat jelas penanganan program
terkait anak, seperti KLA dan penghapusan BPTA itu masih bertumpu pada APBN.
Tanpa menafikan adanya sumbangan dari swasta dan organisasi
bilateral/multilateral, anggaran-anggaran pemerintah ini diupayakan mampu
melindungi anak.
Ketika kegiatan pemerintah berakhir,
berakhir pula perlindungan untuk anak dari segala macam eksploitasi. Tak ada
tindak lanjut dari daerah. Daerah terlihat sepi kembali. Secara umum, birokrasi
terlihat mandul dan tak mampu mewujudkan tekad mereka sendiri untuk melindungi
anak.
Akibatnya, meski sudah banyak daerah
yang mendapat manfaat program tersebut, angka-angka terkait perburuhan anak dan
kekerasan anaka tetap tinggi.
Birokrasi gagal mewujudkan tekadnya
dalam melindungi anak dan menindaklanjuti semua hasil baik yang pernah lahir.
Momentum yang sudah muncul seringkali hilang karena tak pernah direplikasi
dengan lebih utuh demi peningkatan kualitas perlindungan anak.
Kegagalan ini sering diawali dengan
cara pikir. Pimpinan birokrasi (eselon I hingga IV) sering merumuskan
pertanyaan uang: jumlah dana/anggaran yang diperlukan. Pekerjaannya terpenjara
uang/dana.
Sistem keuangan birokrasi juga tidak
mendukung pelaksanaan kegiatan terkait anak sehingga tidak responsif. Kelebihan
anggaran harus dikembalikan kepada negara. Langkah ini dinilai sebagai
kegagalan mengelola kegiatan. Maka, daripada dinilai tak cakap mengelola, para
pimpinan asal menghabiskan anggaran, tanpa pernah mau melihat hasil yang
optimal. Praktik ini berlangsung sejak dulu hingga kini, meski ganti presiden
atau menteri.
Sampai kapan ini terjadi? Harus
diakui, dibanding Orde Baru, perlindungan anak saat ini sudah meningkat, meski
belum terlalu signifikan. Orde Baru masih berupa pernyataan keprihatinan serta
keinginan berbuat baik, kini sudah ada kegiatan konkret. Lima belas tahun
terakhir, birokrasi tentu jauh berbeda. Mereka lebih berkomitmen dalam
melindungi anak.
Hanya, kreativitas birokrasi untuk
meningkatkan kualitas dan menindaklanjuti program perlindungan anak masih
terganjal pada paradigma lama. Inilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Merespons situasi ini lebih penting daripada sekadar minta membangunkan anak
tertidur karena lama menunggu kehadiran pemimpin.
Abdul Hakim ;
Pernah
bekerja di ILO Jakarta untuk Program Penghapusan Perburuhan
KORAN JAKARTA, 23 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi