Program Studi, Demi Ilmu atau Cuma Daya
Tarik?
Pegawai Koordinasi
Perguruan Tinggi Swasta Wilayah III DKI Jakarta di Cawang, Jakarta Timur, Kamis
(19/7) siang, tersenyum saat Kompas bertanya soal program studi manajemen
informatika dan komputerisasi akuntansi yang kini marak di sejumlah perguruan
tinggi swasta.
”Nama program studinya
memang aneh-aneh. Selain ada manajemen informatika dan komputerisasi akuntansi,
yang sekarang banyak digunakan, program studi teknik dan manajemen perkapalan.
Kalau yang terakhir program studinya ditutup karena jangankan punya mahasiswa,
tempat untuk praktiknya saja tidak ada,” ujar pegawai itu terkekeh.
Menurut dia, yang menilai
program studi perguruan tinggi swasta (PTS) adalah Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT). Sejak berdiri beberapa tahun lalu, lembaga itu
secara berkala mengakreditasi program-program studi yang diselenggarakan
perguruan tinggi. Dari penilaian itu, program studi bisa mendapat akreditasi A,
B, atau C.
Sejak disetujuinya
Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi (RUU PT) oleh DPR, Jumat
(13/7), program-program studi seperti itu sulit dicari di mana rumpun
keilmuannya.
”Coba, kalau manajemen
informatika, rumpun ilmunya apa? Apakah komputer dan ekonomi? Juga kalau
komputerisasi akuntansi, rumpun ilmunya apakah ekonomi komputer? Padahal, di UU
PT hanya ada rumpun ilmu sosial dan ilmu terapan,” katanya.
Merujuk ke Pasal 10 UU PT,
yang disebut rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kumpulan sejumlah
pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis.
Adapun rumpun ilmu
pengetahuan dan teknologi hanya terdiri dari enam rumpun, yaitu rumpun ilmu
agama, ilmu humaniora, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu formal, dan ilmu terapan.
Penjelasan Pasal 10 Ayat
(2) huruf c UU PT menyebutkan, rumpun ilmu sosial merupakan rumpun ilmu
pengetahuan yang mengkaji dan mendalami hubungan antarmanusia dan berbagai
fenomena masyarakat. Misalnya, sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik,
arkeologi, ilmu wilayah, ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan geografi.
Sementara itu, penjelasan
Pasal 10 Ayat (2) huruf f mengatakan, rumpun ilmu terapan merupakan rumpun ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mengkaji dan mendalami aplikasi ilmu bagi
kehidupan manusia. Contohnya, pertanian, arsitektur dan perencanaan, bisnis,
pendidikan, teknik, kehutanan dan lingkungan, keluarga dan konsumen, kesehatan,
olahraga, jurnalistik, media massa dan komunikasi, hukum, perpustakaan dan
permuseuman, militer, administrasi publik, kerja sosial, serta transportasi.
”Jadi, rumpun yang mana?”
tanya pegawai Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) itu lagi.
Koordinator Kopertis
Wilayah III DKI Jakarta Ilza Mayuni belum bisa memberikan tanggapan kepada
Kompas perihal keberadaan program-program studi PTS setelah disetujuinya RUU
PT.
Janji pegawai Kopertis
untuk mengirimkan data program studi yang sudah dinilai dan dicabut oleh BAN-PT
hingga Kamis sore ini belum juga diterima meskipun sebelumnya dijanjikan akan
dikirimkan.
Pertanyaan itu mungkin
benar jika merujuk UU PT yang baru. Namun, diakui, hingga kini banyak PTS di
Indonesia menggelar program studi yang bermacam-macam untuk menarik minat calon
mahasiswa.
Salah satunya Akademi
Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika (AMIK BSI), yang
berkantor pusat di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur. Lembaga ini masih
memiliki program studi manajemen informatika dan komputerisasi akuntansi, selain
juga program studi teknik komputer.
”Sebenarnya sama saja
manajemen informatika dan komputerisasi akuntansi. Jangan dilihat
sepotong-sepotong. Manajemen sendiri, informatika sendiri. Harus menjadi satu
kesatuan,” kata Direktur BSI Naba Aji Notoseputro kepada Kompas, Rabu (18/7).
Menurut Naba, manajemen
informatika adalah bagaimana menata data dalam sistem perangkat komputer untuk
mempermudah sebuah pekerjaan. Sementara komputerisasi akuntansi lebih kepada
penataan sistem melalui perangkat lunak bagi penghitungan dan dukungan
akuntansi.
”Kami mengharapkan, AMIK
BSI menghasilkan tenaga kerja ahli madya yang siap pakai dan menguasai
teknologi komputer dan informatika serta menguasai bidang studi jurusan.
Perpaduan ilmu itu akan sangat dibutuhkan di semua sektor usaha,” tambahnya.
Juwita, salah seorang
mahasiswi AMIK BSI, yang tengah menyelesaikan tugas akhir di program studi
komputerisasi akuntansi, menyatakan bahwa program studi yang diambilnya tidak
menjadi masalah hingga kini. Sebagai lulusan SMA jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial, dengan dasar pelajaran akuntansi yang pernah diterimanya, Juwita
mengaku bisa belajar mengembangkan sistem perangkat komputer melalui perangkat
lunak yang ada.
”Dua-duanya saya dapat,
akuntansinya ataupun komputernya,” ujar Juwita.
Hingga Juli 2012, AMIK BSI
masih menawarkan program studi manajemen informatika dan komputerisasi
akuntansi. Bahkan, dalam brosurnya, disebutkan lembaganya terakreditasi di
BAN-PT dengan kurikulum yang terus dikembangkan dan disempurnakan dengan
perkembangan teknologi maju.
Ketua Umum Asosiasi Badan
Penyelenggara PTS Indonesia Thomas Suyatno menyatakan, sebenarnya bisa saja
jika PTS menawarkan program studi yang akan diunggulkannya asalkan sesuai
dengan kemampuan, kebutuhan, dan kualitas dari hasil proses pendidiknya.
Namun, Thomas
mengingatkan, sejak Oktober tahun lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengeluarkan moratorium kepada PTS
untuk tidak mengeluarkan program studi baru, kecuali ilmu-ilmu langka dan untuk
di daerah-daerah tertentu yang memang memerlukan sarjana-sarjana dengan program
studi tertentu.
Pemerhati pendidikan
Dharmaningtyas juga menyatakan, bisa saja ada program studi yang diajukan PTS
sepanjang dipenuhi persyaratannya, seperti kemampuan dosen, kurikulum, dan
kebutuhan. ”Namun, kualitasnya harus dijaga,” katanya.
Larangan
Mendikbud
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh pernah akan melarang program studi yang belum
mengantongi akreditasi untuk melakukan wisuda bagi mahasiswanya. Alasannya,
kebanyakan PTS masih memiliki urusan internal di kampusnya sehingga tak mampu
mengejar tenggat waktu pembuatan proposal untuk diajukan ke BAN-PT.
Namun, ada juga PTS yang
justru mengatakan, kinerja BAN-PT sendiri yang lamban karena sedikitnya jumlah
tenaga yang dimilikinya. ”Kalau kewalahan memang benar,” ujar Nuh.
Lantas Nuh memberikan
batas waktu hingga 16 Mei 2012 agar pengelola kampus segera mengajukan surat
akreditasi ke BAN-PT. Namun, hingga batas waktunya, banyak prodi yang belum diajukan
status akreditasinya.
Dalam catatan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso,
masih ada sekitar 6.000 program studi di PTS yang belum terakreditasi dari
total lebih dari 13.000 prodi.
”Mereka akan dikenai
status ilegal dengan ancaman tak boleh mengeluarkan ijazah dan menggelar wisuda
bagi mahasiswanya yang lulus ujian akhir,” tambah Nuh.
Multitafsir
Memang persoalannya bukan
soal PTS atau BAN-PT semata. Menurut Djoko Santoso, pada waktu itu, aturan main
soal akreditasi program studi baru dibahas dalam RUU PT.
Jika melihat aturan
transisi pada Pasal 97 UU PT, tidak hanya izin pendirian PT yang dinyatakan
tetap berlaku, tetapi juga izin penyelenggaraan program studi yang sudah
diterbitkan masih tetap diakui.
”Bunyi Pasal 97 Ayat 1 ini
terkesan buru-buru dan tidak dirumuskan secara baik sehingga bisa multitafsir.
Misalnya, PTS yang sudah dinilai oleh BAN-PT bisa menganggap tak perlu adanya
penilaian program studi lagi. Sebab, izin itu sifatnya sekali dan bukan
perpanjangan yang harus didaftarkan ulang,” kata pegawai Kopertis itu.
Demikian pula di Pasal 97
ayat berikutnya dan Pasal 98 UU PT, masih ada kesempatan dua tahun bagi
pengelola PTS untuk menyesuaikan diri dengan isi UU PT ini, selain menunggu
peraturan pemerintah agar bisa efektif diterapkan.
”Ini berarti mereka masih
bisa untuk menyesuaikan diri, termasuk prodinya selama dua tahun,” tuturnya.
Hingga kini, di DKI
Jakarta, dalam catatan Kopertis, ada 340 PTS yang mempunyai 1.576 prodi. Hingga
akhir Mei lalu, tercatat baru 51 persen program studinya yang sudah
terakreditasi oleh BAN-PT.
Namun, jumlah itu
diperkirakan akan bertambah karena masih ada yang sedang diproses akreditasinya
ataupun akreditasi yang masa berlakunya masih ada.
Kopertis DKI Jakarta
sempat akan memberikan sanksi jika PTS tidak menaati aturan akreditasi program
studi. Sanksinya, mulai dari pemberhentian beasiswa hingga pencabutan izin
operasional.
Sepanjang 2011, Kopertis
DKI Jakarta tercatat sudah menutup sebanyak 39 program studi dengan berbagai
alasan.
Laporan
Khusus Tim Kompas (Suhartono)
KOMPAS,
22 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi