Tampaknya tak ada yang keliru dengan jargon pro
growth, pro job, pro poor sebagai strategi dasar pembangunan 10 tahun terakhir.
Pertumbuhan diharapkan membuka kesempatan kerja dan mengurangi jumlah penduduk
miskin.
Sejak awal pembangunan tahun 1970-an, pertumbuhan
sudah menjadi strategi utama diikuti pemerataan. Penyederhanaan logika waktu
itu, ”Hanya bila ayam bertambah dan telurnya semakin banyak, ada pemerataan.
Tidak ada pemerataan tanpa adanya pertumbuhan”. Lantas, di mana persoalannya?
Dalam 30 tahun era Orde Baru, pertumbuhan jelas
ada, tetapi isu tidak adanya pemerataan juga berkembang. Betul bahwa pembangunan
yang mengedepankan bidang ekonomi ini tampak hasilnya, tetapi pertumbuhannya
juga mendorong aspirasi lebih besar lagi. Ketika desakan aspirasi terutama
harapan keadilan dan kebebasan yang lebih besar tidak terakomodasi, konsep
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi terus digugat.
Pembangunan
Kini
Pelaksanaan strategi pembangunan 10 tahun terakhir
ini sebenarnya ada juga kemajuan dalam upaya peningkatan lapangan kerja dan
pengurangan jumlah penduduk miskin, meski belum tuntas. Adalah tidak adil menilai
bahwa pertumbuhan sebagai capaian makro tidak berdampak positif di tataran
mikro. Justru kebebasan mengekspresikan pandangan dan sikap sosial dan politik
yang kemudian menampilkan gambaran tentang masih banyaknya penganggur,
kemiskinan, dan berbagai bentuk ketimpangan lain.
Masalah pembangunan nasional dengan begitu bukan
terletak pada benar tidaknya memilih pertumbuhan sebagai strategi, melainkan
bagaimana menopang dan memperbesar pertumbuhan dalam kerangka berkelanjutan.
Muncul pembangunan berkelanjutan dengan jargon ekonomi hijau, suatu konsep
pembangunan berwawasan lingkungan dan sosial. Kehadiran konsep ini mendorong
penyesuaian atau bahkan pemikiran ulang terhadap beberapa aspek dalam
pembangunan yang justru lebih mendasar sifatnya.
Pertama, baik untuk kesinambungan dan
keberlanjutan pembangunan maupun kebutuhan energi penopangnya. Pembangunan
tidak dapat lagi terus-menerus bersandar pada eksploitasi energi fosil. Selain
sifatnya tidak terbarukan, sebentar lagi habis, eksploitasi migas dan bahan tambang
dianggap merusak lingkungan.
Kedua, keberlanjutan dan kesinambungan pembangunan
memerlukan kelestarian dan ketersediaan sumber daya, baik alam maupun budaya.
Semua adalah modal. Kemampuan kita mengenali, menginventarisasi, dan mengelola
sendiri kekayaan sumber daya hayati dan kearifan lokal menjadi kebutuhan
krusial.
Ketiga, keberlanjutan dan kesinambungan
pembangunan modal. Indonesia harus mampu menjual produk yang berdaya saing di
pasar internasional. Pasar domestik tidak lagi jadi sandaran tunggal. Pada era
keterbukaan perdagangan sekarang, pasar domestik juga merupakan pasar
internasional partner dagang kita.
Daya saing tidak hanya soal biaya produksi dan
harga jual, tetapi juga kenyamanan dan keselamatan penggunaan produk. Faktor
utama penentu daya saing adalah daya inovasi dan teknologi. Berarti tingkat
kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam penguasaan, pengembangan, dan
aplikasi teknologi.
Faktor
Inovasi
Wacana tentang faktor inovasi dan teknologi
sebenarnya bukan hal baru. Kutub pemikiran alternatif yang menawarkan teknologi
sebagai tumpuan muncul sejak masa rencana pembangunan lima tahun yang ketiga, awal
1980-an, sementara yang konvensional semata-mata memanfaatkan sumber daya alam.
Rivalitas kutub-kutub pikir ini diketahui presiden pada waktu itu, tetapi
dibiarkan berkompetisi.
Presiden SBY melihat perlunya mendekatkan kutub
pikir ekonom dan kutub pikir teknolog ini untuk meningkatkan daya saing. Maka
dibentuklah Komite Ekonomi Nasional dan Komite Inovasi Nasional pada tahun
2010. Bagaimana hasilnya, mengingat salah satu masalah bangsa ini adalah
kurangnya konsistensi dan determinasi.
Negara-negara ”macan Asia” yang miskin sumber daya
alam bersandar kepada kualitas dan kapasitas SDM. Inovasi dan peningkatan
kemampuan penguasaan teknologi jadi tumpuan utama. Ketika Korea Selatan memilih
mengembangkan industri dengan basis metalurgi, kimia, dan elektroteknik, maka
pembangunan difokuskan pada kapasitas SDM serta fasilitas riset dan
pengembangan. Korea Selatan perlu waktu 10 tahun menyiapkannya.
Indonesia memang perlu pendekatan baru dalam
pembangunan, tetapi kita belum tahu apa dan bagaimana buah pikir strategi
pembangunan ”untuk Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri” dari para calon
presiden mendatang. Akankah meneruskan sistem pembangunan yang telah dimulai 40
tahun lalu atau sedikit mengubah prioritas?
Kalau kemungkinan itu yang terjadi, maka masalah
dan tantangan yang sama sekitar konsepsi pembangunan berkelanjutan dan ekonomi
hijau tetap ada dan harus dijawab. Sebaliknya, apabila presiden terpilih nanti
memiliki pemikiran dan konsep pembangunan yang berbeda, bagaimana kira-kira
kondisi nanti?
Kenyataannya, mengganti sistem dalam pembangunan
tampaknya mustahil. Yang lebih realistis adalah mengubah gaya dan pendekatan.
Di satu sisi tetap menggunakan arsitektur pembangunan ekonomi yang telah
berlangsung 40 tahun, di sisi lain memperkuat kebijakan pembangunan dengan dua
langkah praktis.
Pertama, menegaskan prioritas industri sehingga
kebijakan pendidikan dan pembangunan SDM maupun infrastruktur dibangun ke arah
yang sama. Kedua, secara agresif menetapkan kebijakan insentif fiskal bagi
pembiayaan kegiatan inovasi dan pembiayaan kegiatan produksi, serta membangun
usaha modal ventura untuk mendukung produksi hasil-hasil inovasi.
Melalui langkah penggeseran tersebut, ego presiden
terpilih terpenuhi, tidak ada iritasi politik terbuka, dan secara psikologis
dapat dicerna oleh sistem birokrasi sebagai pelaksana utama pembangunan.
Langkah tersebut seiring esensi tujuan pembangunan nasional untuk bangsa
Indonesia yang sejahtera dan mandiri.
Bambang
Kesowo
Pengajar
Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
KOMPAS ,
03 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi