DIREKTUR Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Djoko Santoso mengeluarkan surat bernomor
1061/E/T/2012. Isinya tentang penghentian sementara (moratorium) pendirian dan
perubahan bentuk perguruan tinggi, serta pembukaan program studi (prodi) baru.
Surat tertanggal 9 Agustus 2012 tersebut ditujukan kepada Koordinator Kopertis
Wilayah I-XII, kepada pimpinan PTN, dan kepada gubernur dan bupati/wali kota di
seluruh Indonesia.
Surat
tersebut tidak dalam kualifikasi rahasia karena bisa dibaca oleh siapa saja
yang berkepentingan. Bahkan, karena surat tersebut telah diunggah (upload) di
internet, dengan mudah orang dapat mengunduh (download), membaca, memahami, dan
mencerna isinya.
Meskipun
surat tersebut bersifat "terbuka", di lapangan timbul kehebohan.
Seolah-olah pemerintah melarang pengembangan PTS dengan tidak lagi mengeluarkan
izin pendirian PTS baru serta tidak lagi mengeluarkan izin pembukaan prodi
baru. Padahal, kalau kita cermati, isi surat tersebut berlaku bagi PTS dan PTN
serta adanya rencana Kemdikbud mengadakan penataan perguruan tinggi.
Ada yang
Jomplang
Penataan
perguruan tinggi saat ini sudah mendesak dilakukan. Setidaknya menyangkut
penataan prodi yang belum merata menurut kelompok bidangnya.
Data jumlah
prodi menurut kelompok bidang yang terekam di Kemdikbud per 1 Agustus 2012 sangat
beragam. Kependidikan sebanyak 2.877 prodi, ekonomi 2.650 prodi, teknik 2.650,
kesehatan 2.086 prodi, komputer 1.543 prodi, sosial 1.348 prodi, pertanian
1.185 prodi, matematika dan IPA 601 prodi, budaya dan sastra 558 prodi, hukum
493 prodi, aneka ilmu 297, seni 271 prodi, psikologi 145 prodi, serta agama dan
filsafat 51 prodi.
Dari data
tersebut terlihat ada prodi yang jumlahnya sangat tinggi, dalam hal ini prodi
bidang kependidikan. Di sisi lain ada prodi yang jumlahnya sangat terbatas,
dalam hal ini prodi untuk cabang-cabang ilmu tertentu (aneka ilmu), serta
bidang agama dan filsafat.
Sangat
tingginya prodi bidang kependidikan harus ditata sejak sekarang. Realitasnya
jumlah lapangan kerja lulusan prodi kependidikan sangatlah terbatas; khususnya untuk
menjadi pendidik. Jumlah sekolah dan madrasah di Indonesia memang besar, tetapi
penyerapan tenaga kerja hanya dilakukan untuk menggantikan tenaga kerja yang
pensiun dan tenaga kerja baru yang jumlahnya relatif sedikit. Artinya, kalau
jumlah kebutuhan tenaga kerja bidang kependidikan tidak sebanding dengan jumlah
lulusan prodi bidang kependidikan, akan terjadi pengangguran.
Teori
kriminologi menyatakan penganggur berpendidikan tinggi itu lebih berbahaya
daripada penganggur berpendidikan rendah. Pada sisi lain teori sosial
menyatakan penganggur yang diciptakan oleh lembaga pendidikan yang diizinkan
pemerintah akan menimbulkan problematika berganda bagi pemerintah dan
masyarakat.
Bagaimana
prodi yang jumlahnya sedikit? Prodi untuk bidang kelautan, misalnya. Prodi ini
sebenarnya sudah ada, tetapi jumlahnya relatif sangat sedikit dibanding
kebutuhannya.
Saya baru
saja mengevaluasi perguruan tinggi kelautan di Ambon, Maluku. Namanya Akademi
Maritim Maluku (AMM). Kondisi perguruan tinggi ini tidak memenuhi standar untuk
tidak disebut mengenaskan. Yang memprihatinkan, konon di Provinsi Maluku,
Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua yang wilayahnya dilingkupi dengan lautan
yang luasnya ribuan kilometer persegi mempunyai tidak genap 10 prodi di bidang
kelautan. Sungguh ironis, Indonesia yang merupakan negara kelautan dan
memerlukan banyak tenaga kerja di bidang kelautan justru tidak memiliki banyak
prodi kelautan.
Dorong
Prodi Kelautan
Penataan
perguruan tinggi yang dilakukan pemerintah harus adil dan fair, berlaku bagi
PTN dan PTS. Jangan pernah berkebijakan untuk mematikan PTS, kecuali PTS-PTS
tertentu yang sepak terjangnya lebih banyak merugikan masyarakat.
Terhadap
prodi yang jumlahnya sudah berlebih, misalnya kependidikan dan ekonomi,
pemerintah hendaknya dengan tegas tidak lagi mengeluarkan izin pembukaan prodi
baru. Bahkan, terhadap prodi (lama) yang tidak memenuhi standar, dengan
indikator tidak terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT), pemerintah jangan segan-segan menutup agar keberadaannya tidak
menjerumuskan masyarakat.
Terhadap
prodi yang jumlahnya masih kurang, misalnya prodi kelautan dan teknologi
informasi, pemerintah mendorong PTN dan PTS untuk segera membukanya. Kalau
perlu, pemerintah memberikan dukungan dan bantuan baik berupa bimbingan teknis
maupun bantuan finansial dan SDM. Sudah tentu prodi yang dibuka harus memenuhi
standar agar kehadirannya tidak mengecoh masyarakat.
Kebijakan
tersebut berlaku adil bagi PTN yang diselenggarakan pemerintah maupun PTS yang
diselenggarakan masyarakat.
Ki
Supriyoko
Guru
besar, Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawijaya Taman Siswa Yogyakarta,
dan Wapres Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE)
JAWA POS
, 03 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi